5 Juli 2014. Saya duduk di aula sekolah baru saya, tepatnya Sekolah Menengah Atas, bersama ratusan siswa baru. Yang berdiri di depan saya adalah kakak-kakak senior yang berstatus sebagai pengurus OSIS. Ada yang kelas 12, ada juga yang kelas 11. Saat itu, entah kenapa jantung saya berdetak kencang. Bukan, bukan karena saya jatuh cinta kepada kakak-kakak itu. Tapi karena saya tahu yang di depan saya adalah senior. Langsung terbayang di benak tentang berita-berita tentang tewasnya junior di tangan seniornya. Tiba-tiba, ketua OSIS yang berdiri di depan pun berkata :
“Dek, denger ya dek ! Sekolah ini menganut budaya senioritas. Kalau ada kakak kelas, sapa. Sapa juga guru yang lewat. Ingat dek ! Senior selalu benar, junior selalu salah. Kalau senior salah, balik lagi ke pasal 1. Ingat, status kalian masih junior. Jadi, jangan menye-menye jadi orang ! Paham dek !?”
“Paham, Kak !”
Well, saya sebenarnya tidak terlalu ingat apa yang dikatakan oleh kakak itu. Tapi, saya seperti mendengar istilah yang tidak asing lagi untuk saya. Ya, senioritas.
Malam hari, di hari yang sama, saya memcoba membrowsing apa itu “senioritas”. Yah, inilah definisinya (berdasarkan KBBI) :
se·ni·o·ri·tas/sénioritas/n1perihal senior;2 keadaan lebih tinggi dl pangkat, pengalaman, dan usia;3 prioritas status atau tingkatan yg diperoleh dr umur atau lamanya bekerja
Yang dapat saya tarik dari sekian banyak artikel yang saya baca tentang senioritas adalah : “Senioritas berhubungan dengan pengalaman.” Kakak-kakak kelas 12 jelas lebih tahu banyak mengenai budaya-budaya di sekolah daripada yang kelas 11 maupun kelas 10 seperti saya.
Sebenarnya, senioritas mempunyai manfaat yang tidak bisa dikesampingkan, antara lain :
a. Mengajarkan tentang sopan-santun, terutama kepada kakak kelas
b. Mengajarkan tentang kedisiplinan
Namun, senioritas yang diterapkan di banyak sekolah di Indonesia melenceng dari yang seharusnya dan bersifat otoriter. Karena itulah saya sempat berpikiran bahwa jangan-jangan senioritas ini warisan dari Orde Baru. Yah, mungkin pikiran saya terlalu jauh.
Saya juga melihat bahwa budaya senioritas bisa diibaratkan sebagai “lingkaran setan”. Kenapa ? Begini, misalkan seseorang bernama Ed diterima di sebuah SMA. Kebetulan, SMA tersebut menganut budaya senioritas, maka status dia adalah junior. Saat kelas 11, Ed sudah menjadi senior untuk kelas 10. Maka, Ed mengajari adik-adik kelasnya tentang budaya senioritas, entah lewat MOS, seleksi OSIS, atau kegiatan ekstrakurikuler. Dan, saat kelas 12, Ed yang sudah paling senior akan lebih mudah mengajari adik-adik kelasnya tentang senioritas, terutama kelas 10. Terbayang ?
Nah, untuk itu, saya akan memberikan sedikit tips tentang bagaimana cara menghadapi budaya senioritas bagi pelajar seperti saya, antara lain :
a.Tetap hormati kakak kelas
Ingat, kakak kelas (terutama kelas 12) adalah yang tertua di SMA. Ikuti saja etika yang berlaku di banyak tempat, yaitu hormatilah orang yang lebih tua.
b.Terima dengan baik nasihat dari kakak kelas
Seburuk apapun cara kakak kelas menyampaikan nasihat kepadamu, terimalah dengan lapang dada, karena itulah kewajibanmu. Mau dilaksanakan atau tidak, itu terserah Anda sendiri.
c.Jangan segan untuk bercerita kepada guru
Kalau Anda tidak merasa nyaman dengan budaya senioritas, ceritakanlah kepada guru, terutama kepada guru BK. Mereka lebih tahu cara yang terbaik untuk menangani budaya senioritas daripada kita. Tak usah khawatir akan cap “pelapor” yang mungkin akan disematkan kepada anda dari kakak-kakak kelas.
d.Selalu berpikir positif
Selama ini, budaya senioritas dianggap sebagai budaya yang negatif. Karena itu, jangan terlalu sering berpikiran negatif tentang budaya senioritas ataupun kakak kelas, karena itu hanya akan membuang-buang tenagamu. Masih banyak hal lain di sekolah yang lebih pantas untuk dipikirkan
Dalam menghadapi budaya senioritas, jangan sekali-kali melawan arus, namun jangan sekali-kali mengikuti arus. Jangan taruh dendam di dalam hati, karena yang namanya dendam tidak akan pernah habisnya. Anda hanya akan meneruskan "lingkaran setan" jika terus menyimpan dendam.
Dalam pandangan saya, alangkah lebih baik jika budaya senioritas diganti dengan semangat kekeluargaan dan gotong royong yang jelas lebih sesuai dengan budaya Indonesia. Untuk itu, perlu peran aktif dari pihak sekolah maupun pihak siswa untuk dapat menyesuaikan budaya yang paling pantas untuk diterapkan di sekolah.
Akhir kata, semoga artikel ini memberi banyak manfaat bagi yang membaca, terutama kepada kalangan pelajar. Kritik dan saran yang bermanfaat saya nantikan kepada yang membaca.
Merdeka !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H