Mohon tunggu...
AD Tuanku Mudo
AD Tuanku Mudo Mohon Tunggu... Penulis - aktivis sosial kemasyarakatan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

penikmat kopi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Marulis dan Buya Tuanku Shaliah Lubuak Pandan, Kisah tentang Kedekatan Anak dan Ayah

9 September 2020   12:28 Diperbarui: 9 September 2020   12:24 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suara Buya Marulis Tuanku Mudo nyaris hilang. Kerongkongannya seakan penuh, sehingga jawabannya tak terdengar oleh banyak orang yang menjenguk, Ahad (6/9/2020) malam beberapa saat setelah kepergian Buya Marzuki Tuanku Nan Basa ke haribaan Allah Swt. Sebab, hasil kesepakatan antara alumni dan niniak mamak Lubuak Pandan, masa depan Madrasatul 'Ulum tertumpang pada Buya Marulis, yang memang sering mewakili Buya Marzuki mengajar saat dia berhalangan.

"Kalau sebutan khalifah itu mungkin terasa berat. Tetapi kalau membantu mengajar dengan dukungan dari semua alumni, ambo siap," kata Buya Marulis. Kenapa Buya Marulis? Santri yang memulai mengaji di Lubuak Pandan tahun 1976 ini punya cerita dan pengalaman yang menarik dengan Buya Tuanku Shaliah, pendiri Pesantren Madrasatul 'Ulum.

Setahun Buya Marulis di Lubuak Pandan, pindah mengaji ke Kabupaten Sijunjung. Surau Simauang namanya. Dua tahun dia di sana (1977-1979), lalu balik lagi ke Lubuak Pandan. Hingga tahun 1988 Buya Marulis belajar dan mengajar di Lubuak Pandan. Tahun 1980 dia jadi marapulai. Delapan tahun setelah itu, dia disuruh oleh Buya Tuanku Shaliah mengajar ke Surau Talang Koto Buruak, Lubuk Alung.

Buya Marulis yang lahir 1959 di Kuncia, Kecamatan X Koto Diateh, Kabupaten Solok ini termasuk santri dan anak pakiah yang disayang oleh Buya Tuanku Shaliah. Dia tak banyak belajar, kecuali mengajar atas suruhan Buya Tuanku Shaliah. Sebab, tradisi di kalangan pesantren tradisional, mengajar itu bagian terpenting dalam belajar. "Malin anak siak dek anak sasian," itu ungkapan yang acap diucapkan Buya Tuanku Shaliah dulunya untuk memotivasi santri senior agar terjun mengajar.

Buya Marulis di Koto Buruak dari 1988-2005. Sampai-sampai Surau Talang Koto Buruak disebut sebagai Cabang Madrasatul 'Ulum Lubuak Pandan. Ada santri yang tamat di situ, dan banyak santri dan anak pakiah yang ikut belajar dan mengajar bersama Buya Marulis. Buya Tuanku Shaliah sering dan acap ke situ dalam suatu momen. Tentu diundang untuk mengharap keberkahan dari ulama besar yang hidup dari rentang 1908-1996 ini.

Hubungan Buya Tuanku Shaliah dan Buya Marulis, tidak sekedar hubungan guru dan murid. Lebih dari itu. Malah lebih dari hubungan ayah dan anak. Buya Tuanku Shaliah sangat kenal dan tahu siapa itu Buya Marulis, sampai ke keluarga Buya Marulis itu sendiri diketahui oleh Buya Tuanku Shaliah. Mungkin beda dengan santri lainnya. Banyak santri yang mengenal Buya Tuanku Shaliah, tapi tidak semua santri itu diketahui namanya oleh Buya Tuanku Shaliah.

Paling Buya Tuanku Shaliah itu memanggil santri yang tidak tahu namanya itu dengan panggilan, "oih, waang, iyo waang, kamarilah". Dan itu wajar. Tapi kalau santri yang tidak tahu dengan Buya-nya, namanya keterlaluan. Saking dekat hubungan Buya Marulis dengan Buya Tuanku Shaliah ini, bukan berarti Buya tak pernah berang ke Buya Marulis. Tidak. Malah Buya Marulis merasakan bagaimana kanai berang dari gurunya. Tapi berang guru itu laksana ayah berang ke anaknya, tanda sayang, kata banyak orang.

Acap dia diajak oleh Buya Tuanku Shalih kemana pun Buya berjalan dan bertugas. Dan memang kebiasaan Buya tidak pernah berjalan surang. Bagi Buya, gunanya santri dibawa adalah untuk jadi makmum dalam shalat saat waktu shalat masuk. Shalat berjemaah lima waktu sehari semalam itu semacam wajib oleh Buya dalam hidupnya. Tidak sekedar berjemaah, shalat di awal waktu pun jadi kebiasaannya yang tidak pernah dia lalaikan.

Pengalaman Buya Marulis suatu waktu mendampingi Buya Tuanku Shaliah ke Tiku, Kabupaten Agam tahun 1980 an. Naik mobil di Simpang Empat Pauh Kambar, tiba di Sungai Limau waktu shalat Ashar masuk, azan telah berkumnadang lewat pengeras suara. Buya minta turun di situ. Sopir tak mau lantaran mobil ke Lubuak Basuang dari Padang sudah tidak ada lagi.

Buya pun tak peduli itu. Yang penting baginya, shalat dulu berjemaah di masjid. Lama berdebat, akhirnya sopir mengalah dan membiarkan Buya bersama Buya Marulis turun dari mobil, dan melangkah ke masjid. Buya dan Marulis terus berjalan ke arah masjid dan tak melihat lagi ke belakang. Termasuk kelebihan ongkos yang sudah dibayar tidak diminta dan tidak dipersoalkan.

Selesai shalat berjemaah, rupanya mobil tadi setelah berjalan beberapa meter mengalami pecah ban. Tiba di pinggir jalan sehabis dari masjid, rupanya petugas mobil tadi masih memperbaiki dan mengganti ban yang bocor ke ban serap yang tidak bocor. Akhirnya, mobil itu lagi yang ditumpangi Buya untuk melanjutkan perjalanan dakwahnya ke Tiku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun