Mohon tunggu...
Advertorial
Advertorial Mohon Tunggu... Editor - Akun resmi Advertorial Kompasiana

Akun resmi Advertorial Kompasiana

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Arah Transisi Energi Berkeadilan Indonesia

28 Oktober 2024   14:23 Diperbarui: 28 Oktober 2024   14:39 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia termasuk sepuluh negara G20 yang menandatangani Deklarasi Solidaritas dan Transisi Berkeadilan Silesia di Conference of Parties (COP) ke 24 tahun 2018. Beberapa negara, seperti Kanada, Jerman,dan Uni Eropa, merespon deklarasi tersebut dengan berbagai langkah.

Kanada misalnya, membentuk gugus tugas untuk mempersiapkan pekerja di industri batubara memasuki era transisi energi. Pemerintah Kanada menggelontorkan 150 juta dolar Kanada pada 2019 untuk mempersiapkan komunitas terdampak.

Di Indonesia, transisi energi mulai terbangun dengan penetapan target net zero emission (NZE) 2060 atau lebih cepat pada 2021. Komitmen untuk mengurangi penggunaan batubara pun ditunjukkan dengan penandatanganan deklarasi Global Coal to Clean Power Transition di COP 26 (kecuali pasal 3). 

Tindak lanjutnya, Indonesia menerbitkan Perpres 112/2022 yang melarang pembangunan PLTU baru kecuali PLTU batubara di kawasan industri dengan nilai tambah.

Meskipun demikian, Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai Indonesia perlu mempercepat laju transisi energi agar dapat meraih manfaatnya, seperti pertumbuhan ekonomi hijau dan berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim global. 

Di antaranya, IESR mengamati perlu adanya perbaikan dari segi kebijakan transisi energi, terutama terkait draf Rancangan Peraturan Pemerintah Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN). 

Draf RPP KEN menurunkan target bauran energi terbarukan dari 23 persen pada 2025 menjadi 17-19 persen di tahun yang sama. Penurunan target ini akan menghambat transisi energi Indonesia. 

Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Sistem Energi, IESR, mengungkapkan penurunan target dan ambisi transisi energi, seperti yang terlihat pada draft RPP KEN, dapat berdampak pada turunnya kepercayaan investor dan menambah resiko investasi energi terbarukan di Indonesia.

Ia juga menilai, kebijakan lainnya, seperti Rancangan Undang Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) sebaiknya difokuskan pada energi terbarukan, alih-alih mengakomodasi energi baru seperti gasifikasi batubara. 

"Indonesia membutuhkan perbaikan iklim investasi energi terbarukan dan infrastruktur yang mandek di angka rata-rata USD 1,6 miliar. Padahal untuk mencapai NZE 2050, investasi yang dibutuhkan sekitar USD 40-50 miliar per tahun sejak 2025," jelas Deon.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun