Mohon tunggu...
AD Tuanku Mudo
AD Tuanku Mudo Mohon Tunggu... Penulis - aktivis sosial kemasyarakatan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

penikmat kopi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cerita Buya Tuanku Shaliah Lubuak Pandan, Berguru kepada Banyak Ulama Hebat

1 September 2020   15:26 Diperbarui: 1 September 2020   15:30 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buya Tuanku Shaliah Lubuak Pandan, pendiri Ponpes Madrasatul 'Ulum saat dikelilingi sejumlah santrinya tahun 1990 an. (foto dok facebook ponpes madrasatul 'ulum, kiriman hanton, salah seorang alumni yang kini jadi dosen di iain bukittinggi) dokpri

Buya lahir di Jambak, Nagari Pakandangan tahun 1908 M dari pasangan Syekh Mukaddam dan Hj. Tiambun. Syekh Mukaddam adalah seorang ulama yang terbilang masyhur di Sungai Rotan, Pariaman.

Diberi nama Abdullah Aminuddin oleh orangtuanya, Buya tak begitu menikmati dunia anak-anak di kampungnya, Pakandangan. Di Usianya delapan tahun, ia telah merantau dan meninggalkan tanah kelahirannya.

Meskipun ke Ulakan, tak jauh dari Pakandangan, tetap saja terbilang merantau namanya. Oleh orangtuanya, Buya diserahkan ke seorang ulama yang alim. Tuanku Bonta namanya. Mengajar anak-anak mengaji di Ulakan, kampung yang terkenal dengan keberadaan makam Syekh Burhanuddin.

Di Ulakan ini Buya mulai mendapatkan rasa. Rasa berguru. Tertanamlah rasa hormat dan sayang kepada gurunya. Rasa nikmatnya mengaji, dan beribadah. Yang tak kalah penting itu, adalah rasa ingin haus akan ilmu pengetahuan.

Sebab, bersama ulama Tuanku Bonta itu Buya mempelajari ilmu Quran, yang merupakan pedoman hidup umat Islam. Mulai dari belajar membaca sesuai makrajul hurufnya, sampai kepada belajar makna yang terkandung dari Quran.

Timbulnya rasa ingin tahu dan ingin mendalami ilmu agama itu, Buya dengan semangat yang gigih dan atas restu gurunya, pergi ke Padang. Tepatnya di Koto Tangah untuk lebih mendalami lagi ilmu agama.

Di sana ia bersua dengan ulama yang terkenal mahir dalam ilmu alat atau nahwu sharaf. Tuanku Angin namanya. Saking asyiknya Buya di Koto Tangah, tak terasa sudah berlalu dua tahun lamanya ia berada dan mengaji bersama ulama hebat ilmunya itu.

Dari Koto Tangah, Buya melanjutkan pengembaraannya mencari ilmu. Kali ini balik lagi ke Piaman. Tepatnya ke Bintungan Tinggi bersama Syekh Abdurrahman atau yang lebih dikenal dengan Syekh Bintungan Tinggi. Dengan ulama besar ini, Buya lebih mendalami ilmu fiqh. Sebuah kajian yang mendalami persoalan hukum Islam.

Syekh Bintungan Tinggi atau Syekh Abdurrahman, menurut penelitian Yulfira Riza, adalah satu di antara sederetan khalifah-khalifah Syekh Burhanuddin yang tersohor. Namanya melambung, semasyhur surau yang beliau pimpin, Surau Bintungan Tinggi.

Di samping darah beliau yang asli dari keturunan Khalifah ke-3 Syekh Burhanuddin, Syekh Abdurrahman Ulakan, keberhasilan beliau sangat ditentukan oleh kealiman dan ketinggian ilmu serta kepahaman yang dalam, juga prestasinya sebagai khalifah dalam Tarekat Syatariyah, tarekat yang berkembang pesat kala itu.

Wikipedia mencatat, Surau Bintungan Tinggi terletrak di Nagari Bintungan Tinggi, Kecamatan Nan Sabaris, mulai didirikan 1864 M. Keberadaan surau ini berkaitan dengan figur Syekh Abdurraham atau Syekh Bintungan Tinggi. Usai mendalami agama di Ulakan, Abdurahman mendirikan surau di Nagari Padang Bintungan pada 1864.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun