Mohon tunggu...
Faqih Ashri
Faqih Ashri Mohon Tunggu... Teknisi - The Revolutionist

Bima City, 06-02-1990 Menulis untuk mengetahui rahasia tak tertulis, mendamba setiap pengalaman baru yang tak terlupakan.. City Planner, Content Writer, YouTuber. www.faqihashri.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

‘Seniman’ Blue Film Asal Bandung Ditangkap, Tamparan Bagi UU Pornografi

4 Maret 2014   22:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:14 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1393922581934423709

Sumber Gambar

Pengantar

Manusia secara kodratnya diciptakan dengan nafsu syahwat. Nafsu yang timbul akibat stimulus pada bagian syaraf tertentu di dalam tubuh. Biasanya terjadi dengan perantara rangsangan visual maupun sentuhan langsung. Parahnya, masalah yang ditimbulkan akibat eksploitasi syahwati itu kemudian bisa merusak kaidah moral dalam pergaulan sosial, lebih-lebih dalam norma agama. Bisa dipastikan bahwa tidak ada satu pun agama sah di Indonesia yang memperbolehkan pengikutnya untuk menuruti nafsu syahwat tersebut. Berangkat dari landasan tersebut, maka pemerintah sejak dulu getol mengusahakan terbentuknya sebuah peraturan universal sebagai pedoman bagi pengendalian nafsu syahwat di Indonesia melalui UU Pornografi. Terhitung sejak tahun 1997 pemerintah telah memulai pilot project penyusunan undang-undang anti erotisme itu. Namun setelah melalui proses yang amat panjang, rancangan undang-undang baru bisa disahkan tepatnya pada tanggal 30 Oktober 2008. Sungguh luar biasa perjuangan yang telah dilakukan oleh pemerintah mengingat sangat banyak sekali kelompok masyarakat yang pro dan kontra terhadap pengesahan peraturan ini. Kelompok yang mendukung pada saat itu antara lain dari MUI, ICMI, FPI, MMI, HTI, dan PKS. Sedangkan kelompok yang tidak setuju berasal dari kalangan aktivis perempuan (feminisme), seniman, artis, budayawan, dan akademisi. Kita dapat merasakan betapa beratnya sebuah undang-undang yang notabene dibuat untuk kebaikan bersama, demi terpeliharanya masa depan putra-putri terbaik bangsa, demi terjaganya norma-norma ketimuran yang selama ini bangsa kita banggakan. Inilah yang kemudian dilihat oleh setiap orang sebagai pembagian negara menjadi dua blok, yaitu blok Islam dan blok sekular. Blok sekular mati-matian berjuang agar setiap apa pun yang berbau agama tidak tumbuh subur di negara ini. Kekuatan mereka besar karena merupakan komunitas lintas agama; apa pun agamanya selama tidak ingin melihat negara dikuasai oleh ‘orang-orang putih’ maka mereka bergabung membentuk satu kekuatan utuh. Blok Islam malah kian terpojokkan karena dukungan yang dahulu sangat besar kini perlahan mereduksi secara masiv berbalik mendukung blok lawan. Ini yang saya sering katakana bahwa, Islam di Indonesia memang besar, tapi karena perpecahannya mereka sudah tidak bisa membusungkan dada seperti dulu mengatakan diri sebagai kaum mayoritas. Buktinya kaum minoritaslah yang kini punya segala bentuk kekuasaan di negeri tercinta kita. Untunglah hingga pada fase pengesahan konstitusi yang mengatur pornografi tersebut, kalangan agamawan masih bisa memegang kendali untuk meyakinkan bahwa peraturan yang disahkan itu akan membawa kebaikan bagi bangsa. Jika kita ingin lebih jauh bertanya, apa landasan berbagai pihak seperti LSM Perempuan, budayawan, akademisi, dan artis lebih banyak yang menolak penerapan undang-undang ini? Apakah mereka takut ‘jualan’ mereka tidak laku? Apakah mereka khawatir objek kajian mereka dibatasi? Wah, seharusnya itu kita lebih takut pada kehancuran anak cucu kita sebagai generasi masa depan. Seni tidak harus telanjang, bukan? Seni tidak harus mempertontonkan bagian tubuh yang intim, bukan? Kecuali untuk melihat air seni langsung dari sumbernya, objeknya memang harus telanjang. Setahu saya, berbagai elemen yang tak terhitung dalam negeri kita ini takut bangkrut, karena setiap lini investasi di kehidupan kita sejak dulu telah dirasuki oleh aspek pornografi dan pornoaksi, misalnya fashion, hotel, salon, panti pijat, kolam renang, café, bar, film, karaoke, losmen, kawasan prostitusi, dan masih banyak lagi. Semua itu memberikan kontribusi pajak yang besar bagi ekonomi negara. Kalangan yang menolak pemberlakuan undang-undang pornografi, sangat khawatir keuangan negara jadi carut-marut.

Produksi Film Dewasa, ‘Wayangnya’ Remaja

Ibarat kata-kata bijak, bahwa semakin seorang anak itu dikekang secara terus-menerus maka sang anak itu akan berontak di kemudian hari. Begitulah kira-kira kenyataan yang terjadi pada wajah konstitusi negara kita tercinta. Walaupun peraturan telah disusun dan dijalankan demi pencegahan terhadap perilaku pornografi dan pornoaksi (setelah disahkan istilah pornoaksi ditiadakan, dilebur dalam pornografi), namun tetap saja berbagai pihak yang tidak setuju dengan pemberlakuan peraturan tersebut membangkang. Bentuk pembangkangan itu terjadi dengan berbagai macam tingkah-polah; para artis yang terus mengumbar aurat dengan dalih seni, para fotografer yang menyulap wanita telanjang jadi objek foto, para pengusaha yang membuka bisnis cafe ‘remang-remang’, panti pijat yang sudah tidak difungsikan sebagaimana mestinya (jadi panti pijat plus-plus), dan masih banyak lagi. Dalam konstitusi yang sudah disahkan, pornografi diartikan sebagai materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, patung, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.

Kabar terkini (04-03-2014) tentang pergulatan dan eksistensi para ‘seniman syahwat’ ini terpampang jelas dengan penangkapan salah seorang pelaku bisnis film dewasa online asal Bandung. Pelaku merupakan distributor bagi tersebarnya film beradegan mesum itu di dalam maupun luar negeri. Hasil pelacakan FBI di Amerika bahwa negara mereka merupakan konsumen terbesar penggemar film-film produksi anak negeri tersebut. Lebih parahnya lagi adalah adegan yang ada di dalam berbagai video online itu diperankan oleh remaja dan anak-anak (di Jepang, film porno anak-anak mendapat perhatian serius, peraturan yang ketat, dan hukuman yang sangat berat). Bisa dibayangkan bahwa selama warga negara amerika tidak hanya sibuk memproduksi film dewasa untuk dikonsumsi masyarakat dunia, termasuk Indonesia, namun mereka juga seakan menikmati hasil kerja mereka dengan mendulang film-film panas buatan Indonesia sebagai hasil endemi virus seks yang mereka tularkan.

Pengamat Sosial, Uli Tobing, angkat bicara soal hal ini. Dia menilai bahwa tingkat kewajaran pornografi di Indonesia sudah mencapai tahap darurat. Masyarakat sudah menganggap biasa segala hal terkait film porno dewasa, sedangkan untuk film porno anak-anak dianggap sebagai sensasi baru yang patut dicoba. Selain itu, Tifatul Sembiring (Menkominfo) juga turut bertutur bahwa dia dan seluruh jajaran kementeriannya telah berusaha seketat mungkin untuk terus memerangi pornografi. Sejauh ini sudah ada lebih dari satu juta situs porno yang mereka telah blokir. Namun sebuah usaha yang lebih maksimal harus diusahakan mengingat masih ada tiga milliard situs porno yang berkeliaran di seluruh website dunia. Ditambahkan pula bahwa kesulitan makin menjadi karena situs porno itu jika satu diblokir, maka seakan ada seratus situs baru yang muncul.

Melihat kenyataan yang sudah demikian parah, apakah kita masih harus adem-adem ayem saja dengan semuanya? Masa depan bangsa, kita telah sepakati bersama berada di tangan pemuda-pemudi, mereka ujung tombak perjuangan bangsa kini dan nanti. Namun ketika pemuda-pemudi harapan bangsa itu kemudian ‘terjajah’ secara moral dan mental, apakah masih ada harapan negara kita di masa depan? Para pemuda kini identik dengan narkoba, pornografi, tawuran, fandalisme. Apa yang bisa kita banggakan? Pihak asing yang begitu konsen untuk melihat negeri ini hancur dari dalam, hanya bisa tertawa puas melihat penetrasi universalnya berhasil merubuhkan pondasi bangsa kita. Peraturan sudah diberlakukan seperti ini pun masih sangat banyak pelanggaran yang terjadi, apalagi jika peraturan tidak ditegakkan? Akan jadi apa bangsa kita wahai saudara? Masihkah kaum akademisi, budayawan, artis, dan lain-lain melawan apa yang harusnya diterapkan untuk kebaikan? Masihkah saudara-saudara tokoh di Bali, Papua Barat, dan NTT mengecam untuk membatalkan Undang-Undang Pornografi yang sudah berjalan? Masihkan kalian tega mengancam pemerintah dengan isu pemisahan dari wilayah NKRI jika permintaan kalian tidak dipenuhi? Ini bukan hanya negara kita, tapi negara bagi anak dan cucu kita yang saat ini belum lahir. Jika pendahulunya saja sudah seperti ini parahnya, kapankah ada kemajuan untuk masa depan Indonesia yang lebih baik? Langkah penting juga tentunya harus dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah harus menjalankan peraturan yang telah dibuat dengan tegas tanpa mempertimbangkan siapa yang dihadapkan pada hukum tersebut. Berani berbuat baik memang sulit, namun dampak yang terjadi ke depan akan makin sulit ditangani jika tidak berdarah dan bernanah usaha saat ini. #SaveIndonesia #SaveChild

Salam dari Orang Awam yang Peduli..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun