Buya lahir di Jambak, Nagari Pakandangan tahun 1908 M dari pasangan Syekh Mukaddam dan Hj. Tiambun. Syekh Mukaddam adalah seorang ulama yang terbilang masyhur di Sungai Rotan, Pariaman.
Diberi nama Abdullah Aminuddin oleh orangtuanya, Buya tak begitu menikmati dunia anak-anak di kampungnya, Pakandangan. Di Usianya delapan tahun, ia telah merantau dan meninggalkan tanah kelahirannya.
Meskipun ke Ulakan, tak jauh dari Pakandangan, tetap saja terbilang merantau namanya. Oleh orangtuanya, Buya diserahkan ke seorang ulama yang alim. Tuanku Bonta namanya. Mengajar anak-anak mengaji di Ulakan, kampung yang terkenal dengan keberadaan makam Syekh Burhanuddin.
Di Ulakan ini Buya mulai mendapatkan rasa. Rasa berguru. Tertanamlah rasa hormat dan sayang kepada gurunya. Rasa nikmatnya mengaji, dan beribadah. Yang tak kalah penting itu, adalah rasa ingin haus akan ilmu pengetahuan.
Sebab, bersama ulama Tuanku Bonta itu Buya mempelajari ilmu Quran, yang merupakan pedoman hidup umat Islam. Mulai dari belajar membaca sesuai makrajul hurufnya, sampai kepada belajar makna yang terkandung dari Quran.
Timbulnya rasa ingin tahu dan ingin mendalami ilmu agama itu, Buya dengan semangat yang gigih dan atas restu gurunya, pergi ke Padang. Tepatnya di Koto Tangah untuk lebih mendalami lagi ilmu agama.
Di sana ia bersua dengan ulama yang terkenal mahir dalam ilmu alat atau nahwu sharaf. Tuanku Angin namanya. Saking asyiknya Buya di Koto Tangah, tak terasa sudah berlalu dua tahun lamanya ia berada dan mengaji bersama ulama hebat ilmunya itu.
Dari Koto Tangah, Buya melanjutkan pengembaraannya mencari ilmu. Kali ini balik lagi ke Piaman. Tepatnya ke Bintungan Tinggi bersama Syekh Abdurrahman atau yang lebih dikenal dengan Syekh Bintungan Tinggi. Dengan ulama besar ini, Buya lebih mendalami ilmu fiqh. Sebuah kajian yang mendalami persoalan hukum Islam.
Syekh Bintungan Tinggi atau Syekh Abdurrahman, menurut penelitian Yulfira Riza, adalah satu di antara sederetan khalifah-khalifah Syekh Burhanuddin yang tersohor. Namanya melambung, semasyhur surau yang beliau pimpin, Surau Bintungan Tinggi.
Di samping darah beliau yang asli dari keturunan Khalifah ke-3 Syekh Burhanuddin, Syekh Abdurrahman Ulakan, keberhasilan beliau sangat ditentukan oleh kealiman dan ketinggian ilmu serta kepahaman yang dalam, juga prestasinya sebagai khalifah dalam Tarekat Syatariyah, tarekat yang berkembang pesat kala itu.
Wikipedia mencatat, Surau Bintungan Tinggi terletrak di Nagari Bintungan Tinggi, Kecamatan Nan Sabaris, mulai didirikan 1864 M. Keberadaan surau ini berkaitan dengan figur Syekh Abdurraham atau Syekh Bintungan Tinggi. Usai mendalami agama di Ulakan, Abdurahman mendirikan surau di Nagari Padang Bintungan pada 1864.