filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang kebenaran yang meliputi logika, fisika, metafisika dan pengetahuan praktis. Kata Filsafat pertama kali digunakan oleh Pythagoras, seorang filosof Yunani yang hidup pada 582-496 sebelum Masehi.
Dari sudut kefilsafatan, kejahatan merupakan persoalan yang paling membingungkan dan menggelisahkan intelektualitas manusia. kejahatan telah menjadi subjek yang menarik dalam bidang filsafat dan teologi. Dalam teologi, keberadaan kejahatan sering kali menjadi bagian dari pertimbangan mengenai keberadaan Tuhan dan sifat-Nya. Pertanyaan-pertanyaan seperti "Apakah Tuhan bisa disalahkan atas kejahatan?" atau "Mengapa Tuhan membiarkan kejahatan terjadi?" sering kali muncul dalam konteks ini. di sisi filsafat, kejahatan sering dipertimbangkan dalam konteks etika dan keadilan.
Sementara Kriminologi adalah ilmu yang menjadikan kejahatan sebagai objeknya. Kriminologi berasal dari kata crimen yang berarti kejahatan dan logos yang berarti  ilmu. Secara harafiah Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan.  Kriminologi memandang kejahatan sebagai fenomena kompleks yang melibatkan interaksi antara individu, masyarakat, dan lingkungan, serta mencerminkan ketidakseimbangan dan ketidaksetaraan dalam masyarakat. Pendekatan kriminologi bukan hanya memahami mengapa kejahatan terjadi, tetapi juga bertujuan untuk mengembangkan kebijakan dan intervensi yang efektif dalam pencegahan kejahatan serta rehabilitasi pelaku kejahatan, demi menciptakan masyarakat yang lebih aman dan adil.
Kedudukan filsafat dalam perkembangan keilmuan kriminologi di Indonesia sangat penting karena filsafat memberikan landasan teoritis dan metodologis yang mendasar bagi pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk kriminologi. Filsafat membantu dalam memahami akar pemikiran dan konsep-konsep dasar yang menjadi dasar dari pemahaman tentang kejahatan dan perilaku kriminal.Â
Dalam konteks kriminologi, filsafat dapat membantu dalam merumuskan pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti apa itu kejahatan, apa penyebabnya, dan bagaimana cara mengatasinya. Selain itu, filsafat juga membantu dalam pengembangan metodologi penelitian yang tepat dan analisis yang mendalam terhadap data yang ada. Dengan demikian, kedudukan filsafat dalam perkembangan kriminologi di Indonesia membantu dalam membentuk dasar pemikiran yang kuat dan menyeluruh, serta memastikan bahwa ilmu kriminologi dapat berkembang secara ilmiah dan berkelanjutan.
Opini tentang kedudukan filosofi terhadap perkembangan kriminologi di Indonesia dapat bervariasi tergantung pada sudut pandang individu. beberapa opini yang mungkin berkaitan dengan hal tersebut:
1. Pentingnya Memahami Akar Masalah: Filsafat memberikan pemahaman mendalam tentang akar masalah kejahatan dan kriminalitas, seperti ketidaksetaraan sosial, ketidakadilan, dan ketidakstabilan institusi. Tanpa memahami akar masalah ini secara filosofis, upaya penanggulangan kejahatan hanya akan bersifat permukaan dan tidak efektif.
2. Menyelamatkan Narapidana: Dengan pendekatan filosofis yang menekankan rehabilitasi dan pembinaan manusia, kriminologi di Indonesia dapat mengubah paradigma penanganan kejahatan dari sekadar hukuman menjadi upaya memperbaiki dan menyelamatkan individu yang terlibat dalam perilaku kriminal.
3. Pentingnya Refleksi Etis: Filsafat membantu kriminologi untuk lebih mempertimbangkan aspek-etis dalam penelitian, penegakan hukum, dan pembuatan kebijakan. Hal ini penting mengingat risiko penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia yang sering terjadi dalam konteks penanganan kejahatan.
4. Menjaga Kemandirian Ilmu Kriminologi: Filsafat juga dapat membantu menjaga kemandirian ilmu kriminologi dari tekanan politik dan ideologis yang mungkin mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan atau penafsiran yang bias dalam interpretasi data kriminal.
5. Pengembangan Teori yang Lebih Komprehensif: Dengan memperhatikan kontribusi filosofi terhadap kriminologi, kita dapat mengembangkan teori-teori yang lebih komprehensif tentang kejahatan dan perilaku kriminal yang memperhitungkan aspek-aspek psikologis, sosial, dan moral secara seimbang.