Mohon tunggu...
Adri Wahyono
Adri Wahyono Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Pemimpi yang mimpinya terlalu tinggi, lalu sadar dan bertobat, tapi kumat lagi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | [Cemburu] Hari-Hari Terakhir

3 November 2018   22:10 Diperbarui: 3 November 2018   23:00 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku tahun ini bukan tahun 1988, di mana aku dan kau adalah sepasang pengantin baru. Aku perempuan ranum 24 tahun, dan kau lelaki tampan berumur 31 dengan tubuh tegap dan berkumis ala Faroukh Bulsara yang mempesona. Aku tahu, waktu sudah menerbangkan kita jauh meninggalkan saat itu, dan kini kita tengah berada di hamparan 2018.

Aku sadar, dan sangat sadar tanpa harus berulangkali memelototi cermin besar. Rambutku memutih, kulit wajahku mulai lembek dan bertotol. Tubuhku melar dan payudaraku mengalami degradasi. Kau tak akan mau lagi bergaya ala Faroukh sambil mendendangkan Fat Bottomed Girl, untuk membangkitkan gairahku.

Semua sudah berubah. Kita menua dan kegairahan hidup menjadi giliran anak-anak kita untuk merasakannya. Tak ada gairah lagi untuk keduniawian. Pembicaraan kita pada malam-malam menjelang tidur bukan lagi tentang gelitikan yang memantik gairah, tapi tentang tema-tema spiritual. Berapa lama lagi sih, hidup kita. Aku setuju.

Kau paling bersemangat membicarakan itu terutama sejak dua anak kita memberi kejutan kue ulang tahunmu yang ke 57, empat tahun lalu, dan dokter memberitahu list penyakit yang mulai betah berdiam di tubuhmu yang dulu segagah Faroukh.

Tapi sejak setahun ini, sejak kau merasa jenuh karena selepas pensiun kau tanpa kegiatan dan kau mendaftar untuk menjadi pengemudi taksi online, tema spiritual di malam menjelang tidur berganti dengan kebisuanmu atas nama kelelahan setelah seharian kau bekerja. Tapi dalam kebisuanmu, kau begitu khusyuk dengan telepon pintar pemberian si bungsu. Terkadang kau tersenyum sendiri dalam kekhusyukan dengan telepon itu.

Aku pernah menanyakan hal yang membuatmu tersenyum sendiri dan terlihat begitu menggairahkan sampai-sampai tema spiritual yang sempat menghangatkan malam-malam tua kami hilang.

"Kepo."

Ah, aku tak pernah merasa ngeri selama bertahun-tahun mendampingimu sengeri aku mendengar kau mengatakan kata yang aneh, tapi aku tahu maksudnya. Itu kata yang dipakai anak muda sekarang untuk menyebut orang yang ingin tahu. Kalau saja aku tahu cara membuka telepon pintar mungkin aku bisa mencari tahu apa yang membuatmu begitu khusyuk menghadapinya setiap malam dan melupakan tentang, berapa lagi sih, hidup kita.

Semua sudah berubah, itu tak bisa dipungkiri lagi. Tapi ada yang tak berubah. Rasa cintaku. Dan aku, meski aku adalah wanita tua berumur 54 tahun yang sudah merosot dan tak sedap dipandang, aku tetap berhak cemburu padamu.

Aku belum lagi tahu apa yang terjadi, tapi jika selama beberapa tahun seorang lelaki tua membicarakan apa yang layak dilakukan agar bisa dibawa mati, pada setiap malam menjelang tidur, tiba-tiba melupakannya karena sesuatu yang misterius di dalam telepon pintarnya, maka kau harus curiga dan kau harus cemburu.

Aku tahu ungkapan, apa sih yang bisa dilakukan seorang lelaki tua? Tapi lelaki tua tetap laki-laki. Jika seorang laki-laki menggila, ia bisa melakukan apa saja tanpa tanpa peduli usianya. Sebelum kegilaan itu terjadi dan merusak sisa hari-hari kita, maka aku meminta bantuan si bungsu untuk membayar orang untuk memata-mataimu dan mencari cara agar bisa mendapatkan telepon pintarmu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun