Mohon tunggu...
ADRY KHOIRUN NIZAN
ADRY KHOIRUN NIZAN Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Everyone can live. But not everyone can write.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tertindas oleh Pandangan Sosial dan Aturan, Beginilah Nasib Seorang Samurai Perempuan

22 Juni 2024   03:36 Diperbarui: 23 Juni 2024   15:49 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awal tahun 2024, tepatnya pada bulan Februari, FX  merilis series “Shogun” yang diadaptasi dari sebuah novel karya James Clavell. Series tersebut berhasil membuat banyak orang tertarik untuk menonton. Hal tersebut terjadi karena plot atau cerita yang disajikan terinsipirasi dari peristiwa sejarah, yaitu berakhirnya zaman Sengoku serta dilantiknya Tokugawa Ieyasu menjadi seorang Shogun. Tokoh Toranaga diadaptasi dalam Ieyasu, pemimpin yang kharismatik serta cerdik. Dalam mencapai tujuannya, Toranaga memanfaatkan banyak pihak. Pemanfaatan tersebut muncul pada tokoh Mariko sebagai pejuang perempuan dalam pertempuran. Ia berhasil menjalankan perintah dari Toranaga untuk memancing keributan di wilayah musuhnya. Kemudian, Mariko juga berhasil menampilkan kepiawaiannya dalam memainkan naginata. Di balik kepiawaiannya dalam menjalankan tugas, Mariko masih seorang manusia yang memiliki perasaan. Namun, ia harus meredam hasrat serta keinginannya karena dirinya dituntut untuk menjadi samurai perempuan atau onna-musha. Kemanusiaannya dibatasi karena tuntutan tugas, sayang sungguh sayang sekali.

Mariko bukan satu-satunya pejuang perempuan yang ada dalam series "Shogun". Banyak perempuan lainnya yang dihadirkan dalam series tersebut, di antaranya yaitu Fuji dan Ochiba. Penampilan Fuji dan Ochiba merupakan representasi lain dari samurai perempuan dalam series "Shogun". Hidup mereka berdua tidak jauh berbeda dengan Mariko. Penuh derita. Fuji yang kala itu baru saja melahirkan, harus menanggung kesalahan suaminya. Suami Fuji, Tadayoshi, melakukan kesalahan dalam pertemuan dewan sehingga dirinya harus menebus perbuatannya dengan cara seppuku. Keadaan semakin runyam ketika Tadayoshi berjanji akan mengakhiri garis keturunannya. Malang sudah nasib Fuji. Sebagai seorang ibu, dirinya masih menginginkan anaknya. Namun, sebagai seorang onna-musha mau tidak mau ia harus merelakan anaknya.

Fuji dan anaknya dalam series
Fuji dan anaknya dalam series "Shogun"
Sama halnya dengan Mariko dan Fuji, Ochiba diharuskan untuk melindungi putranya yang masih belia dari terkaman manusia serakah yang harus akan kekuasaan. Ia dipaksa untuk menjadi seseorang yang bukan dirinya. Direnggutnya nyawa sang suami membuat tujuannya beralih untuk melindungi anaknya, karena tidak ada satupun pihak yang akan benar-benar melindungi anaknya, seorang pewaris tahta. Melihat bagaimana nasib ketiga perempuan dalam series "Shogun", dapat kita pastikan mereka hidup dengan susah dan penuh dengan perjuangan. Lantas apa yang sebenarnya menjadi tugas bagi samurai perempuan atau onna-musha?

Samurai berarti 'mereka yang melayani'. Artinya, samurai merupakan seorang manusia yang menanamkan kesetiaannya kepada tuannya. Biasanya, mereka ditugaskan dalam sebuah pertempuran. Namun, ada beberapa kasus di mana samurai hanya ditugaskan sebagai penjaga atau polisi yang mengamankan wilayah penguasa setempat. Namun, nama samurai berubah menjadi ronin ketika mereka kehilangan tuannya. Kasus tersebut terjadi apabila majikan dari samurai tersebut membebaskannya atau terbunuh dalam suatu peristiwa. Lantas apakah bisa seorang samurai membunuh majikannya agar ia bisa bebas? Mereka bisa membunuh tuannya. Namun, setelah dirinya terbebas dan menjadi ronin, apa yang akan menjadi tujuan dari hidupnya? Samurai akan sulit untuk melanjutkan hidup tanpa seorang tuan, karena mereka sendiri diajarkan untuk menjunjung kesetiaan, kekuatan, kerendahatian, serta kepatuhan.

Abad ke-11 menjadi abad yang penuh kegemilangan bagi kaum samurai. Akibat dari kegemilangan tersebut, kedudukan mereka semakin tinggi serta muncul juga samurai perempuan atau onna-musha. Samurai perempuan muncul diakibatkan oleh tradisi baru di kalangan keluarga samurai. Mereka diharuskan untuk menikahi perempuan dari keluarga dengan kasta yang sama. Jika mereka tidak menikah dengan perempuan dari keluarga samurai, kemungkinan besar samurai yang bersangkutan akan membuat sebuah skandal atau peristiwa untuk menutupi hal tersebut. Perempuan yang dinikahi oleh pihak samurai akan memiliki gelar onna-musha. Bukan hanya perempuan yang dinikahi saja, anak laki-laki dari samurai tersebut akan menjadi samurai, sedangkan anak perempuan akan menjadi onna-musha. Untuk kasus tokoh Mariko dalam series "Shogun", ia mendapatkan gelar tersebut melalui jalur keturunan. Dalam buku "Samurai Women 1184-1877" karya Tephen Turnbull, disebutkan bahwa onna-musha mulai bermunculan pada abad ke-11. Tokoh yang paling dikenal pada kala itu adalah Tomoe Gozen, samurai perempuan yang dikenal karena keanggunannya dalam medan perang.

Tomoe Gozen (Sumber: metmuseum.org)
Tomoe Gozen (Sumber: metmuseum.org)

Kehidupan samurai perempuan dalam perspektif historis tidak jauh berbeda dengan yang disajikan dalam series "Shogun". Mereka masih terbelenggu dengan aturan serta batasan yang tidak boleh dilewati. Bahkan pada masa keshogunan Tokugawa, diskriminasi terhadap samurai perempuan semakin menguat. Dengan meningkatnya pamor samurai pria, samurai perempuan mulai dipandang dengan rendah oleh mereka. Ditambah, tuntutan masyarakat yang mengharuskan samurai perempuan untuk tetap melayani suami membuat mereka semakin tenggelam dalam praktik patriarki yang dijalankan. Lantas bagaimana jika mereka mencoba untuk melawan atau tidak bisa memenuhi kebutuhan suaminya? Perempuan yang tidak memenuhi hal tersebut akan diperintahkan untuk melakukan seppuku atau bunuh diri. Zaman tersebut membuat perempuan dibatasi dalam beberapa hal, dibelenggu oleh kaum pria, dan menderita dalam kesendirian.

Ketidakberdayaan samurai perempuan dalam menghadapi praktik patriarki sungguh sangat disayangkan. Baik dalam series maupun sejarah mereka sama-sama terbelenggu oleh praktik patriarki. Pejuang wanita yang tangguh menghadapi berbagai pertempuran dapat dengan mudahnya ditundukkan oleh tuntutan sosial serta praktik patriarki yang dijalankan masyarakat Jepang pada kala itu. Mereka tidak memiliki pilihan. Mereka tidak berdaya untuk melawan. Begitulah mereka dilatih untuk hidup, tidak melawan, setia, dan menjadi pelayan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun