Mohon tunggu...
Farid Muadz Basakran
Farid Muadz Basakran Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

#Advokat #Mediator #Medikolegal Pendiri BASAKRAN & GINTING MANIK Law Office sejak 1996 Gd. Menara 165 Lt. 17 Unit A, Jl. TB Simatupang Kav. 1, Jakarta 12560 Telp/Fax. 021-38820017; 38820031 Hotline : +62816 793 313

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Jejak Buya Hamka di Gang Toa Hong II

28 Mei 2013   10:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:55 1368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bila kita menyusuri perjalanan hidup almarhum Buya Hamka, seorang ulama pujangga yang tiada taranya hingga kini, maka kita akan mendapati kehidupannya yang pertama di Jakarta antara awal tahun 1950 hingga tahun 1956 di Gang Toa Hong II. Nama Gang Toa Hong adalah nama sebuah gang buntu di sekitar kawasan Sawah Besar dahulunya, dan kini berada di kelurahan Maphar, kecamatan Tamansari, Jakarta Barat. Daerah ini dekat dengan kawasan Kota Tua di Jakarta Kota sana. Tidak jauh dari satu terdapat kawasan perbelanjaan Glodok dan Pasar Pagi ditengah kawasan pecinaan. Gang Toa Hong sendiri berada di depan kawasan kampung Arab di Krukut dan tepat dibelakang masjid Kebon Jeruk, yang sekarang menjadi markas global Jamaah Tabligh. Gang Toa Hong ini pertama dituliskan oleh H. Rusydi Hamka putra almarhum Buya Hamka, yang menuliskannya dalam buku "PRIBADI DAN MARTABAT  BUYA PROF. DR. HAMKA", terbitan Pustaka Panjimas Jakarta, 1983. [caption id="attachment_245813" align="aligncenter" width="300" caption="Buku karya H. Rusydi Hamka (Koleksi Pribadi)"][/caption] Dalam buku tersebut, digambarkan oleh H. Rusydi di halaman 25 : "Di Jakarta kami menyewa rumah di Gang Toa Hong II, daerah Sawah Besar, sebuah rumah milik sahabat ayah keturunan Arab dengan tetangga sekitar Cina-cina totok dan tukang beca.  Lorong menuju rumah itu disebut Gang Buntu, dan rumah kami terletak pada ujungnya, sebelum sampai ke rumah, orang melewati kandang kambing piaraan orang Arab. Lima tahun kami tinggal di situ. Namun betapapun kami tinggal di gang becek dan berbabu kotoran kambing sekitar Sawah Besar itu, kami semua bersyukur karena telah terlepas dari suasana kelaparan. Zaman Revolusi. Tahun 1956 kami pindah ke Jalan Raden Patah Kebayoran Baru, sebuah rumah besar yang dibangun ayah dari hasil honirarium buku-bukunya". Bulan Mei 2013, adik dari H. Rusydi yakni Irfan Hamka, dan diterbitkan oleh Republika Penerbit sebuah buku yang berjudul "AYAH Kisah Buya Hamka". Dengan diberikan Kata Pengantar oleh dokter hewan yang juga sastrawan besar DR. Taufiq Ismail, buku ini melengkapi kisah perjalanan ulama pujangga almarhum Buya Hamka. [caption id="attachment_245816" align="aligncenter" width="300" caption="Sampul Buku AYAH Kisah Buya Hamka karya Irfan Hamka (Koleksi Pribadi)"]

1369708040750635950
1369708040750635950
[/caption] Secara lebih lengkap digambarkan oleh Irfan Hamka di Gang Toa Hong II yakni di halaman 33 hingga halaman 35: "Akhirnya kami pindah ke  Jakarta. Di Jakarta, kami tinggal di sebuah rumah milik keluarga Arab yang disewa oleh ayah. Zaman itu, banyak rumah-rumah di Jakarta milik keluarga Arab yang disewakan kepada masyarakat. Kami tinggal di Gang Buntu, Jalan Toa Hong II, Kebun Jeruk Taman Sari. Untuk mencapai rumah kami harus melewati sebuah gang. Gang itu buntu. Di ujung gang buntu itu terletak rumah yang di sewa Ayah. Ditengah-tengah gang terdapat kandang kambing milik orang Arab bernama Umar Baras. Pemilik kambing ras Banggala ini biasa dipanggil Wan Umar. Lingkungan kami ditempati beragam etnis keturunan, Arab, Cina Totok, China Benteng, Jawa, Sunda, dan kami sendiri dari Sumatera Barat. Bila Wan Umar telat membersihkan kandang kambingnya, baunya bukan main. Hari Minggu biasanya banyak pemilik kambing lain datang ke kandang kambing Wan Umar untuk mengawinkan kambing betina mereka dengan kambing jantan milik Wan Umar. Kambing jantan Wan Umar jenis ras Banggala. Tinggi besar, lebih kurang satu setengah meter tingginya. Acara tersebut memacetkan gang buntu. Lebih banyak yang menonton daripada yang mengawinkan kambing betinanya. Ayah bekerja di Departemen Agama sebagai pegawai tinggi. Pagi-pagi dijemput dan sore harinya diantar pulang dengan mobil dinas merk Sylver Six yang dikemudikan oleh laki-laki turunan Arab bernama A. Salim. Di Jakarta, Ayah mulai melakukan konsolidasi keluarga. Yang sudah sekolah, kembali dimasukkan sekolah.  Yang sudah waktunya bersekolah, Ayah masukkan sekolah. Kala itu, tahun 50-an, sekolah negeri masih jarang dibandingkan sekolah swasta. Bang Zaki sekolah SMP di Bandung. Ia tinggal di rumah Paman M. Zen, adik Ummi. Bang Rusjdi sekolah SMP Muhammadiyah, Yogyakarta. Ia tinggal di rumah kakak Ayah, Ummi Fatimah - istri AR. St. Mansyur, Ketua PP Muhammadiyah. Bang Fachry dan Kak Azizah sekolah di SR Sinar kemajuan, Jakarta. Setelah lulus dari SR mereka berdua meneruskan sekolah ke SMP Muhammadiyah, Jalan Garuda, Jakarta. Aku sendiri sekolah di SR Sinar Kemajuan kelas 1. Sedangkan Aliyah belum sekolah dan Fathiyah masih kecil. Didepan rumah yang kami sewa terdapat tanah kosong. Sore hari, banyak anak-anak tetangga yang bermain galah asin atau kasti di sana. Aku dan Kak Azizah ikut diajak main. Teman-teman tetangga kami antara lain Cin-cin dan Talen, kakak-beradik keturunan China peranakan atau disebut China Benteng, dari daerah Tangerang. Selain itu, ada kakak-beradik China totok, Tenggi, Ahoy, dan Anggok. Lalu ada Khalid anak Arab, putra Wan Umar, peternak kambing. Sedangkan anak-anak Mubarok Hubes-keluarga Arab sebelah rumah, Farida, Fadila, Zakiyah, dan adiknya Zaidun, menonton saja dari balik pagar rumahnya. Kakak-kakak mereka Khadijah dan Munif juga jarang keluar rumah." Begitulah bila kita membaca sejarah perjalanan hidup Buya Hamka dan keluarganya maka tak lepas dari sejarah Gang Toa Hong II dan keluarga keturunan Arab yang ada di Gang Toa Hong II itu. Keluarga keturunan Arab yang digambarkan oleh Irfan Hamka itu adalah keluarga dari pihak ibu penulis. Pemilik kambing ras Banggala yakni Umar Baras adalah seorang asli hadhramaut, yang juga abang ipar nenekku yakni Zubaedah Hubeis binti Salim Hubeis. Umar Baras dan sebagian besar keturunannya sudah wafat, termasuk Khalid yang digambarkan dalam buku Ayah tersebut. Umar Baras masih menyisakan 2 anak yang masih hidup di Bogor, Jawa Barat. Mubarak Hubeis, atau dalam buku tersebut dituliskan Mubarok Hubeis, adalah kakek kandungku dari pihak ibu yang asal Hadhramaut, Yaman. Mubarak Hubeis menikah dengan seorang putri dari Salim Hubeis yang bernama Zubaedah Hubeis, kelahiran Jakarta tahun 1919. Dari pernikahan itu lahirlah Faizah Hubeis (ibuku, namun dalam buku Irfan Hamka dituliskan Khadijah), Munif Hubeis, Farida Hubeis, Fadila Hubeis, Zakiyah Hubeis, Thurroyyah Hubeis (tidak ditulis dalam buku Irfan Hamka), dan Zeid Hubeis. Dari ketujuh putra dan putri keturunan Mubarak Hubeis dan Zubaedah yang masih hidup adalah Munif, Farida dan Zakiyah. Ibuku sendiri menikah dengan Abdun bin Ahmad Basakran al-'Amudi kelahiran Gorontalo tahun 1930 yang akhirnya memiliki keturunan 4 putra dan putri yakni Helmi, Mu'adz, Haikel, dan Nadiyah. Kedua orang tuaku sudah wafat (Ummi pada tahun 2004 dan Abi pada April 2013 ini), dan Helmi putra tertua pun sudah wafat pada 2009 yang lalu. Dan sejak kecil, telinga kami semua akrab dengan nama Buya Hamka, dan kami sekeluarga pun berlangganan majalah Panji Masyarakat sejak Buya Hamka masih hidup maupun setelah tiada. Novel-novel pun akrab di mata kami, antara lain Dibawah Lindungan Ka'bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. Setelah tahun 1955, Buya Hamka semasa menjadi anggota Majelis Konstituante pun bersahabat dengan kakak dari nenekku yakni Ustadz Umar Hubeis, yang juga menjadi anggota Konstiante, murid Syeikh Ahmad Soorkaty dan tokoh pendiri al-Irsyad Surabaya. [caption id="attachment_245822" align="aligncenter" width="300" caption="Nenekku Zubaedah Hubeis bersama putra-putri dan menantu"]
13697116231917055246
13697116231917055246
[/caption] Gang Toa Hong II sekarang disebut dengan Jl. Kebon Jeruk XVI dan tetap gang buntu. Di depannya sekarang ada kantor Kelurahan Maphar. Rumah-rumah di dalam Gang Toa Hong II ini sekarang sudah dimiliki oleh keluarga keturunan China. Yang tersisa adalah rumah keluarga Mubarak Hubeis yang kondisinya dalam keadaan kosong. Sepengetahuan aku, sampai wafatnya Buya Hamka di tahun 1981, keluarga ibuku masih saling bersilaturrahim dengan keluarga almarhum Buya Hamka. Semoga silaturrahim tetap berlangsung hingga keturunan Mubarak Hubeis dan keturunan Buya Hamka. Semoga Allah mengumpulkan kedua keluarga besar ini di jannah-Nya. Amiin. [caption id="attachment_245825" align="aligncenter" width="300" caption="Inilah beranda rumah Mubarak Hubeis di Gang Toa Hong II sekitar awal tahun 1970-an. Duduk ditengah adalah Nenekku Zubaedah Hubeis"]
1369712145976211997
1369712145976211997
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun