Mohon tunggu...
Joe Aldrie
Joe Aldrie Mohon Tunggu... profesional -

Advokat,Pemerhati masalah Hukum dan Sosial, Pembelajar dalam menjadi Penulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Massa, Sekedar Produk Politik atau Suara Tuhan?

2 Juni 2014   18:17 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:48 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Fenomena kebersamaan pergerakan massa dalam riak politik akhir-akhir ini, sesungguhnya membawa kita pada pertanyaan paling mendasar, apa motivasi dibaliknya?

Hembusan angin demokrasi, mengkondisikan gerakan-gerakan massa dewasa ini, sebagai suatu fenomena yang dikenal sebagai perilaku kolektif, adalah hal yang wajar, meski masih harus dipilah lagi secara bijak, peristiwa per peristiwa.

Kalangan skeptis beranggapan, perilaku massa yang menggadang-gadang tokoh tertentu dalam peta politik tanah air, tentunya tidak lepas dari kepentingan, sementara yang sah-sah saja bila yang lain beranggapan kegiatan massa yang terorganisir tersebut (social movement) terbentuk sebagai akibat dari persamaan ideologi.

Manusia Indonesia seharusnya berpikir cermat, setelah tokoh yang di”idola”kan, kemudian berhasil naik ke tampuk pimpinan negeri ini, setelah itu apa? Apa dampak paling signifikan bagi kerumunan massa itu sendiri? Bagaimana aksi nyata si tokoh, yang diharapkan bukan cuma jadi macan podium, tapi minus dalam tindakan nyata, lepas bebas dari aksi seremonial dan pencitraan semata?

Betul, pendewasaan karakter bangsa butuh proses, saya sepakat untuk itu, tapi adalah suatu kewajiban bagi bangsa ini, untuk mencatat secara rinci, bahwa Garuda di dadaku bukan sekedar ditempel di kaos pada saat nasionalisme berkobar di pertandingan sepakbola, tapi tampil nyata sebagai suatu bentuk sikap hati sebagai warga negara dari suatu bangsa yang besar.

Maksudnya, sikap hati yang santun terhadap lawan politik meski berbeda jalan perjuangan, dan tidak memanfaatkan media sosial sebagai alat untuk mengkebiri karakter dan pilihan politik seseorang, siapapun itu.

Roh demokrasi bukan sekedar spirit imajiner, ditulis rapi diatas dialog dan pidato bernegara, terkesan intelektuil dalam bahasa yang berbunga-bunga, tapi sejatinya dapat mengisi kekosongan dalam lembaran hipokrasi, bagaimana cara  manusia Indonesia yang mengaku berTuhan, dapat merenung dan mendengar suara Tuhan secara benar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun