Kota itu hancur berantakan, jalan-jalannya yang dulu ramai sekarang hanya tinggal puing dan abu. Bangunan-bangunan yang dulu membanggakan, sekarang tinggal tumpukan besi yang melengkung dan pecahan kaca yang berserakan tak terurus. Udara di sana terasa kental dengan bau perang, campuran antara bubuk mesiu dan pasir gurun. Matahari menyengat dengan kejam di kota yang rusak ini, sinarnya yang terik memantul dari puing-puing yang berserakan di tanah.
Meski semua hancur, kehidupan masih bertahan di tempat yang keras ini. Di antara reruntuhan, ada kelompok-kelompok kecil manusia yang mencari makanan dan air, wajah mereka yang kurus dan mata mereka yang lelah menjadi bukti penderitaan yang mereka alami.
Ahmed duduk di tanah berdebu di depan rumahnya yang runtuh, menatap kebingungan pada pemandangan kacau di depannya. Perang yang tak pernah berhenti terus merusak negaranya. Dia telah kehilangan segalanya dalam pertempuran itu, ayahnya, Hisham, ibunya, Layla, dan dua adik bayinya. Sekarang dia sendirian, harus mencari cara hidup sendiri di dunia yang tak memberikan belas kasihan kepada yang lemah.
Jalanan sunyi dan sepi, hanya kadang terdengar suara tembakan atau ledakan di kejauhan. Ahmed tahu dia perlu mencari makanan, tapi dia tidak tahu harus mulai dari mana. Perang telah menghancurkan infrastruktur kota dan membuat banyak orang tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar hidup.
Bagi seorang remaja berusia 17 tahun seperti Ahmed, masa depannya kelam. Dia tidak pernah bersekolah, bahkan mendapatkan makanan sekali sehari saja terasa sangat berat. Satu-satunya yang bisa dia lakukan adalah berusaha bertahan hidup, hari demi hari, di negara yang dikuasai oleh perang.
"Assalaamualaikum", tiba-tiba seorang wanita tua melintas di depan Ahmed, terbungkuk menggotong bungkusan di pundaknya. "Waalaikumsalam", jawab Ahmed lirih. Wanita itu terus berjalan dengan kaki terseret, meninggalkan debu yang beterbangan di setiap langkah kaki lemahnya. Itu pemandangan biasa di kotanya, orang-orang berkeliaran mencari peruntungan dan rezeki, mencari apapun yang bisa dimakan. Dan diminum! Air bersih adalah masalah besar di kota yang luluh lantak ini.
Di negara yang dilanda perang seperti ini, rakyatnya tenggelam dalam kesedihan dan keputusasaan. Para pria yang masih hidup setelah pertempuran telah hancur dan lemah mentalnya, tubuh mereka yang dulu kuat sekarang kurus dan lemah. Para wanita telah kehilangan semangat mereka dalam perjuangan untuk bertahan hidup, wajah-wajah mereka penuh dengan tanda-tanda kesulitan dan kehilangan.
Sementara itu, anak-anaklah yang paling rentan dari semuanya. Mereka tersebar di seluruh kota, berjalan sendiri tanpa perlindungan, kepolosan mereka hancur karena teror perang. Banyak dari mereka tidak pernah merasakan hangatnya sebuah rumah yang penuh cinta atau kasih sayang seorang orangtua. Mereka adalah korban yang terlupakan dari konflik yang tak pernah berakhir ini, ditinggalkan untuk mencari nafkah sendiri di dunia yang mengabaikan mereka.
Meskipun keadaan mereka suram, orang-orang di negara yang dilanda perang ini tidak menyerah. Mereka masih memiliki harapan bahwa suatu hari penderitaan mereka akan berakhir dan mereka dapat membangun kembali kehidupan mereka dengan damai. Sampai saat itu tiba, mereka akan terus bertahan, semangat mereka tidak tergoyahkan oleh kesulitan yang mereka hadapi.
"Huaaaahhh...", Ahmed menguap. Sejak pagi dia belum makan apapun. Perutnya terasa perih, namun dia sudah terbiasa dengan keadaan ini. Jika beruntung, dia bisa dapat sepotong roti. Tapi jika tidak, dia pasrah menjalani hari dengan perut kosong.