Pagi memberitahukan kedatangannya dengan caranya sendiri. Ia datang dengan senyap, lembut, dan karenanya ayam dan burung-burung --yang mampu menangkap dan merasakan kelembutan meski dalam kesenyapannya-– menyambutnya dengan suka cita. Pagi datang dengan membelaikan kelembutan, makhluk yang mampu menangkap dan merasakannya kemudian menyuarakan kedatangannya. Ayam dengan kokoknya, burung dengan cicitnya, nenek dengan geliat dan menguapnya, lalu kereket bunyi dipan kayu yang kembali ke posisi seperti sebelum nenek membebaninya dengan berat tak seberapa. Srek, srek, srek, bunyi sandal jepit nenek menyaruk lantai tanah, lalu, kricik-kricik air dari kiwan, tempat nenek mengambil wudhu.
“Bangun, Nur, Subuh.”
Lengkap sudah. Begitu pagi datang dengan caranya di duniaku, pada dusun kecil di mana di salah satu rumahnya yang lusuh aku ada tinggal bersama nenek. Aku menggeliat dan kantukku mencoba ‘menawar’ agar sedikit lagi diberi waktu. Ketika kesadaran mulai muncul bahwa pagi telah benar-benar datang, kantukku menanyakan, kenapa malam begitu tergesa-gesa? Ah, malam seharusnya damai dan tenang.
“Nur?”
“Yaaa...?”
“Ayo, ke Langgar,”
“Sebentar, nek...”
“Nur?”
“Ya...?”
“Sudah hampir Iqamah,”