Mohon tunggu...
Adrianto Zulkarnain
Adrianto Zulkarnain Mohon Tunggu... Tutor - Seorang yang terus mencoba hidup dengan senantiasa iqra dan menulis, merupakan Alumni UIN Alauddin Makassar pada program studi Perbandingan Mazhab dan Hukum.

@adrianto_temanmu

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Membaca Kembali Kelahiran Lembaga Negara Independen

13 April 2022   14:44 Diperbarui: 13 April 2022   15:53 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Kompas.com

Hampir dasawarsa ini, jika kita melakukan studi terhadap semua konstitusi negara, maka dapat kita temukan bahwa tak ada lagi negara yang dalam sistem ketatanegaraannya murni menganut sistem trias politica. Kompleksitas persoalan yang dihadapi oleh negara mengharuskan gagasan tentang pengelolaan negara dalam tiga cabang kekuasaan (trias politica) yang pernah di gagas oleh John Locke dalam “Two Treaties of Civil Government” yang kemudian dikoreksi oleh Baron de Montesquieu dalam “L’Espirit des Lois” hanya bisa dijadikan  sebagian dasar dalam menyusun konsep pemisahan kekuasaan dan tata kelola negara. Soekarno dalam suatu kesempatan pernah mengatakan bahwa “Trias Politica sebagai konsep ketatanegaraan sudah merupakan konsep yang usang”. Pernyataan dari Soekarno ini konkretnya teraktualisasi, ketika pendiri negara membentuk suatu organ negara di luar pakem trias politica dengan lahirnya Badan Pemeriksa Keuangan, lebih tepatnya ketika mempersiapkan hukum Undang-Undang Dasar Proklamasi pada saat akhir kekuasaan jepang (1945).

Jika melacak akar sejarah, lembaga-lembaga negara independen sebenarnya sudah dikenal dari ratusan tahun yang lalu. Hal ini dapat kita lihat di Amerika Serikat pada akhir tahun 1800-an dan megalami ekspansi jumlah secara luar biasa pada tahun-tahun berikutnya. Eksistensi lembaga negara tersebut mengalami percepatan seiring dengan kompleksitas permasalahan ketatanegaran yang dihadapi. Menariknya, meskipun secara konstitusional menjadi bagian dari eksekutif, namun justru pendiriannya dilakukan oleh kongres. Kehadirannya di desain independen untuk mengurusi masalah-masalah yang terlalu kompleks, agar dapat diselesaikan melalu proses legislasi biasa.[1]

 Dalam sejarah ketatangeraan Indonesia yang telah melakukan amandemen UUD 1945 sebanyak 4 kali, merujuk dari karakter yang ada, lembaga negara pertama yang paling mendekati sifat independen adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM). Lembaga ini berdiri melalui Keppres No. 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Dalam pasal 3 Keppres tersebut dicantumkan perihal prinsip kemandirian Komnas HAM.[2] Barulah ketika orde baru jatuh dan lahirnya reformasi kita mengalami fenomena inflasi lahirnya sejumlah komisi-komisi negara yang menunjukkan corak independensinya, semisal Komisi Ombudsman Nasional (KON) melalui Keppres kemudian di ubah pada tahun 2008 melalui UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Dewan Pers dan beberapa komisi lainnya. Meskipun harus kita akui, lembaga-lembaga tersebut berpotensi tidak independen karena dibentuk oleh presiden melalui Keppres. Ketika amandemen ke 4 dilaksanakan, legitimasi untuk membentuk komisi negara independen semakin terbuka lebar. Hal ini terbukti dengan lahirnya beberapa lembaga negara Independen, semisal Komisi Pemberantasan Korupsi maupun Komisi Pemilihan Umum,[3] Komisi Yudisial[4] dan komisi-komisi lainnya yang merupakan perintah langsung konstitusi.

 

Analisis Faktor Kelahiran

 Selain akibat dari politik hukum negara demi penguatan tata kelola negara, lebih jauh kelahiran lembaga negara independen akibat dari hilangnya kepercayaan warga negara terhadap lembaga konvensional yang ada, mengingat kuatnya jaringan korupsi, kolusi dan nepotisme serta ketidakmampuan lembaga negara yang ada berlaku independen atas pengaruh kekuasaan pada orde baru. Fabrizio Gillardi (2012) dan Umit Somnez (2010) menuliskan secara detail hal itu.  Sama halnya di Amerika Serikat, dalam hal ini, Susan D. Baer (1998) mencatat, bahwa ketidakpercayaan publik (public distrust) terhadap lembaga negara yang ada telah mendorong lahirya lembaga negara independen untuk melaksanakan tugas dan diidealkan member kinerja baru yang lebih terpercaya.[5]

 Di lain sisi, sebagian pengamat menilai bahwa berkembangnya komisi-komisi negara tersebut tidaklah dilandasi oleh cetak biru (blue print) yang jelas. Dalam hal ini, Denny Indrayana (2005) menengarai ketidakjelasan komisi negara di Indonesia terutama dikarenakan ketiadaan konsep ketatanegaraan yang komprehensif tentang apa dan bagaimana sebaiknya komisi negara. Komisi negara kebanyakan lahir sebagai kebijakan yang reaktif-responsif, bukanlah preventif-solutif terhadap masalah kebangsaan. Secara detail dikatakannya:[6]

 “Komisi cenderung dibentuk karena penguasa melihatnya sebagai suatu kebijakan yang populis, sehingga jika didukung akan menaikkan pamor politik sang penguasa. Akibatnya, kelahiran kelahiran komisi negara hanyalah manipulasi dan dagangan elit poltik semata, menjauh dari tujuan luhurnya guna membentuk sistem ketatanegaran Indonesia yang lebih demokratis, modern dan anti korupsi.”

 Hal lain yang menunjukkan ketiadaan cetak biru kelembagaan yang jelas ialah tentang penataan yuridisnya. Bagaimanapun, kelembagaan negara independen yang di atur dalam konstitusi maupun undang-undang mempunyai konsekuensi yang berbeda, baik hierarki maupun kewibawaan itu sendiri. Implikasi lebih jauh dari  ketidaksederajatan ini ialah ketidakseragaman dalam proses seleksi pimpinan dan keanggotaan lembaga negara independen. Salah satu contoh ialah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang dalam kaidah tertentu seharusnya independen, akan tetapi terformat menjadi tidak independen karena ketuanya dipilih dan diberhentikan oleh presiden berdasarkan masukan menteri keuangan. Begitu halnya dengan seleksi calon anggota KPU/Bawaslu; Komnas HAM; dan OJK, hampir setiap seleksi yang dilakukan mengalami banyak persoalan akibat kegagalan memahami secara utuh konsep lembaga negara independen dan juga karena problem politisasi dalam pembentukannya.

 Selain daripada itu, juga yang menjadi problem ialah ketidakkonsistenan dalam nomenklatur kelembagaan. Dari beberapa lembaga negara independen yang ada, terdapat beberapa pola penamaan, seperti komisi (Komisi Yudisial), komisi nasional (Komnas HAM), dewan (Dewan Pers) dan ada pula tanpa embel-embel kata lembaga seperti Ombudsman Republik Indonesia. Dalam pembentukan KPU misalnya, sama sekali tidak ada ditemukan adanya perdebatan substantif tentang penamaannya. Secara detail dikatakan dalam suatu persidangan, “kita kembali ke yang… komite atau badan untuk ini ? Komisi kayanya lebih bagus! Jadi, komisi bapak-bapak ? Setuju ? Ok!.” Setelahnya, tidak ada lagi pembahasan terkait alas an dibalik pemilihan nama komisi tersebut. Situasi ini juga kurang lebih sama dengan apa yang terjadi oleh penamaan komisi yudisial.[7]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun