Mohon tunggu...
Faqih Ashri
Faqih Ashri Mohon Tunggu... Teknisi - The Revolutionist

Bima City, 06-02-1990 Menulis untuk mengetahui rahasia tak tertulis, mendamba setiap pengalaman baru yang tak terlupakan.. City Planner, Content Writer, YouTuber. www.faqihashri.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Target Jangka Pendek Featuring Jangka Panjang untuk Bima Raya yang Lebih Baik

21 Mei 2014   14:22 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:17 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selamat pagi para rekan sejawat!

Saya menyapa dari pinggir sebuah pantai yang tenang di Kota Bima tercinta. Desiran gelombang pelan bergerak membasuh mata kaki, berpadu cahaya mentari membias kemilau indah di pertemuan antara air dan pasir. Nah, dalam kondisi normal seperti ini; panorama daerah kita begitu istimewa. Burung berkicau riang, tumbuhan tersenyum menawan, hati manusia yang melihat pun jadi tenteram. Beda lagi kalau hari sudah beranjak siang. Deru suara kendaraan, kesibukan suasana perdagangan, hiruk-pikuk dunia politik, anak-anak muda alay yang menggeber motornya, serta konflik di dalam kampung, seakan menyatu menodong mata dan telinga kita untuk segera merasa bosan kemudian keluar mengungsi ke daerah lain.

Kenapa Bima kita tercinta berubah? Kenapa perkembangannya cenderung ke arah yang negatif? Itu pertanyaan-pertanyaan “kebimbangan” dari banyak kalangan. Parahnya, ada yang sampai bertanya ke saya : “Terus ngapain kamu balik ke Bima padahal sudah tahu kondisinya seperti itu? Kamu bisa jadi orang besar loh kalau mau kerja di Jawa!” . Biasanya kalau sudah ditanya seperti itu, saya hanya jawab seadanya : “lantas, kenapa juga kalian jarang yang berani ngadu nasib di luar Jawa? Hujan batu di negeri sendiri lebih baik dari pada hujan emas di negeri orang! Yah, entah kenapa keterikatan hati saya dengan tanah kelahiran begitu besarnya, walaupun disini tidak ada jaminan saya akan menjadi apa, tidak ada kepastian saya akan jadi siapa.

Dulu saya melanjutkan studi memang meniatkan diri agar kelak bisa berkontribusi bagi daerah sendiri. Untuk apa berbicara panjang lebar tentang Indonesia, sementara disini belum terbenahi? Masa bodoh dengan jiwa nasionalisme, jika memang pemerintah Indonesia sendiri hanya membuka diri mengurus Pulau Jawa dan Sumatera dalam hal pembangunan. Bagi yang punya peta negara Indonesia, silahkan dicek, ada berapa pulau di negara kita? Apakah disitu pulau Sumbawa tidak masuk dalam wilayah territorial negara Indonesia? Kemudian lihat data dari Kementerian Pekerjaan Umum, berapa persen pembangunan infrastruktur ke-PU-an yang telah terealisasi dalam setiap pulau. Disitu bisa dilihat ketimpangan pembangunan yang terjadi di setiap pulau. Dan semua itu terpampang nyata, di tengah komitmen pemerintah untuk menerapkan unsur keadilan dan pemerataan. Kalau pemerintah bisa omong kosong tentang nasionalisme, kenapa kita tidak boleh?

Ini sebagai kilasan info saja, luas daerah Bima Raya (Kota Bima dan Kabupaten Bima) lebih dari 4500 km persegi. Luas itu jauh di atas luas berbagai daerah, antara lain : Malang Raya yang memiliki total luas sekitar 3700 km persegi, Kabupaten Bogor 2664 km persegi, Kabupaten Semarang 981 km persegi, Kabupaten Sidoarjo hanya 592 km persegi, atau pun Kabupaten Lombok Barat yang memiliki luas 1672 km persegi. Apa kita harus bilang ‘Woww’ dengan fakta tersebut? Bisa jadi iya, jika kita bandingkan perkembangan ekonomi dan infrstruktur antar daerah tersebut!

Saya belum ingin menyajikan data ketimpangan itu, agar kita lebih fokuskan pembahasan sesuai dengan judul tulisan di atas. Sudah banyak yang menyadari dan memahami perubahan negatif yang dialami oleh Bima Raya. Walaupun perubahan seperti ini merupakan sesuatu yang “wajar” dialami oleh setiap daerah yang berkembang, akibat dari pertambahan jumlah penduduk yang tidak diimbangi dengan kemajuan ekonomi serta antisipasi gejala sosial yang memadai. Namun, saya bisa katakan fenomena yang terjadi di Bima Raya ini terkesan lebih cepat dari daerah lainnya. Belum juga mencicipi predikat membanggakan dari pemerintah pusat, kita sudah lebih dulu kena stempel “tukang rusuh”. Kalau daerah lain bisa berbangga dengan gelar Adipura-nya, masyarakatnya yang dapat Kalpataru, dan berbagai gelar daerah terhormat lainnya, sedangkan kita masih berkutat dengan mengurusi kelemahan demi kelemahan yang ada. Mau sedih, kecewa, atau malah bersemangat?

Saat saya menjadi salah satu orang yang bersemangat melihat kekurangan-kekurangan daerah kita, dan mencoba menawarkan solusi cepat (jangka pendek), malah ada saja yang dengan sinis mencibir itu, ada yang mengatakan saya anak bau kencur belum ngerti apa-apa, ada yang bilang argument itu terlalu dangkal dan lain-lain. Alasan mereka bahwa Bima Raya lebih butuh solusi jangka panjang yang menyangkut sisi spiritual, karena berbagai kerusakan ini berpangkal pada kebobrokan moral. What did you say? Selama puluhan tahun Bima berkutat dengan solusi bidang spiritual, apa dampak yang kemudian terjadi masa kini? Adakah kini pemuda-pemudi makin rajin mengaji di rumah? Adakah perilaku perzinahan makin berkurang? Adakah ketika jadi politikus, para pemuda itu kini tidak doyan korupsi? Saya pikir, tidak!

Saya rasa sudah ada semacam “virus long term” yang menjangkiti para pemikir-pemikir di Bima Raya, maunya idealis berpikir lebih jauh ke depan, tidak peduli bentuk permasalahan yang sedang terjadi. Saya disini bukan tidak mengerti dengan pemikiran jangka panjang. Saya sudah biasa mengatur rencana periode 20-tahunan, menyusun strategi pengendalian dampak sosial, dan mengemas visi menjadi misi agar menjadi lebih solutif. Therefore, saya bisa menyimpulkan bahwa yang lebih dibutuhkan oleh Bima Raya ini adalah solusi cepat yang tidak neko-neko, logis, menyasar langsung ke objek yang bermasalah. Solusi jangka panjang tidak perlu dikhawatirkan, sudah banyak konsep yang tertuang dalam dokumen tertulis, lebih idealis dari apa yang kita pikirkan. Di instansi perencanaan setiap daerah sudah ada yang namanya RPJPD, RPJMD, RTRW, RDTR, Renstra, dan lain-lain. Semua mengakomodasi rencana ideal yang baku dan kaku. Kita mau mengimpikan setinggi langit pun solusi jangka panjang, namun jika tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah itu, maka solusi kita akan masuk tong sampah. Oleh karena itu, kita perlu memperhatikan rencana jangka panjang itu sebagai dasar untuk merumuskan langkah jangka pendek yang sudah pasti tidak keluar dari rel yang telah ditentukan pemerintah. Bahasa mudahnya adalah, TIDAK MUNGKIN dalam tubuh pemerintah daerah kita yang masih memegang kuat nilai Islami ini tidak mengakomodir sama sekali sisi spiritual dalam rencana jangka panjang mereka. Nah, kita sebagai masyarakat agen perubahan tinggal memberi masukan tentang langkah cepat yang tidak terpikir oleh mereka. That’s point!

Fakta yang ada, daerah kita memiliki wilayah administrasi yang luas, sumber daya alam yang luar biasa istimewa, pemerintah yang mandiri secara desentralisasi, masyarakat yang masih cenderung homogen, dinamika sosial belum terlalu rumit dan kompleks. Lantas, apa yang kita tunggu?? Menunggu kelahiran anak cucu? Kemudian membimbing mereka dengan metode spiritual jangka panjang di gunung-gunung jauh dari hiruk pikuk dunia? Malu juga saya kalau ditanya oleh teman-teman di luar sana : “apa strategi Bima Raya untuk mengembangkan wilayah?”. Apa saya harus selalu menjawab : “ah, kami cuma pake cara pengembangan spiritual kok..” . Edan euy!

Ibaratkanlah seperti ini, jika kita tidak ingin daerah Bima banjir, apa yang akan kita lakukan? Banjir itu ada yang lima tahunan, ada yang sepuluh tahunan. Itu masuk dalam isu jangka panjang. Apa kita harus terus melihat bahwa banjir hanya ‘kutukan’ Tuhan karena daerah kita kurang beriman? Kemudian kita harus buat solusi membumikan Qur’an di kalangan pemuda? Atau kita mau coba melihat banjir sebagai ulah manusia yang membuang sampah sembarangan di sungai dan menebang pohon sembarangan? Dan untuk mengatasi itu kita perlu solusi jangka pendek untuk menyediakan tangki pembuangan sampah dan penerapan reboisasi. Mana yang kita pilih?

Sebegitu simpel ide dan rekomendasi saya dalam tulisan yang terdahulu (Notes Dadakan untuk ‘Penyelamatan’ Daerah Bima). Semua demi tercapainya kondisi yang lebih baik bagi tanah kelahiran ini. Rencana jangka panjang tidak seharusnya dipandang sebagai sebuah entitas yang berdiri sendiri dengan langkah jangka pendek. Take action lebih penting saat ini. Sering kita dengar jargon talk less do more, itu juga mengamanatkan langkah cepat dan praktis, namun tetap berjalan seiring sejalan (Long Term Featuring Short Term), bukan malah Versus. Heuheu..

Selamat menikmati sarapan pagi, menyeduh kopi murni.. selamat berkarya, menelurkan semangat perubahan, untuk Bima Raya yang lebih baik..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun