Mohon tunggu...
Advertorial
Advertorial Mohon Tunggu... Editor - Akun resmi Advertorial Kompasiana

Akun resmi Advertorial Kompasiana

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Masa Depan Pertanian Indonesia di Era Perubahan Iklim

4 Desember 2015   23:54 Diperbarui: 4 Desember 2015   23:55 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Pekerja memanen tebu di Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, Rabu (6/6/2012). Produksi gula di Jawa Tengah saat ini sekitar 230.000 ton per tahun yang rencananya akan terus ditingkatkan dengan target produksi gula mencapai 368.000 ton per tahun. Kendala yang masih dihadapi adalah terbatasnya luas lahan tebu dan kinerja pabrik gula yang belum optimal. KOMPAS/Raditya Mahendra Yasa"][/caption]Saat ini, jumlah penduduk dunia telah melampaui angka tujuh miliar. Jumlah tersebut diperkirakan akan terus bertambah dari tahun ke tahun. Pada 2050, kemungkinan besar jumlah penduduk dunia akan menjadi dua kali lipat. Dapat dikatakan, hal itu merupakan tantangan besar bagi pemerintah dan para petani untuk bahu-membahu dalam meningkatkan produksi pangan.

Selain lonjakan penduduk, dunia juga berhadapan dengan perubahan iklim yang sulit diprediksi akibat pemanasan global. Di Indonesia saja, ada sejumlah daerah yang mengalami kekeringan berkepanjangan. Ada pula beberapa daerah yang mengalami penaikan atau penurunan suhu secara ekstrim. Tanda-tanda perubahan iklim tersebut tidak mampu diatasi dengan metode atau sistem pertanian yang konvensional, sehingga dibutuhkan terobosan-terobosan baru, seperti bioteknologi.

Melihat perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi yang kian pesat, Ketua Center for Development of Advanced Sciend and Technology (CDAST) Universitas Jember Prof. Dr. Bambang Sugiharto yakin bahwa bioteknologi merupakan solusi yang tepat untuk mengatasi menipisnya stok pangan dan perubahan iklim. Tak hanya itu saja, beliau juga optimis bahwa bioteknologi dapat membantu mengatasi masalah kerusakan lingkungan. 

Bioteknologi, atau pemanfaatan sumber daya hayati melalui rekayasa genetik, telah terbukti mampu menyokong produksi tanaman pangan yang adaptif terhadap perubahan iklim serta tahan kekeringan dan hama tertentu. Salah satu produk rekayasa genetika (PRG) yang diklaim memiliki hasil panen serta kualitas yang lebih baik adalah tebu PRG. Tebu PRG sendiri merupakan hasil penelitian Bambang beserta tim CDAST Universitas Jember. Berbeda dengan tebu biasa, tebu PRG ini memiliki beberapa keunggulan, yaitu toleran terhadap kondisi lahan kering, memiliki tingkat produksi hingga 30 persen lebih tinggi dibandingkan tebu jenis lainnya dan lain-lain.

“Tim kami berhasil mengembangkan tebu PRG. Utamanya, tebu PRG toleran kekeringan, tebu PRG rendemen tinggi, tebu PRG tahan virus dan benih sintetik tebu. Soal kualitas, tanaman PRG yang dimanfaatkan dan dilepas telah diuji terlebih dahulu, sehingga kualitas dan hasil panennya lebih baik. Dibandingkan dengan persilangan konvensional, perakitan tanaman lewat bioteknologi lebih akurat dan lebih singkat waktunya,” jelas Bambang.

Saat ditanya mengenai kelayakan, Bambang meyakinkan bahwa baik tebu PRG maupun tanaman PRG lainnya aman dikonsumsi oleh masyarakat. Sebab, segala organisme, termasuk tanaman PRG, baru bisa dilepas ke pasaran maupun masyarakat bila sudah berhasil melalui uji keamanan. Hal tersebut mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika.

“Setiap organisme atau tanaman PRG yang dilepas harus secara substansi, sepadan dengan tanaman asalnya, tidak menularkan sifatnya ke organisma lain, tidak menggangu keseimbangan ekosistem yang ada, tidak mengandung senyawa toksid, tidak mengandung senyawa alergen, dan masih ada beberapa persyaratan lainnya,” pungkas Bambang.

Demi memajukan bidang bioteknologi di Indonesia, diperlukan pengembangan penelitian bidang dasar biologi, seperti biologi molekul, biokimia, fisiologi dan masih banyak lagi. Namun, bioteknologi juga tak akan mampu berkembang dan maju tanpa adanya sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, dana dari pihak pemerintah maupun swasta, fasilitas yang mumpuni, dan regulasi yang berpihak. Yang tak kalah pentingnya adalah komitmen setiap peneliti untuk menekuni bidang pengembangan bioteknologi.  

Selain Bambang dan tim CDAST Universitas Jember, ada sejumlah lembaga atau kelompok peneliti lain yang turut mengembangkan jenis tanaman PRG lainnya. Sejauh ini, jenis tanaman PRG yang tengah dikembangkan adalah jagung, ketela pohon, padi dan tomat. Hal itu menunjukkan bahwa minat para peneliti Indonesia terhadap bioteknologi semakin tinggi.

“Harapan saya ke depan adalah pengembangan bioteknologi tanaman bisa lebih maju lagi, sehingga dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas dan meningkatkan produksi tanaman, serta menyediakan pangan yang berkecukupan bagi masyarakat,” ujar Bambang mengakhiri sesi wawancara. (Adv)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun