Mohon tunggu...
Lyfe

Tugas Berat Akhir di Sekolah

28 Februari 2016   20:35 Diperbarui: 29 Februari 2016   06:53 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Irvan Sebastian Damanik dan Leo Widiatma

Para siswa maupun siswi kelas XII SMA akan segera menghadapi ujian kelulusan dan ujian seleksi masuk perguruan tinggi negeri maupun swasta. Akibat jadwal ujian negara yang dimajukan menjadi awal April, sekolah terpaksa memperawal pelaksanaa ujian-ujian lain yang cukup banyak jumlahnya, termasuk ujian kelulusan.

Ujian kelulusan menjadi penentu lulus tidaknya siswa dan ujian perguruan tinggi menjadi pengukur kelayakan siswa untuk dapat diterima di perguruan tinggi tertentu. Keduanya mempunyai tujuan yang baik yaitu untuk mengukur intelektual siswa selama tiga tahun masa belajar. Namun faktanya, ujian tersebut belum mampu dijadikan tolak ukur intelektual siswa.

Ujian kelulusan dapat dibagi menjadi beberapa komponen yaitu nilai rapor, nilai ujian praktek, dan nilai ujian sekolah dimana terdapat nilai minimum yang harus dicapai siswa yang artinya siswa diharapkan mampu menguasai seluruh materi baik teori maupun praktek. Hal ini tidak ideal mengingat banyaknya materi pelajaran yang diajarkan oleh banyak guru tetapi harus dikuasai oleh setiap anak yang dalam hal ini bersifat perorangan. Hal lain lagi, seorang siswa tentu kesulitan ketika harus menguasai nilai kognitif dan psikomotor sekaligus. Hal ini tentu tidak mungkin dan pada akhirnya membuat siswa tertekan dan depresi.

Akibatnya, ada siswa yang tidak memenuhi kriteria ketuntasan minimum. Bahkan sudah menjadi rahasia umum jika ada guru yang memanipulasi nilai siswa menjadi lebih tinggi sehingga kriteria ketuntasan dapat tercapai. Akibatnya, nilai tersebut tidak mencerminkan intelektual siswa yang sudah diproses selama tiga tahun.

Banyaknya mata pelajaran yang diajarkan pada siswa membuat mereka tidak fokus pada satu bidang. Padahal kita tahu bahwa tidak semua mata pelajaran akan dipakai di perguruan tinggi ataupun digunakan untuk kehidupan kita selanjutnya. Contoh saja SBMPTN. SBMPTN hanya terdapat beberapa mata pelajaran yang diujikan. Seleksi jalur tes ini dapat diikuti oleh siswa yang tidak lolos SNMPTN atau nilai rapor yang tidak mencukupi untuk masuk ke perguruan tinggi tertentu.

Artinya lebih baik menyiapkan SBMPTN daripada hanya fokus mengandalkan SNMPTN. Jika seperti itu, mengapa tidak dari kelas X kita diajarkan soal-soal SBMPTN? Dengan taraf kesulitan setingkat olimpiade, mustahil bagi seorang siswa untuk dapat mempelajarinya dalam waktu singkat. Hal ini tentu menjadi ironis mengingat perjuangan siswa selama 3 tahun menjadi tidak berarti karena keadaan sistem pendidikan.

Hal lain lagi yang menjadi suatu keprihatinan adalah pendidikan karakter yang belum diwujudkan secara masif. Sangat baik bila siswa diajarkan untuk “menemukan Tuhan dalam matematika” atau “menemukan Tuhan dalam Fisika”. Terdapat pepatah “semakin seseorang menguasai suatu ilmu, maka ia semakin mengenal Tuhannya”. Hal ini pun penting untuk diajarkan mengingat bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragama. Jika ini diajarkan, maka intelektual dan moralitas siswa juga akan berkembang.

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun