Tahun 2014 memang merupakan tahun pesta politik di negara kita yang berdemokrasi. Tahun ini akan terpilih wakil-wakil rakyat (dewan) mengisi kursi-kursi yang berjejer rapi di senayan. Tahun ini pula akan terpilih seorang pemimpin tertinggi negeri.  Hiruk-pikuk suara kampanye, deru kendaraan bermotor, hingga silaturahmi para calon seakan saling bersahut menciptakan harmoni yang tidak enak di telinga dan mata. Indonesia mendadak ramai oleh suara-suara yang tak biasa, wajah yang tak biasa, pun kelakuan yang tak biasa. Setiap calon yang ‘bernafsu’ ingin menduduki kursi politik disibukkan sedemikian rupa memoles muka dan mempercantik laku di depan media, hingga tidak sadar akan apa yang sedang dikejar dan apa yang sedang menanti di depan.
Tahun 2015 adalah deadline akhir dari program MDGs (Millenium Development Goals), yang merupakan hasil kesepakatan 189 negara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak tahun 2000. Indonesia adalah salah satu negara yang ikut menandatangani kesepakatan tersebut saat acara Konfrensi Tingkat Tinggi Millenium di New York. Kesepakatan itu berisi tentang komitmen anggota PBB dalam menanggulangi kemiskinan, mencapai pendidikan dasar bagi semua, mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, menurunkan angka kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, memerangi penyakit menular (HIV, Malaria, dan lain-lain), menjaga kelestarian lingkungan, serta mengembangkan kemitraan global.
Selain MDGs, di tahun 2015 negara kita juga harus mempersiapkan diri terhadap program baru untuk wilayah ASEAN, yaitu AEC (Asean Economic Community). Komitmen program AEC pada umumnya untuk meningkatkan sinergi pembangunan ekonomi antar negara ASEAN (Indonesia, Myanmar, Thailand, Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam, Philipina, Laos, dan Kamboja, dan Vietnam), sehingga bisa bersama-sama mengimplementasikan arus bebas keluar-masuk bagi barang, jasa, investasi, modal, dan tenaga kerja terampil. Dengan kata lain, komitmen negara-negara tersebut akan membuat laju perkembangan kegiatan ekonomi menjadi makin liberal dan kapitalistik. Tidak perlu ada perizinan yang ruwet, tidak perlu pemeriksaan yang ketat, tidak ada pajak yang membebani; itulah beberapa kemudahan yang berlaku jika komitmen AEC telah dijalankan. Sudahkah Indonesia menyelesaikan pekerjaan rumahnya? MDGs dan AEC hanyalah sekelumit tugas yang berada di tengah lautan tugas lain untuk seluruh rakyat bangsa ini.
Ketercapaian Program MDGs di Indonesia
Millenium Development Goals menjadi ukuran penting bagi kinerja pemerintah selama 15 tahun. Apa saja yang telah dicapai? Proses seperti apa yang telah dilalui? Bagaimana dampaknya terhadap rakyat? Berikut ini saya kutipkan datatabel yang dipublikasikan oleh Bappenas tahun 2011 mengenai laporan ketercapaian komitmen MDGs di Indonesia :
Indikator yang digunakan untuk tujuan bidang pendidikan diatas menunjukkan betapa pemerintah benar-benar mengejar aspek kuantitas tanpe memperhatikan kualitas penerima pendidikan. Contohnya saja, jika semua orang sudah berhasil menamatkan sekolah dasarnya dengan biaya dari pemerintah, kemudian apa yang akan dilakukan selanjutnya? Dimanakah seseorang yang berijazah SD bisa diterima bekerja di zaman sekarang? Sistem pendidikan kita sudah terbentuk menjadi sesuatu yang mahal dan mewah. Pendidikan semakin membuktikan bahwa hanya orang-orang yang berpunya yang sanggup bersekolah hingga tingkat yang paling tinggi. Namun target yang direncanakan mencapai 100% di tahun 2015 pada bidang pendidikan tersebut perlu diapresiasi, mengingat pendidikan dasar merupakan salah satu pilar penting dalam memajukan peradaban sebuah negara.
Amanat tentang kesetaraan gender memang perlu disuarakan dengan lantang, tetapi dalam batas-batas yang tidak menumbuhkan saling ingin menguasai antara pria dan wanita yang notabene kodratnya memang berbeda. Jika persaingan yang terjadi memunculkan kesadaran wanita akan perlunya eksistensi dan kontribusi mereka di berbagai bidang, maka kesetaraan gender dapat dipandang sebagai slogan yang positif. Namun ketika keberadaan wanita tetap menjadi pelengkap, penghias, dan pewangi, maka saat itu pula kesetaraan gender hanya menjadi sesuatu yang non-sense. Ada baiknya pada saat target kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan ini tercapai 100% pada tahun 2015, pemerintah segera merubah paradigma dari hanya sekedar kuantitas perempuan menjadi berbagai kualitas, termasuk perempuan yang duduk di kursi DPR. Mereka bukan hanya sebagai ‘pagar ayu’ yang hanya memperindah ruangan rapat, bukan pula yang menyembunyikan korupsi dari topeng kecantikan wajah semata.
Menilik data tentang kematian balita tentu kita bisa berbangga, sebab laju penurunannya menunjukkan sesuatu yang meyakinkan. Hal itu tentu tidak bisa lepas dari peran mereka yang bekerja di bidang kesehatan. Komitmen untuk meningkatkan kesehatan ibu dan angka harapan hidup bayi semakin menunjukkan hasil. Saat upaya ini membuahkan hasil, tetapi fenomena lain mulai bermunculan. Salah satunya terkait sisi sosial pergaulan anak muda. Kini jumlah perempuan muda (gadis) yang mengalami hamil di luar nikah semakin meningkat, karena pengawasan orang tua serta pendidikan seks yang kurang. Ketika para gadis sudah terlanjur hamil, janin mereka akan digugurkan dengan paksa. Jikalau pun tidak bisa digugurkan, setelah dilahirkan bayi mereka akan segera dibuang atau dibunuh. Bukankah fenomena tersebut bisa menyumbang tingkat kematian bayi?
Seorang ibu sangat berjasa dalam hidup kita, dia mengandung, melahirkan, membesarkan, terus mendidik kita hingga beliau meninggal. Menurut saya perlu dibangun rumah sakit khusus untuk wanita di seluruh pelosok negeri. Jumlah wanita di dunia mencapai tiga hingga empat kali dibanding jumlah pria. Permasalahan kesehatan wanita pun jauh lebih beragam dari pria. Oleh karena itu, perlu kiranya untuk mendedikasikan sebagian bidang kesehatan untuk khusus menangani permasalahan kesehatan wanita (ibu).
Tujuan ini mungkin yang paling sulit dicapai di era keterbukaan informasi dan komunikasi yang luar biasa. Liberalisme perilaku para pemuda terkait seks sungguh tidak mampu dibendung dengan hanya pemberlakuan peraturan. Lebih dari itu perlu sebuah upaya penyadaran secara simultan yang menyentuh sisi psikologis dari para pemuda. Usia 15-24 tahun kini sudah biasa jika dijangkiti virus mematikan itu. Belum lagi ditambah dengan perilaku pejabat negara yang sering ‘jajan’ sembarangan di luar tanpa sepengatahuan sang istri. Selain itu, isu perselingkuhan sudah menjadi makanan sehari-hari publik di negeri kita. Lagi-lagi kita tidak boleh terlalu konsen kepada penyelesaian masalah secara kuantitatif, namun lebih penting melihat sesuatu dari sisi kualitatifnya. Pendidikan awal di dalam rumah memegang peranan penting dalam membentuk karakter anak agar tumbuh menjadi pemuda yang punya kebebasan bertanggung jawab.
Menjaga kelestarian lingkungan berarti berhadapan langsung dengan isu pertumbuhan penduduk dan berbagai usaha manusia yang menggunakan bahan bakar. Tidak bisa dipungkiri bahwa semakin lama penduduk dunia akan bertambah, begitu pula Indonesia yang merupakan negara dengan penduduk nomor tiga dunia. Kedua isu lingkungan itu saja sudah menjadi momok yang butuh perhatian khusus, bukan hanya sebatas tahun 2015, namun terus diantisipasi hingga dunia ini berakhir. Berbagai kebijakan strategis coba diterapkan oleh pemerintah, diantaranya Indonesia HCFC Phase-out Managament Plant (HPMP), Program hibah air minum, pinjaman perbankan bagi PDAM, Program Nasional Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS), dan lain sebagainya.
Urusan kemitraan global sebaiknya kita berkaca ke masa lalu, sebab perkembangan masa kini semakin membuat miris. Dulu kita bisa berswasembada pangan sendiri, tapi apa yang terjadi saat ini? Semua aset negara hampir habis karena dijual. Semua kebutuhan negeri semua hasil impor dari negara lain, ironisnya bahan kebutuhan pokok pun kita tidak becus untuk memenuhi kebutuhan sendiri.
Ancang-Ancang Untuk AEC
Masih tertanam di dalam benak kita bagaimana kiprah Indonesia dalam komitmen program Asian-China Free Trade Area (ACFTA) yang dimulai sejak tahun 2004. Teringat jelas betapa saat itu hingga sekarang negara kita gagal menyajikan suatu produk unggulan, sehingga China dengan eksplorasi teknologinya berhasil mendominasi pasar. Kini, siapakah yang tidak mengenal produk china ketika membeli sesuatu barang? Tentu kita tidak ingin mengalami kegagalan yang sama dalam menghadapi Asean economic Community di tahun 2015 yang akan datang. Strategi yang kreatif dan inovatif mutlak diperlukan untuk menyaingi produk-produk sesama negara ASEAN. Kita sudah jauh tertinggal, jangankan dengan negara eropa, dengan negara sekelas Singapura, Malaysia, dan Australia kita sudah ditinggal jauh dari segi perkembangan ekonomi negara. Lalu apakah kita tetap bergeming untuk menyadari hal itu? Apakah kita tetap mau menjadi konsumen fanatik untuk produk-produk asing, tanpa mau melirik produk dalam negeri?
Presiden dan Tantangan Masa Depan
Pemilihan umum calon legislatif baru saja kita lewati, tinggal menunggu hasilnya. Siapa pun yang kelak duduk di kursi DPR, baik di daerah maupun di pusat, bisa menjadi corong utama masyarakat dalam menyampaikan aspirasi,bukan malah sibuk memperkaya diri, mengumpulkan uang korupsi, hingga dijebloskan ke bui. Beberapa bulan ke depan pun (Juli 2014), kita akan segera memlilih presiden sebagai pucuk pimpinan negara. Sebaiknya kita terlebih dahulu menemukenali calon pemimpin bangsa yang benar-benar paling sedikit cela-nya, paling banyak kontribusinya, dan paling gede rasa nasionalismenya. Perlu kiranya memilih presiden yang memiliki visi jangka panjang (visioner), sehingga tidak selalu mengorbankan aset negara untuk kepentingan sesaat. Jangan sampai calon presiden kita bicara muluk-muluk mengenai pemberantasan kemiskinan, penanggulangan banjir, pemberdayaan perempuan, dan bla bla bla lainnya, padahal wawasan tentang MDGs dan AEC saja tidak tahu. Apa langkah cepat yang bisa dilakukan untuk berjaya di AEC nanti? dan langkah antisipatif seperti apa yang dilakukan untuk tidak mencoreng muka Indonesia di akhir deadline MDGs nanti? Setelah pekerjaan rumah itu bisa dilewati dengan mulus, maka semakin besar harapan bangsa untuk sang presiden itu memimpin dalam waktu lima tahun, bahkan sepuluh tahun ke depan.
Salam dari Orang Awam yang Peduli..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H