Ayah saya sering berkata kalau orang yang mau naik pesawat itu hanya terlihat gagah sampai sebelum pesawat itu mengudara. Pakai baju bagus. Menyeret koper kecil yang menarik. Kalau pesawat sudah terbang, kegagagahan itu hilang ditelan kekuatan alam yang membawa kita pada kepasrahan mengarungi perjalanan tersebut.
Alhamdulillah, urusan pekerjaan maupun perjalanan pribadi telah memberi saya pengalaman naik pesawat dalam berbagai jenis. Baik untuk penerbangan domestik maupun internasional. Mulai naik pesawat berbadan lebar jumbo jet Boeing 747 yang legendaris maupun Airbus 330 yang modern untuk rute internasional, sampai pesawat Boeing 727 yang kuno dan ringkih maupun Cessna 212 dengan penumpang tidak lebih dari 20 orang ketika melintasi wilayah Kalimantan dari Sampit ke Pontianak. Mudah-mudahan tidak lama lagi saya bisa mencoba pesawat terbaru Airbus: A380.
Setiap akan memasuki pintu pesawat, saya selalu mencari kepingan plat kecil di panel bingkai pintu depan pesawat. Kepingan plat kecil itu memberikan informasi kode produksi pesawat dan kapan pesawat itu selesai dibangun. Beberapa pesawat bahkan ada yang berumur lebih tua dari pramugarinya. Beberapa pesawat tidak memiliki informasi tersebut di bingkai pintu. Entah dimana produsennya meletakkan informasi tersebut. Meskipun para ahli penerbangan selalu mengatakan umur pesawat tidak menjadi penentu, melainkan bagaimana pesawat itu dirawat, saya tetap teringat perkataan ayah saya.
Dan itu terbukti benar. Dalam cuaca cerah sekali pun, banyak pesawat celaka. Dalam cuaca buruk, saya hanya bisa menggenggam erat pegangan tempat duduk sambil berdoa, meskipun saya tahu pegangan tempat duduk itu tidak bisa menolong saya jika pesawat itu terhempas ke darat atau ke atas laut.
Ketika naik pesawat kecil, saya merasakan angin mengombang-ambingkan tubuh pesawat (dan isi perut saya). Rasanya kaki ini hampir selalu menyentuh pucuk-pucuk pohon di bawah. Ketika naik pesawat yang badannya lebih besar, awan tebal dan wilayah hampa udara memberikan hawa ngeri di dalam kabin. Meskipun beberapa teman bergurau, "mungkin jalanannya masih belum diaspal", tetapi telinga tidak bisa menolak bunyi derak derik badan pesawat akibat hantaman alam. Ketika naik pesawat sebesar Boeing 747 pun, saya tidak bisa menghindar dari sapaan alam ketika berada di ketinggian.
Kegagahan ketika naik benar-benar hilang ketika pesawat mengudara. Entah lah, apakah penumpang di kelas bisnis dan kelas satu merasakan hal yang sama. Saya belum pernah naik kelas bisnis ataupun kelas satu. Tapi saya pikir, di sebuah kapal yang sama, penumpang pasti akan mengalami goyangan yang sama. Petir, angin, hujan, udara hampa, awan, dan fenomena alam lainnya yang menerpa pesawat di dalam perjalanannya, membuat manusia menjadi kecil dan tidak mempunyai kekuatan apa-apa.
Saya pun bertanya kepada teman yang dulunya pernah bekerja sebagai pelaut. Teman-teman menjawab, "Tidak peduli seberapa besar kapal yang kamu naiki, kalau gelombang laut sudah datang, tidak ada yang bisa lepas dari cengkeramannya. Yang harus kita lakukan adalah berkelit untuk bertahan dan tetap terapung." Meskipun sudah berlayar bertahun-tahun, ketika kapalnya disergap badai, teman saya hanya bisa tiarap di lantai kamar mandi agar dia bisa lebih mudah memuntahkan apa saja dari lambungnya, jika masih ada yang tersisa di dalamnya. Padahal dia berlayar dengan kapal petikemas besar (kapasitas 6.000 TEUs sudah cukup besar). Kapal itu bahkan tidak bisa masuk pelabuhan Tanjung Perak saking besarnya. Tetapi tetap saja, di tengah samudera yang luas, kapal sebesar itu tampak seperti serpihan roti di dalam cangkir kopi kita.
Di darat pun ternyata sama saja. Hujan, angin, petir, gempa dan tsunami menyapa kita sepanjang bentangan bumi dari barat ke timur. Akal dan otak manusia telah bekerja keras mengatasi semua sapaan alam itu. Tetapi semua itu hanya bisa untuk melindungi diri. Untuk sekedar bertahan. Tidak bisa untuk melawan alam.
Di alam, kita menjadi kecil dan kita dipaksa untuk melepaskan kebesaran kita. Entah itu pangkat, ilmu, kekuasaan, kekayaan. Kita tidak sempat untuk menjadi sombong. Yang ada hanya kuasa Tuhan. Sangat besar sehingga kita tidak mampu untuk membandingkannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI