Mohon tunggu...
AD Tuanku Mudo
AD Tuanku Mudo Mohon Tunggu... Penulis - aktivis sosial kemasyarakatan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

penikmat kopi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilkada Masa Pandemi, Jamua Dikaka Ayam Dikajuik

26 September 2020   12:42 Diperbarui: 26 September 2020   12:45 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ratusan masyarakat dan ulama yang datang takziah saat pimpinan Ponpes Madrasatul 'Ulum Lubuak Pandan, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat Buya H. Marzuki Tuanku Nan Basa wafat 7 September lalu banyak tak pakai masker. (foto dok wag ikappmu lubuak pandan)

Pilkada serentak 9 Desember tetap dilaksanakan. Hajatan pesta demokrasi lokal lima tahun sekali kali ini sedikit berbeda dengan yang sudah-sudah. Kali ini Pilkada di tengah pandemi covid yang belum melandai. Volume kasus terkonfirmasi covid terus bertambah, yang juga diiringi penambahan kasus yang sembuh.

Kalau di Minangkabau, Pilkada kali ini adalah memberlakukan pepatah; jamua dikaka ayam dikajuik. Artinya, jemuran padi di tengah halaman harus terus di kembangkan supaya bisa cepat matang, dan bisa ditumbuk untuk ditanak nantinya. Di tengah menjemur padi itu, jangan lupa untuk menghalau ayam yang selalu mengincar kuningnya padi terserak dalam jemuran di halaman.

Sepertinya suara-suara yang meminta penundaan Pilkada dari berbagai pihak dan perorangan, tak dikabulkan pemerintah. Pilkada tetap berlanjut, sesuai hasil pertemuan Mendagri, KPU, Bawaslu dan DPR. Kenapa tetap dilanjutkan? Bisa jadi pemerintah melihat para calon yang sudah mendaftar di KPU masing-masing daerah telah menghabiskan energi yang cukup banyak untuk bisa sampai ke KPU.

Kemudian, akhir penyebaran covid sepertinya tak berujung. Suara-suara sumbang pun bersileweran di jagat media sosial. "Kenapa kok sekolah diliburkan, pesta baralek dilarang, orang beribadah dibatasi, dan ciutan lainnya. Sementara, pasar tak pernah ditutup. Pusat-pusat keramaian tak pernah pula ditutup, dan Pilkada yang akan mengumpulkan banyak orang tetap juga dilangsungkan".

Meskipun KPU sebagai penyelenggara Pilkada menegakkan aturan protokol kesehatan, ciutan sinis dari banyak orang tetap saja berlalu. Dalam proses hajatan itu, memang semuanya dibatasi. Mulai dari penerimaan calon yang datang ke KPU dengan hanya pengiring yang terbatas, hingga ke pembatasan pendukung yang boleh masuk ruangan saat pengundian nomor urut. Namun itu hanya sebagai imbauan. Pasangan atau pendukung dan pengusung ingin memperlihatkan tontonan yang menarik perhatian banyak orang.

Yang ganjil-ganjil pun terlihat saat calon ke KPU bersama partai pendukung. Iring-iringan ratusan mobil yang memuat banyak orang pun tak dapat dielakan. Aturan pembatasan pengiring hanya tinggal aturan. Kalaulah banyak orang, banyak pula ulahnya. Jangan tanya ada atau tidaknya masker. Lihat saja buktinya, apa yang sedang mereka lakukan untuk mengelu-elukan kandidatnya dalam pesta demokrasi lokal tersebut.

Kita tak menutup mata, ada juga calon kepala daerah yang patuh terhadap imbauan KPU. Hanya sebagian kecil pendukung dan pengusung yang ikut ke KPU. Tapi itu hanya sebagian kecil presentasenya. Akibatnya, komisioner KPU hingga ke calon anggota KPPS beserta pegawai sekretariat terpapar virus corona. Dan memang, virus ini hinggapnya tak memandang orang dan jabatan serta status sosial yang dimasukinya.

Inti dan kesimpulan imbauan pemerintah dan KPU, jangan sampai ajang Pilkada menjadi kluster baru penyebaran covid. KPU minta pemerintah memperkuat Satgas penanganan covid. Tentunya, Pilkada di tengah pandemi ini ancaman bagi masyarakat. Partisipasi pemilih yang selama ini paling tinggi itu hanya 76 persen, kali ini mungkin jauh berkurangnya.

Di perkampungan, memakai masker masih terasa asing, dan belum terbiasa. Meskipun corona menimpa negeri ini sejak awal tahun ini. Artinya, ajakan untuk memakai masker sudah sejak lama, masyarakat di perkampungan kebanyakan tetap tidak mau memakai alat penutup mulut dan hidung itu. Di Sumatera Barat sendiri telah diberlakukan Perda wajib pakai masker. Para pelanggarnya di denda dengan kurungan dan sanksi. Tetapi, masyarakat perkampungan daerah ini tetap saja dengan kebiasaannya yang tidak pernah memakai masker.

Begitu juga ibadah di masjid dan surau di tengah nagari di Sumbar, nyaris tidak berlaku protokol covid. Saf tetap saja rapat. Hanya sebagian kecil masjid dan surau yang berada di perkotaan yang memilih tidak pakai tikar panjang dalam shalat berjemaah. Lagi-lagi covid menurut masyarakat kampung sebuah permainan politik atau pengalihan isyu. Masyarakat seolah-olah tak percaya covid itu penyakit yang menakutkan sekaligus mematikan.

Orang kampung sandaran tauhidnya lumayan kuat. Mereka meyakini, hidup dan mati adalah urusan Yang Maha Kuasa. Banyak kasus corona yang meninggal dan dikubur secara covid, selalu jadi perdebatan bagi masyarakat. Bahkan ada kuburan itu yang dibongkar kembali, dan mayatnya diselenggarakn seperti yang sudah berlaku di tengah masyarakat setempat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun