Mohon tunggu...
Adri Ponsen
Adri Ponsen Mohon Tunggu... -

Pakar Komunikasi, Pengamat Sosial dan Pengajar

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik 'Red Karpet': Persepsi, Apresiasi atau Manipulasi?

31 Januari 2011   02:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:02 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Seperti rutinitas tahunan di penghujung bulan Januari hingga awal Febuari, warga dunia selalu disibukkan dengan tontonan live parade manusia penghuni bukit Hollywood yang sohor dengan gemerlap dan kemilaunya para "bintang". Dari Golden Globe Award, hingga  Screen Actor Guild Award dan diakhiri dengan puncak apresiasi insan Hollywood di penghargaan Academy Award dimana merupakan puncak barometer prestasi insan perfilman negeri Paman Sam ini. Setelah itu baru lah si karpet merah masuk gudang inventaris panitia penyelenggara untuk kemudia dikeluarkan kembali di serentetan acara yang sama di tahun depan.

Anda termasuk pirsawan setia acara karpet merah import Hollywood ini? Ternyata ajang apresiasi yang disiarkan live show ini tidak lebih dari sebuah tayangan yang sama rendahnya dengah menonton infotainment. Kalau parade pamer Hollywood ini terkesan tidak 'harmful' karena tidak membongkar rahasia pribadi aktor dan aktris, namun peran mereka sebagai pengusung kehidupan glamor begitu ingin ditonjolkan oleh negeri Adidaya ini.

Vincent Mosco, dalam bukunya the political economy of communciations, menyatakan ketika budaya populer telah masuk menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari manusia modern, maka seluruh perangkat kapitalisme yang mendukung budaya populer serta merta akan saling bekerja sama secara sistematis untuk menjual barang dan produknya melalui ajang ini. Pembentukan persepsi mapan dan ningrat dalam pameran gaun dan tuksedo ini akhirnya beramai-ramai untuk mendandani para selebritas dunia ini dengan gaun atau aksesoris mereka, dengan harapan brand product mereka terjaga dalam kelasnya. Persepsi glamor dan mapan ini bagi negara dunia ketiga adalah sebuah tontonan yang menghibur karena tontonan jenis ini dicerna sebagai tontonan penimbul decak kagum dan pembuat mimpi baru untuk menjadi bintang.

Kalau dilihat dari tema besarnya, ajang karpet merah ini sangat win-win solutions, artis yang dinominasi mendapatkan perlakuan istimewa dari pihak-pihak yang diuntungkan seperti desainer dan perancang aksesoris untuk meminjamkan produk milyaran dolar nya untuk dapat disorot kamera dan disebarkan ke setiap ruang keluarga dunia ketiga.  Apresiasi bagi aktor yang mendapatkan kehormatan yang pada akhirnya personal branding untuk proyek selanjutnya, apresiasi bagi desainer? Apakah cukup? Setidaknya, manusia dunia ketiga yang akan menjadi pasar potensial mereka nantinya diperkenalkan dengan nama-nama besar seperti Harry Winston dan Tiffany untuk terekam di dalam alam bawah sadarnya sebagai sebuah mimpi yang tidak terlampiaskan.

Celakanya, sang penonton tidak sadar bahwa mereka secara tidak langsung sudah menjadi korban manipulasi glamor dan mapan padahal, sebenarnya ajang red karpet ini bukanlah merupakan inti dari acara ini. Inti acaranya adalah pemberian penghargaan insan perfilman yang berprestasi. Tentu saja acara inti tidak akan disimpan karena merupakan ritual dan bukan komersial.

Salam Karpet Merah untuk kita semua!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun