Saya sudah melihat wajah ayah di dunia sejak saya dilahirkan seperempat abad yang lalu. Ayah saya orang yang tinggi, gempal, berkumis-jambang tebal, berambut ikal, tatapan matanya tajam. Beliau punya 3 orang anak, saya anak sulung. Pada awal kelahiran saya hingga berusia 3 tahun, saya beserta ayah dan ibu masih tinggal di rumah kakek. Saya saat itu belum berpikir bahwa tengah hidup menumpang di rumah bukan milik kami sendiri. Setelah usia masuk sekolah taman kanak-kanak, kami pindah ke rumah baru, rumah kami sendiri. Namun apa yang disebut rumah sendiri ini sangat memilukan, lahannya begitu luas mencapai 4 acre, tetapi rumahnya hanya terdiri dari bangunan 2 kamar berjajar seperti sebuah kost-kostan. Satu kamar dipakai untuk tidur, satu kamar lagi dibagi dua; setengahnya kamar mandi, setengahnya adalah dapur. Sebagai gambaran saja, bahwa perbandingan luas tanah dengan luas rumah kami waktu itu adalah 65% : 35%.
Ayah awalnya bekerja sebagai guru di Mandratsah Aliyah (setingkat SMA), mengajar mata pelajaran Bahasa Inggris, Arab, serta Al-Qur’an Hadits. Setelah lama menjadi guru, kemudian beliau diangkat menjadi kepala sekolah. Dianggap berhasil menjadi kepala sekolah, beliau kemudian dipromosikan lagi sebagai Kepala Departemen Agama di kota kami! Ketika itu saya sedang mengenyam pendidikan di bangku kelas XI. Saya sudah bisa memikirkan kembali apa yang telah terjadi dalam hidup kami, namun pikiran-pikiran itu semua berbau negatif.
Saya begitu jengah dengan hidup ini setelah saya mengerti bahwa kami bukan keluarga kaya dan berada seperti teman-teman lain. Rumah kami amat sederhana, tidak mencerminkan rumah yang memiliki lahan luas sama sekali. Halaman kami masih tersisa seluas setengah lapangan sepak bola, sedangkan rumahnya hanya seperti gabungan ‘balok-balok’ kecil. Tanaman-tanaman seperti singkong, ubi jalar, tomat, cabai, kangkung, jambu, kemangi, dan lain sebagainya yang ditanam di halaman rumah malah menambah kesan bahwa rumah kami adalah kebun suram. Saya makin marah setelah tahu bahwa selama ini ayah selalu memberikan setengah gajinya kepada panti asuhan di kampung kami, belum lagi ditambah dengan beras di rumah yang selalu beliau suruh saya untuk memberikannya pada anak-anak panti. Kenapa beliau mendahulukan orang lain sedangkan anak-istrinya di rumah selalu membutuhkan uang yang cukup untuk hidup selama sebulan? Kenapa beliau lebih peduli kebutuhan orang lain dibandingkan dengan anak-anaknya? Perasaan benci saya pada ayah makin besar saat mendengar bahwa ayah mengundurkan diri dari jabatan sebagai Kepala Departemen Agama, belum genap dua tahun setelah beliau diangkat. Tidakkah beliau berpikir bahwa gajinya sebagai kepala dinas akan membuat keluarganya sejahtera? Tidakkah ayah berpikir untuk terus bekerja setidaknya sampai mobil dinas baru telah turun dari pusat? Saat itu ayah masih diberikan oleh kantor mobil kijang putih reot, tak ada bedanya dengan ambulans. Itu pun ayah tidak pernah menggunakannya, hanya ketika urusan dinas di luar kota, itu pun dengan bantuan supir, ayah tidak bisa mengemudi. Ayah hanya perlu menunggu beberapa bulan lagi untuk mendapatkan sebuah mobil Innova keluaran baru. Setelah mengundurkan diri, ayah hanya mengajukan diri jadi staff biasa di kantornya.
Akumulasi perasaan benci dalam hati saya membentuk sebuah bola salju yang menggelinding makin besar. Saya membayangkan ayah yang sedari kami kecil selalu marah jika bacaan Qur’an kami payah, beliau tidak segan memukul kami. Suaranya yang keras dan tegas selalu membuat kami merinding. Ayah selalu marah jika tahu anaknya bicara tentang pacaran. Ayah selalu mencecoki kami pelajaran Bahasa Arab dan Inggris di rumah setiap akhir pekan. Ayah selalu marah jika saya telat pulang ke rumah di malam hari. Ayah selalu melarang membeli alat-alat musik dan memainkannya. Banyak lagi hal-hal sepele yang menurut saya merupakan bentuk pengekangan terhadap jiwa muda seorang anak. Itulah mengapa saya kemudian berontak terhadap beberapa perintah ayah. Ketika ayah menyuruh saya masuk di Madratsah Aliyah, saya memilih masuk SMANSA, sekolah favorit di kota kami. Ketika ayah berencana mengirim saya kuliah di Makassar, karena banyak keluarga disana, saya memilih untuk kuliah di Malang. Saya begitu puas melawan, ingin terus berontak, tidak ingin kelak saya tumbuh menjadi orang seperti ayah!
Lihatlah betapa kebencian itu tidak selamanya bertahan. Roda kehidupan perlahan menyadarkan saya tentang ayah. Ketika ayah mengundurkan diri dari jabatan kepala dinas, semua pihak terkejut; mulai dari rekan kerja sekantor, guru-guru, keluarga, bahkan teman-teman saya. Mereka menyayangkan sikap ayah, selama ini beliau dinilai telah membawa dinas itu menjadi sesuatu yang berbeda, bersih, dan berwibawa. Guru-guru saya di SMANSA ternyata semuanya mengenal ayah. Pada saat mengajar mata pelajaran di kelas tiba-tiba seorang guru berkata : “Pak guru sangat kagum pada ayahmu, beliau sangat dikenal banyak orang karena hidupnya yang zuhud. Ketika semua orang menginginkan harta dan tahta, ayahmu malah memilih untuk tidak mengejar dunia dan mengundurkan diri. Pak guru yakin beberapa orang yang mengincar posisi kepala dinas itu akab tertawa terbahak mendengar keputusan ayahmu”. Setiap teman yang ada di kelas menoleh pada saya, secara spontan ada sebuah rasa kagum yang aneh muncul dalam lubuk hati tanpa diminta.
Perasaan kagum itu makin menjadi-jadi seakan tak tertahankan ketika saya beranjak lulus sekolah dan melanjutkan kuliah. Ayah tidak memaksakan saya untuk kuliah di Makassar sesuai keinginannya, beliau malah menyuruh saya shalat istikharah agar diteguhkan hati, dibulatkan tekad untuk kuliah di Jawa. Ayah tetap mampu membiayai kuliah kami bertiga walaupun hanya bekerja sendiri. Ibu saya dilarang bekerja sejak dulu, agar bisa konsen terhadap urusan rumah tangga. Ayah menanggung semua urusan nafkah demi ibu agar tidak capek bekerja, demi ibu terhindar dari fitnah dan dinamika dunia kerja. Ayah memilih mengurusi lahan sawah yang diwarisi padanya, untuk bisa survive membiayai anak-anak kuliah, dari pada harus korupsi dan menafkahi keluarga dengan uang haram. Ketika saya sudah kuliah, saya sempat menanyakan kepada ayah, kenapa dahulu beliau memilih mundur sebagai kepala dinas? Beliau menjawab : “Ayah mundur karena memang itu pilihan dalam hati. Kita sudah berada pada sistem yang rusak, ayah secara individu tidak bisa merubah itu, dari atas sana sudah tidak baik. Jadi, ayah lebih memilih mundur dari pada ikut rusak. Ayah tidak takut kekurangan uang, ayah tidak pernah memimpikan mobil atau rumah dinas, ayah hanya ingin terus menafkahi kalian dengan uang yang bersih”. Catatan : kepala dinas departemen yang sama di daerah sebelah terbukti melakukan korupsi dan akhirnya disidang.
Saya yang saat itu menghubungi ayah via telepon tidak sadar bahwa air mata telah jatuh meleleh. Saya membayangkan semua, saya mengingat semuanya! Saya ingat betapa kerasnya ayah mendidik kami untuk bisa baca Qur’an dan belajar bahasa Arab & Inggris. Beliau mengerti bahwa sebelum mengajar orang lain, tentu harus mengajarkan keluarga sendiri. Qur’an adalah pedoman hidup orang muslim, Bahasa Arab adalah bahasa akhirat, sementara Bahasa Inggris merupakan kunci membuka jendela dunia. Saya ingat betapa telatennya ayah menanam segala macam tumbuhan di halaman rumah. Beliau mengerti bahwa halaman harus tetap dihijaukan, dan apabila keluarga kekurangan uang untuk ke pasar, maka segala kebutuhan dapur tersedia di halaman sendiri. Sampai detik ini halaman kami tetap seperti dulu, sedangkan para tetangga sudah tidak ada yang punya halaman luas, semua sudah dibangun dengan usaha kos-kosan. Ayah melarang anak-anaknya larut dalam pacaran di usia dini karena beliau paham bahwa hal itu lebih banyak mendatangkan keburukan dari pada kebaikan, di tengah zaman yang makin bebas dan pergaulan pemuda makin menggila. Saya ingat bahwa ayah selalu menceramahi kebiasaan kami yang tidak sesuai dengan tuntunan agama, karena beliau paham agama adalah landasan dasar berbuat dan bertindak. Terakhir, saya begitu terharu ketika ayah begitu aktif dalam memberikan spirit dalam penyelesaian tugas akhir. Tanpa support semangat dari beliau yang setiap hari memberikan pencerahan, tugas akhir saya tidak akan berakhir tepat waktu dan sukses. Pada saat saya belum kunjung mendapat pekerjaan tetap, ayah tetap tersenyum. Zaman ini sudah bukan rahasia umum bahwa setiap orang yang punya keluarga dan kerabat di salah satu instansi, dia akan mudah untuk masuk dan diterima bekerja. Walaupun saya sangat banyak memiliki keluarga dengan jabatan elit di pemerintahan, ayah tetap bilang : “ayah tidak akan merestui jika kamu harus bekerja dari hasil bantuan keluarga, itu namanya nepotisme, kamu harus berusaha sendiri, ayah yakin kamu bisa, kalau tidak usaha sendiri lebih baik tidak usah kerja seumur hidup, ikut ayah bercocok tanam saja!”
Ayah ternyata manusia yang begitu mengagumkan. Terkenal, tapi tetap low-profile. Punya jabatan, tapi tetap zuhud. Punya anak-istri, tapi tetap mengayomi. Sibuk menulis, tapi tetap punya waktu membantu anaknya menulis. Hidup di dunia kapitalis, namun tetap sederhana. Saya sungguh menyesal pernah menyisakan ruang di hati untuk membencinya. Kini, saya tidak pernah ragu untuk mengatakan bahwa saya mencintai ayah. Love You More and More. Thanks for Everything, Dad.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H