Darahku tak tahu sedang bergolak dengan apa, saat kutulis sajak tentangmu, Tharesia.
Jeruji besi berjajar sombong menghalau rindu yang kian rumit.
Akar rerumputan acuh mengibar ikut dengan tarian angin semilir di kejauhan.
Aku belajar menerima, berusaha memahami kegagalan, lewat air di mata yang selalu gagal aku tahan.
Tuhan punya Maha, kita tiada berarti jika Dia dalam kehendakNya.
Aku diberi hidup, aku bergerak, aku berusaha.
Harum tubuhmu, Tharesia, gelombang indah rambutmu bertahta indah pada setiap otak bawah sadarku.
Sajakku mengantar keterbiasaan akan hangatnya pelukanmu, teduhnya belaianmu.
Semua bisa saja pergi, namun hingga Tuhan membawaku pergi aku hanya kan pergi tanpa melupakan.
Belajarlah untuk menghafalkan jalan pulang, Tharesia.
Agar Tuhan tiada pernah mencibir cinta yang tak bisa menemukan jalannya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H