Selain faktor intervensi partai politik, banyak fihak dan oknum di tubuh al-Irsyad yang berusaha mengalihkan aset milik organisasi menjadi milik pribadi atau kelompoknya. Mereka rela berkonflik hanya untuk berkuasa dan mengambil keuntungan pribadi dari kekuasaaanya di al-Irsyad. Â Mereka harus menjadi kuat agar dapat mengeruk keuntungan dari unit sekolah dan amal usaha al-Irsyad, kalau mencari hidup dan kehidupan di dalam organisasi al-Irsyad. Ikhlas dalam menjalankan amanah organisasi sekarang hanya menjadi kenangan.
Pihak-pihak yang dirugikan tidak memikirkan bagaimana nasib anak didik yang bersekolah di sekolah-sekolah milik al-Irsyad, dan para guru yang mengajar pun menjadi bingung karena harus mengikuti kepentingan pengurus yang mana. Bagaimana pula nasib para dokter, para medis dan pasien di RS atau Balai Pengobatan milik al-Irsyad yang juga harus terombang-ambing haknya. Bahkan seperti yang terjadi di beberapa daerah, para guru dan karyawan terpaksa harus berururusan dengan proses hukum di kepolisian dan pengadilan, walaupun sekedar menjadi saksi.
Satu faktor yang tidak boleh dilupakan dan merupakan perkembangan mutakhir, adanya infiltrasi anasir-anasir liberalisme Islam dan anasir-anasir syi'i dalam tubuh al-Irsyad al-Islamiyyah yang memenangkan pertandingan melawan kubu Perhimpunan al-Irsyad.
Sejak tahun 2009 yang lalu, al-Irsyad terpecah menjadi paling sedikit dua. Yanag menang di tingkat kasasi Mahkamah Agung yakni al-Irsyadnya Abdullan Jaidi tetap bernama al-Irsyad al-Islamiyyah dan berkantor di Kalibata Utara di gedung milik Penerbit Gema Insani, dan yang kalah yakni kubu al-Irsyad Yusuf Utsman Baisa mendirikan organisasi baru yang bernama Perhimpunan al-Irsyad yang berkantor di kawasan Jatinegara.
Mereka berkonflik hanya untuk mencari menang dan kalah, akhirnya perpecahanlah yang di dapat. Mereka semua tidak mengedepankan semangat ishlah untuk mencari win-win solution bagi perbedaan pendapat yang terjadi didalam. Â Sebabnya adalah karena cuma mengedepankan kepentingan pribadi di sekitar perut, bukan kepentingan para anggotanya dan simpatisannya.
Dalam kondisi perpecahan seperti ini, nasib al-Irsyad seperti diujung tanduk. Mau hidup terus, tapi harus melawan penyakit namun kantong tipis. Penyakit tak sembuh-sembuh, akhirnya pun akan mati.
Semoga bermanfaat.
FARID MU'ADZ BASAKRAN
muazd_amoudi@yahoo.co.id
Referensi :
1. Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, LP3ES, Cet.I 1980