Mohon tunggu...
adven naya
adven naya Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

mahasiswa universitas muhammadiyah malang fakultas ilmu sosial dan politik program studi ilmu komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

alasan perempuan melakukan victim blaming pada korban pelecehan seksual

5 Januari 2025   21:55 Diperbarui: 5 Januari 2025   21:54 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

  Victim blaming adalah fenomena di mana korban kejahatan dianggap bertanggung jawab atas peristiwa yang menimpa mereka. Fenomena ini, khususnya dalam kasus kekerasan seksual, menjadi hambatan besar bagi para penyintas untuk berani berbicara dan mencari keadilan. Ketakutan akan stigma dan penilaian negatif masyarakat seringkali memaksa korban untuk tetap diam.

  Victim blaming merupakan ideologi yang mencari celah untuk menyalahkan korban atas ketidakadilan yang dialaminya. Dalam konteks pelecehan seksual, perempuan sering dianggap sebagai pemicu tindak pelecehan. Ideologi ini menguatkan ketidakadilan gender dan melanggengkan patriarki dalam masyarakat.

  Budaya patriarki memainkan peran besar dalam mendorong victim blaming. Berdasarkan data Komnas Perempuan (2018), 1 dari 3 perempuan di dunia mengalami pelecehan seksual, begitu pula dengan 1 dari 6 laki-laki. Studi Helen Benedict (1992) juga menunjukkan bahwa perempuan sering dianggap menarik oleh pria dari segala usia, memperkuat penilaian yang tidak seimbang terhadap perempuan dan menyudutkan perempuan.

  Beberapa faktor yang mendukung victim blaming meliputi:  

1. Rape Culture: Kurangnya edukasi menyeluruh mengenai kekerasan seksual.  

2. Sexual Behaviour: Kebiasaan seksual yang sering disalahpahami.  

3. Sexual Violence: Rendahnya pemahaman tentang kekerasan seksual.  

  Masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah lebih cenderung melakukan victim blaming karena mempertahankan tradisi konservatif yang didukung oleh lingkungan sosial. Hal ini menormalkan tindak pelecehan seksual dan memperkuat ketimpangan kekuatan gender. Studi di wilayah eks-Lokalisasi Dolly, misalnya, menunjukkan bahwa pelecehan seksual dianggap sebagai hal yang lumrah. Perilaku masyarakat setempat mencerminkan kebiasaan yang berbeda dari masyarakat umum, dengan perempuan lebih bebas dalam berpakaian dan berinteraksi.

  Dampak dan Stigma terhadap Korban pelecehan seksual sering menjadi sasaran hinaan dan stigma. Masyarakat melakukan slut-shaming, yaitu menilai perempuan berdasarkan penampilan atau perilaku yang tidak sesuai dengan norma sosial. Kurangnya edukasi menyeluruh tentang perilaku seksual juga memperburuk kesalahpahaman terhadap korban.

  Victim blaming dalam masyarakat, khususnya di wilayah eks-Lokalisasi Dolly, disebabkan oleh rendahnya edukasi dan kesadaran tentang isu pelecehan seksual. Normalisasi pelecehan, minimnya tindakan tegas, dan pemahaman yang salah tentang seksualitas memperkuat ideologi ini. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan edukasi menyeluruh, kesadaran kolektif, serta tindakan hukum yang tegas guna melindungi para korban dan mendorong keadilan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun