Mohon tunggu...
Adrianus Sa'at
Adrianus Sa'at Mohon Tunggu... -

ayah 3 anak, 2 cucu.\r\n\r\n"berbuatlah untuk masyarakat dengan cara yang bersih, santun dan mengabdi sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jimat dalam Tradisi Masyarakat Dayak Uut Danum

5 Juli 2012   15:12 Diperbarui: 4 April 2017   17:37 9476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di dalam kehidupan masyarakat Dayak Uut Danum yang masih mempertahankan adat istiadatdan tradisi, kepercayaanakanrohleluhur, binatang, tumbuh-tumbuhan dan segala macam benda biasanya digunakan sebagai “jimat”. "Jimat", menurut mereka membawa keberuntungan bagi pemiliknya dan akan menimbulkan kerugian bagi orang yang tidak menghiraukannya. Dalam antropologi budaya dan Kamus Besar Bahasa Indonesia jimat dapat pula disebut “mana”. Yang dimaksud dengan ”mana” adalah tenaga hidup yang tidak berpribadi dan ada pada manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan segala macam benda, dan mempunyai kekuatan gaib

Demikian yang terjadi sampai saat ini, masyarakat suku ini masih menyimpan benda-benda kuno, seperti tempayan, piring, gong, senjata (berupa mandau dan tombak). Benda-benda itu disimpan bukan untuk dijadikan barang koleksi seperti apa yang lazim kita temukan pada masyarakat modern. Benda-benda itu "dipelihara" dan disimpan karena dianggap mempunyaikekuatan gaib. Tempayan atau piring kuno dipelihara seolah-olah memelihara benda yang mempunyai jiwa, diberi sesajian, dan bahkan kadang-kadang dalam suatu upacara adat benda-benda itu diajak berbicara. Ketika tempayan atau piring kuno itu retak atau pecah, maka dengan cepat si pemilik benda mengadakan sesajian. Tujuan memberi sesajian itu untuk mencegah jangan sampai kekuatan gaibnya hilang akibat keretakan atau pecahnya benda tersebut, yang diyakini dapat mendatangkan malapetaka pada diri dan keluarganya.

Pada masa sekarang, di pedalaman sungai Serawai dan Ambalau di Kalimantan Barat, masih ada orang yang berkeinginan membeli benda-benda kuno, seperti tempayan, piring, mandau, uang perak zaman Hindia Belanda, tanduk rusa bercabang 5 (lima) dan 7 (tujuh) atau ganjildan lai-lain. Mereka mencari benda-benda tersebut dengan menawarkan harga tinggi kepada penduduk setempat. Namun, mereka harus pulang dengan tangan hampa, karena penduduk setempat tidak mau menjual benda-benda yang mereka miliki itu. Keengganan menjual benda-benda kuno bukan karena mereka memiliki banyak uang atau kaya, tetapi merekamerasakan bahwa benda-benda pusaka tersebut sudah bagian dari hidupnya.

Sekalipun keadaan ekonomimereka sangatmenyedihkan, mereka tetapmenyimpanbenda-bendatersebut dengan keyakinandapat mendatangkanrezeki danmemberikan daya hidup. Jika benda-benda itu dijual berarti mereka kehilangan keyakinan akan sumber rezeki dan sekaligus melemahkan daya hidup mereka.

Di dalam upacara perkawinan, biasanya, kedua mempelai akan didudukkan di atas sebuah gong. Dengan harapan kekuatan gaib yangterdapat di dalam gong mengalir kedalambadan kedua mempelai, sehingga daya hidup dalam badan mereka bertambah, hidupnya selalu sehat, dilimpahi banyak rezeki dan juga kebahagiaan.

Gejala-gejala dinamistis di atas nampak pula dalam kebiasaan menyimpan benda-benda lain. Seperti akar-akar dari pohon tertentu, taring babi, batu-batu yang aneh bentuknya, tulang-tulang binatang bahkan kadang-kadang tulang manusia pada bagian tertentu, apakah tulang kakeknya, apakah temannya, ataupun musuhnya. Selain tulang musuhnya, tulang-tulang lainnya, misalnya, yang didapat dari kakeknya atau temannya, harus melalui sebuah perjanjian yang bersifat lisan, bahwa pihak yang terlebih dahulu meninggal mengizinkan tulangnya dijadikan jimat.

Jimat itu mereka ikatkan pada pinggang atau disimpan dalam suatu tempattertentuyangkhusus. Membawa dan menyimpan jimat berarti menambahkan kekuatan yang terkandung dalam benda-benda itu kepada orang yang memilikinya.

Ada keyakinan bahwa rambut pada kepala, kuku, dan air ludah mengandung kekuatan gaib. Sehubungan dengan keyakinan ini terdapat kebiasaan pada suku Dayak Uut Danum untuk mempergunakan rambut dan kuku sebagai hiasan pada mandau. Mereka percaya jika berperang dengan mempergunakan mandau yang telah dihiasi dengan rambut dan kuku, maka akan dapat memenangkan perang dan dengan mudah dapat memenggal kepala musuhnya.

Seseorang dianggap mempunyai kekuatan gaib, bila ia dapat melakukan hal-hal yang menakjubkan dan sangatmengherankan, misalnya, apabila ia dapat melelehkan sebilah mandau yang terbuat dari besi. Atau ia bisa menghilangkandirinyadaripandanganorangsecaratiba-tiba, ataupunbila ia tidak luka meskipun secara berulang-ulang kali ditikam dengan tombak atau dipotong dengan mandau.

“Mana” mempunyai pengaruh yang dualistis sifatnya, di satu pihak ia dapat mendatangkan kebaikan, terutama untuk menambah daya hidup pada seseorang. Di lain pihak ia juga dapat menyebabkan malapetaka, kesusahan dan bahkan kematian. ”Mana”yangterdapatpadatempayan dapatmendatangkan kesusahan apabila orang memperlakukannya secara kurang baik, dan sebaliknya bila dipelihara dengan cukup baik, ia pun dapat mendatangkan kebahagiaan kepada pemiliknya.

Terhadap orang yang memiliki benda seperti tempayan, yang dianggap mempunyai“mana”, orang akan merasa hormat dan segan. ”Mana” yang terdapat pada tempayan berusaha mereka kuasai dan pergunakan. Kehendak untuk menguasai dan mempergunakan “mana” menurut kemauanya sendiri disebut ‘’magi’’. Magi dapat digunakan untuk maksud yang baik maupun jahat. Pemakaian “mana” untuk maksud baik dapat dijumpai dalam praktek-praktek upacara penyembuhan orang sakit. Upacara penyembuhan orang sakit disebut balian, sedangkan orang yang memimpin upacara disebut Basie atau Sangiang. Pemakaian “mana” untuk maksud jahat berupa prakteksihir, misalnya, dengan membuat seseorang tiba-tibameninggalduniatanpa pernah mengalami sakit.

Bagaimanakah cara menentukan bahwa benda tertentu mempunyai “mana”? Dari pengetahuan mereka, yang diwariskan sebagai warisan dari nenek moyangnya. Bahwa benda-benda kuno, batu-batu besar, binatang-binatang dan tumbuh-tumbuhan tertentu dan lain-lainnya mempunyai “mana”. Mereka teruskan dan yakini dalam hidup mereka secara turun temurun. Namun pada waktu tertentu, mereka juga memberikan penilaian-penilaian sendiri, misalnya, bila suatu saat mereka menjumpai sebuah batu yang sangatanehbentuknya, yangsangattidaklazimataumenakjubkan, maka mereka meyakini bahwa batu itu memiliki “mana”. Jadi, disamping diwariskan secara turun menurun, keanehan dan keluar biasaan suatu benda bisa menjadi kriteria adanya “mana” dalam benda tersebut. Meskipun suku Dayak Uut Danum mempunyai kepercayaan yang bersifat dinamistis, tidaklah setiap benda dipandang memiliki kekuatan gaib, seperti telah kami kemukakan di atas. Hanya benda-benda tertentu saja yang dianggap mempunyai “mana”. Benda-benda ber-”mana” itu harus dipelihara dan dihormati. Sampai hari ini, ketika tulisan ini ditulis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun