Kejadian di mana Gubernur Jambi, Zumi Zola, menegur keras perawat dan dokter yang tertidur saat bekerja di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Raden Mattaher sempat menjadi polemik pada akhir Januari lalu. Ketika itu, Zumi Zola sedang melakukan inspeksi mendadak (sidak) setelah adanya laporan dari masyarakat mengenai kurang baiknya kinerja tenaga kesehatan di rumah sakit tersebut. Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Utama RSUD Raden Mattaher, drg. Iwan Hendrawan, menyayangkan kejadian itu dan memberikan Surat Peringatan 3 (SP3) pada tenaga kesehatan yang terbukti tidur.
Demikianlah potret kerja tenaga kesehatan, khususnya dokter, di Indonesia. Tulisan ini tidak akan menyorot mengenai hal tersebut; namun, hal tersebut sepatutnya mengingatkan masyarakat luas akan permasalahan jam kerja dokter di Indonesia.
Lama Jam Kerja Dokter
Di Indonesia, belum terdapat aturan khusus mengenai jam kerja dokter. Aturan terkait hal tersebut masih merujuk pada Pasal 77 Ayat (2) UU no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ayat tersebut mengatur bahwa waktu kerja maksimum seorang tenaga kerja adalah tujuh jam satu hari (untuk enam hari kerja dalam satu minggu) atau delapan jam satu hari (untuk lima hari kerja per minggu). Namun, kenyataannya, dokter seringkali bekerja lebih lama dari aturan tersebut.
Hal tersebut terjadi karena adanya regulasi bahwa dokter dapat memiliki Surat Izin Praktik (SIP) di tiga tempat sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 512/MENKES/PER/IV/2007. Peraturan tersebut sebenarnya merupakan upaya untuk meningkatkan pelayanan dokter (yang dilakukan dengan membatasi tempat praktik dokter), namun menurut penulis batasan tersebut masih dapat memicu masalah. Sebagai contoh, sebuah Rumah Sakit Daerah mewajibkan dokter untuk bekerja selama 40 jam di tempat tersebut sesuai UU Ketenagakerjaan; apabila dokter tersebut masih bekerja di dua tempat lain, tentunya beban bekerjanya akan jauh melebihi aturan!
Di sisi lain, hal tersebut merupakan hal yang cukup dilematis mengingat diberlakukannya batasan maksimal tiga SIP saja sebenarnya sudah cukup memicu polemik di kalangan dokter. Jam kerja dan lokasi praktik dokter sebanding dengan insentif yang didapatkannya sehingga pembatasan tersebut dapat mengurangi tingkat kesejahteraan dokter.
Hal di atas terkait dengan isu bahwa Indonesia masih kekurangan dokter. Menurut data di Konsil Kedokteran Indonesia, rasio dokter dengan penduduk Indonesia per 2016 adalah 1 dokter untuk 2.270 penduduk; lebih tinggi dari rasio ideal yang distandarkan WHO, yakni 1: 2500. Namun, jumlah tersebut masih jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah dokter di negara-negara maju. Bahkan, di negara-negara maju tersebut, jam kerja dokter masih di atas empat puluh jam. Sebagai contoh, dokter di Amerika Serikat –yang rasio dokter dengan pasiennya pada 2013 adalah 2.554: 1000 (atau 1: 391.5)– bekerja 40-60 jam per minggu (hasil survey American Medical Association). Bandingkan dengan rasio di Indonesia; jam kerja dokter yang jauh di atas empat puluh jam tentunya menjadi hal yang rasional – sekaligus miris.
Efek Lama Waktu Kerja Dokter terhadap Kinerja Dokter
Sejumlah studi menunjukkan bahwa terlalu panjangnya waktu kerja dokter berefek terhadap kinerja mereka dalam menghadapi pasien. Â Hal ini disebabkan stres dan lelahnya dokter dapat meningkatkan tingkat kesalahan mereka karena kehilangan fokus.
Studi yang dilakukan oleh Lockley et al menunjukkan bahwa residen (dokter yang mengambil kuliah spesialis) yang bekerja selama 24 jam berturut-turut memiliki risiko tinggi dalam berbagai aspek: tingkat kesalahan pengambilan tindakan medis yang lebih tinggi, kesalahan diagnosis pasien, hingga tingginya risiko kecelakaan saat perjalanan kembali ke rumah sehabis bekerja. Studi tersebut juga menunjukkan bahwa beban kerja tersebut membuat performa residen berkurang hingga menjadi setingkat dengan orang yang memiliki level alkohol darah 0.05 hingga 0.10%. Tidakkah memercayakan kesehatan pada seseorang dengan kondisi seperti itu menimbulkan kekhawatiran?