Mohon tunggu...
Advertorial
Advertorial Mohon Tunggu... Editor - Akun resmi Advertorial Kompasiana

Akun resmi Advertorial Kompasiana

Selanjutnya

Tutup

Money

Pentingnya Riset dalam Pengembangan Bioteknologi

28 September 2015   08:28 Diperbarui: 28 September 2015   08:28 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Peneliti menyiapkan ekstrak bahan pangan yang akan dianalisa kandungan di dalamnya. (Sumber gambar: KOMPAS/Iwan Setiyawan)"][/caption]Penelitian atau riset merupakan salah satu instrumen penting dalam menciptakan inovasi dan mengembangkan teknologi. Begitu pula dengan riset bioteknologi yang memerlukan dukungan pengembangan ilmu dasar atau basic science. Sayangnya, dunia riset di Indonesia sendiri masih jauh dari yang diharapkan bila dibandingkan dengan negara-negara maju. Hal tersebut disebabkan oleh banyak hal. Beberapa di antaranya adalah jumlah bantuan dana riset yang secukupnya dan iklim akademik di perguruan tinggi yang masih belum berkembang dengan baik.

Hal itu diungkapkan langsung oleh Ketua Center for Development of Advanced Science and Technology (CDAST) Universitas Jember Prof. Dr. Bambang Sugiharto, “Memang, sebagai seorang akademisi, saya menyadari bahwa dunia riset di Indonesia masih belum ideal. Dibandingkan dengan negara tetangga saja kita sudah banyak ketinggalan. Masalahnya memang banyak, di antaranya iklim akademik utama di perguruan tinggi masih belum berkembang dengan baik. Sistem pembelajaran yang harusnya didasarkan pada hasil-hasil penelitian, malah masih terkesan teoritis berdasarkan referensi yang sulit dimengerti.”

Melalui surat elektronik yang diterima Kompasiana, Bambang, yang juga merupakan ahli bioteknologi sekaligus peneliti, bercerita sekilas tentang bantuan dan dukungan yang diberikan pemerintah, “Sejauh yang saya tahu, pemerintah memberikan bantuan dana penelitian kompetitif melewati dana penelitian yang disediakan lewat Dikti, Riset, ataupun lembaga-lembaga lain, baik itu pemerintah maupun swasta. Kalau dibandingkan dengan negara lain yang sudah mapan, jumlah dana yang diterima peneliti memang relatif lebih kecil, tetapi saya yakin bila penelitian dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan, maka akan bisa tercipta iklim akademik yang lebih baik, serta dapat meningkatkan peran dan manfaat penelitian bagi pengembangan teknologi di Indonesia, khususnya bioteknologi.”

Seperti yang kita ketahui, sebagian besar wilayah Indonesia tengah dilanda bencana kekeringan akibat musim kemarau yang berkepanjangan. Akibatnya, produksi pangan mengalami kemerosotan yang cukup drastis. Padahal, kebutuhan pangan terus mengalami peningkatan seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia. Untuk mencapai swasembada pangan, pemerintah berencana untuk membuka lahan pertanian baru. Meskipun dinilai efektif, namun cara tersebut justru akan memberikan dampak buruk terhadap lingkungan.

Salah satu solusi yang paling tepat untuk meningkatkan ketersediaan tanaman pangan serta mengembangkan keanekaragaman hayati adalah dengan memanfaatkan bioteknologi. Bioteknologi, atau pemanfaatan sumber daya hayati melalui rekayasa genetik, telah terbukti mampu menyokong produksi tanaman pangan yang adaptif terhadap perubahan iklim serta tahan kekeringan dan hama tertentu.

Sebut saja tanaman tebu rekayasa genetika yang merupakan hasil penelitian Bambang beserta tim CDAST Universitas Jember. Berbeda dengan tebu biasa, tebu produk rekayasa genetika (PRG) ini memiliki beberapa keunggulan, yaitu toleran terhadap kondisi lahan kering dan memiliki tingkat produksi 20 hingga 30 persen lebih tinggi dibandingkan tebu jenis lainnya. Tebu PRG sendiri sudah disetujui oleh Komisi Keamanan Hayati, dan mendapatkan rekomendasi dari Menteri Lingkungan Hidup. Kementerian Pertanian pun sudah mulai memperkenalkan tebu ini kepada masyarakat luas.  

“Tim kami berhasil mengembangkan tebu PRG. Utamanya, tebu PRG toleran kekeringan, tebu PRG rendemen tinggi, tebu PRG tahan virus dan benih sintetik tebu. Soal kualitas, tanaman PRG yang dimanfaatkan dan dilepas telah diuji terlebih dahulu, sehingga kualitas dan hasil panennya lebih baik. Dibandingkan dengan persilangan konvensional, perakitan tanaman lewat bioteknologi lebih akurat dan lebih singkat waktunya,” jelas Bambang.

Terkait kelayakan, Bambang meyakinkan bahwa tanaman PRG aman dikonsumsi oleh masyarakat. Sebab, segala organisma, termasuk tanaman PRG, baru bisa dilepas ke pasaran maupun masyarakat bila sudah berhasil melalui uji keamanan. Hal tersebut mengacu pada PP 21-2005.

“Setiap organisma atau tanaman PRG yang dilepas harus secara substansi, sepadan dengan tanaman asalnya, tidak menularkan sifatnya ke organisma lain, tidak menggangu keseimbangan ekosistem yang ada, tidak mengandung senyawa toksid, tidak mengandung senyawa alergen, dan masih ada beberapa persyaratan lainnya,” pungkas Bambang. Kemudian ia melanjutkan, “Semua persyaratan dikaji dan diuji secara akurat dan akademis, serta sertifikasi dikeluarkan oleh kementerian yang bersangkutan dan juga BPOM. Sebenarnya, sebelum dikeluarkan sertifikasinya, informasi tanaman PRG di-posting secara terbuka di website IndoBIC (Indonesian Biotechnology Information Center) selama 60 hari. Masyarakat bisa memberikan tanggapan mereka terhadap organisma tersebut.”  

Untuk mencapai swasembada pangan dan pertanian yang berkelanjutan, perjalanan sekaligus perjuangan Bambang dan para peneliti lainnya masih cukup panjang. Malah, riset bioteknologi harus senantiasa dilakukan dan ditingkatkan. Sebab, seiring dengan berjalannya waktu, tentu akan ada tantangan-tantangan baru yang perlu diatasi. Oleh karena itu, pemerintah harus memberikan perhatian lebih kepada riset bioteknologi. Perhatian yang diharapkan pun tak hanya dalam bentuk bantuan dana, tetapi juga penetapan peraturan pemerintah mengenai bioteknologi. 

“Harapan saya ke depan adalah pengembangan bioteknologi tanaman bisa lebih maju lagi, sehingga dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas dan meningkatkan produksi tanaman, serta menyediakan pangan yang berkecukupan bagi masyarakat. Bioteknologi tidak hanya dapat digunakan untuk meningkatkan produksi pertanian, tetapi juga untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,” ujar Bambang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun