Jakarta adalah estalase terdepan wajah Negara kita, estalasenya wajah Ibukota negara harus ditampilkan serapih dan sebaik mungkin, karena dari sana terhambar bagaimana kinerja Pemerintah yang sebenarnya. Hari Senin, tanggal 21 Januari 2013 Bapak Jokowi yang saat itu masih sebagai gubernur DKI Jakarta, bertemu dengan pimpinan MPR di Gedung MPR RI. Dalam pertemuan itu Pak Jokowi berkata “Kalau memang sudah kita mentok dan kesulitan untuk mengatasi banjir Jakarta, tidak ada jalan lain. Ya, saya sangat setuju dengan Bapak Ketua MPR untuk dipindah,” (sumber : www.kompas.com). Jadi jelaslah sudah sang Gubernur Jakarta dulu dan Sang Presiden saat ini termasuk pihak yang setuju ibukota pindah, dengan catatan Kalau memang sudah kita mentok dan kesulitan untuk mengatasi banjir Jakarta, tidak ada jalan lain. Pertanyaannya, kapan hal itu akan direalisasikan ? seluruh kantor Pemerintahan atau hanya sebahagian yang dipindahkan ? serta kemana pindahnya ?
Kita tidak perlu gengsi atau malu, jika dalam hal yang satu ini kita harus belajar dan meniru Malaysia. Malaysia sejak 12 tahun yang lalu, telah menetapkan Kota Putrajaya sebagai pusat Pemerintahan Malayasia. Luas kota Putrajaya hanya 46 kilometer persegi tersebut, telah membuktikan kesuksesan Malaysia dalam menata lalu lintas dan kemacetan kota Kualumpur.
Dari berbagai kajian dan alternatif yang pernah dilontarkan, tentang wacana pemindahan Ibukota, wacana pemindahan pusat pemerintahanlah yang paling “ murah dan realitis “ serta tidak ribet dari segi politik. Yang pasti, kota yang akan ditetapkan sebagai pusat pemerintahan baru tersebut harus memiliki infrstruktur pendukung seperti kelengkapan sarana dan prasarana, yang masih bisa diakomodasi oleh kota Jakarta. Selain kesiapan infrastruktur, masalah lainnya seperti masalah sosial yang mengiringi kepindahan para pegawai negeri pusat ke lokasi pusat pemerintahan tersebut juga harus dipersiapkan sarana dan prasarananya. Bappenas mungkin sudah mengkaji, peran Jakarta sebagai pusat pemerintahan, ekonomi, bisnis, pariwisata yang membuat padatnya penduduk, macetnya lalu lintas karena jumlah kendaraan dan jalan yang tersedia sudah tidak seimbang. Bagaimana sebaiknya sistem pemindahan pusat perkantoran ini ? apakah kelokasi yang agak jauh dari Jakarta yang kondisi infrastrukturnya masih Nol ? atau ke Lokasi yang tidak begitu jauh dari Jakarta dengan infrastrukturnya yang sudah tersedia. Kedua system ini sama sama mempunyai kekurangannya.
Cara yang ideal adalah dengan sistem jangka pendek dan jangka panjang. Dalam jangka pendek, Pusat Pemerintahan dipindahkan terlebih dahulu ke lokasi Kota baru yang sudah jadi seperti Lippo Karawaci atau BSD. Namun Bappenas / Pemeritah sudah menentukan suatu lokasi baru di daerah pinggiran Tanggerang atau Karawang atau Bekasi atau Tangerang yang dianggap cocok untuk dibangun pusat perkantoran pemerintahan yang baru. Selama dalam pembangunan pusat perkantoran yangbaru tersebut, aktivitas pusat perkantoran sudah bisa dimulai dilokasi kota Baru yang telah ditetapkan oelh Pemerintah.
Wacana pemindahan Ibu Kota tidak hanya sekali ini dilontarkan karena rencana tersebut telah bergulir sejak zaman pemerintahan Soekarno.Kala itu, Presiden dan Bapak Bangsa ini memberi masukan untuk memindahkan Ibu Kota RI ke Palangkaraya. Namun wacana ini tidak pernah ditindak lanjuti sebab masa pemerintahannya berakhir di tangan Soeharto.Di bawah pemerintahan Soeharto, Ibu Kota Negara Indonesia juga sempat akan dipindahkan di daerah Jonggol, kawasan Bogor. Tapi, tetap saja wacana tersebut hanya sebatas wacana yang tidak pernah ditindaklanjuti walau Soeharto telah memerintahkan pembebasan tanah di kawasan itu.Sedangkan di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ibukota Negara juga sempat diusulkan dipindah ke Purwokerto, Jawa Tengah. Di tempat itu terdapat tempat pariwisata Baturaden yang rencananya akan dibuat Istana Negara. Kota-kota lainnya yang sempat diusulkan untuk menjadi pengganti Ibu Kota Negara Indonesia adalah:
- Karawang, Jawa Barat
- Bandar Lampung, Lampung
- Palembang, Sumatera Selatan
- Banjarmasin, Kalimantan Selatan
- Kota Merdeka, Kalimantan Tengah
- Pontianak, Kalimantan Barat
- Balikpapan, Kalimantan Timur
- Samarinda, Kalimantan Timur
Bagaimana dengan usulan Bapak Jokowi ? Bapak Jokowi ketika jadi Gubernur DKImenawarkan lokasi baru bila akhirnya ibukota RI dipindah. Lokasinya berada di utara Jakarta. Tepatnya di lahan baru seluas 5.100 hektar hasil reklamasi untuk pembangunan Giant Sea Wall atau tanggul laut raksasa."Tadi kan ditanyakan, saya hanya menyampaikan ada lahan baru 5.100 hektar. Kalau pemerintah pusat memiliki keputusan politik, dan berani untuk pindahkan ibukota di sana bisa saja, tapi beli," kata Gubernur bernama lengkap Joko Widodo saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi IV DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (12/12/2013). Saat ini, Bapak Jokowi sudah jadi presiden, keputusan Pemerintah pusat ya ada ditangan beliau saat ini. Kita hanya bisa menunggu kapan pelaksanaannya, ini adalah moment bersejarah bagi Bapak Jokowi untuk mengurai parahnya kemacetan Jakarta dan masalah banjir Jakarta.
Apa akibatnya jika wacana pemindahan ibukota atau pusat pemerintah jika ditunda tunda terus ? kita ketahui bahwa diibukota Jakarta di mana lebih dari 80% uang yang ada di Indonesia beredar di sini merupakan magnet yang menarik penduduk seluruh dari Indonesia untuk mencari uang di Jakarta. Arus urbanisasi dari daerah ke Jakarta begitu tinggi. Akibatnya jika penduduk Jakarta pada zaman Ali Sadikin tahun 1975-an hanya sekitar 3,5 juta jiwa, saat ini jumlahnya sekitar 10 juta jiwa. Pada hari kerja dengan pekerja dari wilayah Jabotabek, penduduk Jakarta menjadi 12 juta jiwa.
Jumlah penduduk Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi tahun 2015diperkirakan lebih dari 30 juta jiwa. Padahal tahun 1986 jumlahnya hanya sekitar 14,6 juta jiwa (MS Encarta). Jika Jakarta terus dibiarkan jadi ibukota, maka jumlah ini akan terus membengkak dan membengkak. Akibatnya kemacetan semakin merajalela. Jumlah kendaraan bertambah. Asap kendaraan dan polusi meningkat sehingga udara Jakarta sudah tidak layak hirup lagi. Pohon-pohon, lapangan rumput, dan tanah serapan akan semakin berkurang diganti oleh aspal dan lantai beton perumahan, gedung perkantoran dan pabrik. Sebagai contoh berbagai hutan kota atau tanah lapang di kawasan Senayan, Kelapa Gading, Pulomas, dan sebagainya saat ini sudah menghilang diganti dengan Mall, gedung perkantoran dan perumahan.
Hal-hal di atas akan mengakibatkan:
- Jakarta akan jadi kota yang sangat macet
- Dengan banyaknya orang bekerja di Jakarta padahal rumah mereka ada di pinggiran Jabotabek, akan mengakibatkan pemborosan BBM. Paling tidak ada sekitar 6,5 milyar liter BBM dengan nilai sekitar Rp 30 trilyun yang dihabiskan oleh 2 juta pelaju ke Jakarta setiap tahun.
- Dengan kemacetan dan jauhnya jarak perjalanan, orang menghabiskan waktu 3 hingga 5 jam per hari hanya untuk perjalanan kerja.
- Stress meningkat akibat kemacetan di jalan.
- Penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas) juga meningkat karena orang berada lama di jalan dan menghisap asap knalpot kendaraan
- Banjir dan kekeringan akan semakin meningkat karena daerah resapan air terus berkurang.
- Jumlah penduduk Indonesia akan terpusat di wilayah Jabodetabek. Saat ini saja sekitar 30 juta dari 200 juta penduduk Indonesia menempati area 1500 km2 di Jabodetabek. Atau 15% penduduk menempati kurang dari 1% wilayah Indonesia.
- Pembangunan akan semakin tidak merata karena kegiatan pemerintahan, bisnis, seni, budaya, industri semua terpusat di Jakarta dan sekitarnya.
Untuk itu diperlukan penyebaran pusat kegiatan di berbagai kota di Indonesia. Sebagai contoh, di AS pusat pemerintahan ada di Washington DC yang jumlah penduduknya hanya 563 ribu jiwa. Sementara pusat bisnis ada di New York dengan populasi 8,1 juta. Pusat kebudayaan ada di Los Angeles dengan populasi 3,9 juta. Pusat Industri otomotif ada di Detroit dengan jumlah penduduk 911.000 jiwa. Wacana dan rencana pemindahan ibukota dan ataupun pusat pemerintahan, sudah dari sejak tahun 1957, berdasarkan data-data berikut :
1. Sejak Indonesia masih berpresidenkan Soekarno, ide pindah ibukota ke Palangkaraya sudah sering diajukan. Ide ini digagas oleh beliau sekitar tahun 1957. Saat ini, banyak ahli yang mendukung pendapat ini karena memiliki lahan luas serta dimungkinkan dibangun sejumlah perkantoran kementerian. Kota Palangkaraya juga berada di atas bukit sehingga tidak akan terjadi banjir. Pendapat ini kembali diamini oleh Prof HM Norsanie Darlan (Guru Besar Universitas Palangkaraya)
2. Pendapat para pakar mengenai pemindahan ibu kota :
Andrinof Chaniago ( Saat itu Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia) berpendapat daya dukung Pulau Jawa khususnya Jakarta dan sekitarnya tak memadai lagi untuk Ibukota. Satu bom sosial siap meledak di Jakarta 20 tahun lagi. Kesenjangan sosial kian tajam, kriminalitas tinggi, taraf kesehatan menurun. Gangguan jiwa meningkat
Yayat Supriyatna (Planolog dari Universitas Trisakti) berpendapat Jakarta tidak pernah disiapkan secara matang untuk menjadi Ibukota dengan skala sebesar sekarang, Dari sekadar kota perdagangan, kemudian harus menampung aktivitas pemerintahan dalam skala besar sehingga fungsi dan perannya tidak jelas.
Haryo Winarso (Haryo Winarso) berpendapat Ibukota tidak dapat pindah ke dalam lokasi berdekatan karena hal tersebut hanya akan memperpanjang kemacetan diakrenakan orang-orang yang terlibat pemerintahan tetap tinggal di Jakarta sehingga akan tetap macet
Sonny Harry B. Harmadi (Pakar demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia) berpendapat pemindahan Ibukota ke luar Jakarta dan bahkan ke luar Jawa. kepadatan penduduk dan pemusatan aktivitas yang terus meningkat di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi menjadikan daerah ini tidak lagi ideal sebagai kandidat Ibukota baru Republik Indonesia
M Jehansyah Siregar (doktor di bidang perencanaan kota dari Universitas Tokyo) berpendapat Berdasarkan berbagai kajian yang telah ada, Kalimantan pulau yang telah siap secara infrastruktur dan secara geografis Kalimantan jauh dari pusat gempa dan gunung berapi.
Dari data-data diatas, dapat disimpulkan Jakarta berbeban terlalu berat, disamping sebagai pusat pemerintahan, ia juga mengemban tugas sebagai pusat ekonomi dan perdagangan. Maka dapat dilihat dari pendapat para ahli tersebut termasuk Pak Karno juga, untuk membantu Jakarta jadi “sehat” pindahkanlah satu tugas ke kota lain, dan yang paling mendukung dipindahkan adalah tugas sebagai pusat pemerintahan. Jadi, jika ibukota negara pindah, yang berpindah adalah pusat pemerintahannya.
Metode seperti ini bukanlah metode baru, sudah banyak negara yang mempraktekannya, lihat saja Amerika Serikat yang memusatkan pemerintahan di Washington sementara ekonomi tetap dipusatkan di New York. Demikian halnya dengan Australia, ibukota (pemerintahan) sudah dipindahkan ke Canberra.
Sesuai dengan Nawa Cita Presiden Jokowi, yang akan mewujudkan Indonesia sebagia salah satu posros Maritim dunia, akan berdampak pada Industri maritime, yang adalah industri yang padat tenaga kerja dan ramah lingkungan, terutama jika dibanding dengan usaha pertambangan. Karena karakter positifnya itu, industri maritim harus menjadi komponen penting dari agenda pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan pembangunan berkelanjutan.
Pemindahan ibu kota atau Perkantoran Pemerintah ke wilayah luar Jakarta akan memberikan energi untuk memperkuat keberadaan Indonesia sebagai negara maritim dan mendukung misi mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas serta pembangunan berkelanjutan. Dengan 2/3 luas wilayah yang terdiri dari lautan, selama ini pembangunan ekonomi di Indonesia justru berbasis daratan. Implikasinya, potensi ekonomi kemaritiman menjadi lenyap. Perekonomian maritim dalam wujud industri perkapalan, pengolahan ikan, pariwisata laut, energi air, transportasi air, dan lain-lain tidak berkembang. Problem ekonomi biaya tinggi di Indonesia selama ini antara lain disebabkan tingginya ongkos logistik yang bersumber dari inefisiensi transportasi laut (kapal). Demikian pula, masih belum maksimalnya ekspor Indonesia karena sangat tergantung dari komoditas darat (perkebunan dan lain-lain). Seluruh problem itu akan dapat diurai jika perekonomian kita bergerak menuju pemanfaatan potensi maritim.
Menuju kelahiran sebuah Kota Global dan Modern serta Lestari. Bapak Jokowi sudah terbukti bisa menata Kota solo sehingga kota solo berkembang menjadi kota yang maju dan lestari/Kota global dan modern serta Lestari adalah kota yang memilki tata ruang, morfologi, pola transportasi dan pola pemukiman yang efisien dan memiliki ruang yang cukup untuk kepentingan publik, seperti jalur pejalan kaki, pengendara sepeda, hutan kota, taman kota, pantai publik dan sebagainya, yang tidak mungkin bisa kita dapatkan lagi di Jakarta dan sekitarnya. Untuk pola pemukiman dan perumahan, kota global mutlak didominasi oleh hunian vertikal dengan lingkungan tertata yang hemat lahan dan berlokasi tidak jauh dari kegiatan warga kota di siang hari. Di kota yang betul-betul dirancang khusus ini pula, pemerintah bisa menerapkan kebijakan yang memaksa warga inti kota untuk memulai nilai-nilai hidup baru dalam bermukim dan bertempat tinggal, karena penghuni kota ini sebagian besar adalah 400 ribu pegawai pemerintah pusat. Permasalahan lingkungan dan beban urbanisasi yang berat membuat Jakarta kewalahan mewujudkan dirinya sebagai kota yang berkelanjutan. Pemindahan Ibukota NKRI yang diiringi oleh pengembangan kota baru sebagai fungsi ibukota merupakan peluang membangun salah satu model Kota Lestari. Membangun Kota Lestari tentunya tidak dapat diserahkan semata kepada sektor swasta yang berorientasi keuntungan. Kota Lestari mengandung misi-misi permukiman berkelanjutan yang hanya dapat dijalankan dengan kepemimpinan sektor publik yang kuat dan didukung sektor swasta dan masyarakat secara sinergis. Sebagai model Kota Lestari di tanah air, ibukota baru adalah simbol Indonesia Baru dengan segala kebaikan pembangunan kota dan penataan permukimannya. Ibukota baru direncanakan menampung kepadatan penduduk yang terencana hingga berjumlah lebih kurang 1 juta penduduk saja. Ibukota baru sebagai model kota lestari adalah ajang diterapkannya berbagai pendekatan pengembangan permukiman dan kota yang belum berhasil diwujudkan hingga kini, seperti:
1] Penataan ibukota pusat pemerintahan atau civic center yang terpadu dengan fungsi-fungsi permukiman, pusat pendidikan, pusat penelitian, kawasan industri jasa, dan rekreasi serta didukung sistem transportasi, prasarana permukiman dan fasilitas-fasilitas kota yang memadai (Revisi UU 29/2007 tentang Ibu Kota Negara);
2] Manajemen kota yang kuat dan mampu mengendalikan pemanfaatan ruang-ruang kota dan wilayahnya secara efektif (Implementasi UU Penataan Ruang 26/2007);
3] Pengembangan sistem transportasi publik yang terpadu inter-moda dan terpadu dengan pusat-pusat aktivitas kota berdasarkan konsep TOD (Transit Oriented Development);
4] Pengembangan integrated urban infrastructure management;
5] Kawasan siap bangun dan lingkungan siap bangun (Implementasi UU 4/1992 dan PP 80/1999);
6] Pembangunan kota terpadu dengan penyediaan perumahan yang layak bagi seluruh warganya, melalui pengembangan permukiman campuran multistrata yang bebas dari eksklusivisme lingkungan permukiman;
7] Pengembangan permukiman berbasis komunitas (community housing);
8] Penerapan konsep green building, sustainable landscape dan juga sustainable settlements;
9] Pembangunan kapasitas dan pengembangan kelembagaan (capacity building and institutional development) pengelolaan Ibukota NKRI.
Upaya reformasi tata kelola pembangunan
Strategi pembangunan kota-kota sebagai upaya pemerataan pembangunan wilayah di tanah air yang sudah dirumuskan sejak lama tidak kunjung terwujud karena lemahnya kemampuan pemerintah untuk menggerakkan investasi swasta di luar Jawa. Pemindahan ibukota NKRI dapat dipandang sebagai peluang bagi pemerintah untuk membangun sektor publik yang kuat untuk menggerakkan investasi di luar Jawa secara efektif.
Pelepasan fungsi Jakarta sebagai pusat pemerintahan merupakan upaya yang paling memungkinkan dibanding melepas fungsi-fungsi lain seperti pusat keuangan, pusat bisnis, pusat jasa dan perdagangan, pusat pendidikan, dan sebagainya. Pemindahan Ibukota NKRI sebagai sebuah prakarsa sektor publik yang dipimpin oleh pemerintah pusat harus dipandang sebagai instrumen paling strategis untuk meningkatkan kemampuan pemerintah dalam membangun pola spasial investasi swasta sekaligus mengendalikan arah pertumbuhan wilayah dan kota-kota.
Manfaat ekonomi Ibu Kota baru
Pemindahan ibukota atau pemindahan pusat Pemerintahan ke luar Jakarta, meskipun akan memakan biaya sekitar Rp Rp 50 hingga Rp 100 triliun, tidak dikeluarkan sekaligus. Pembiayaan dilakukan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun, dengan rata-rata Rp 5 sd Rp 10 triliun per tahun. Biaya tersebut merupakan investasi bangsa yang akan menghasilan keuntungan berlipat-lipat dalam jangka panjang, untuk masa depan NKRI sepanjang usianya. Ibu Kota atau pusat pemerintahan yangyang baru akan menambah daya tarik Indonesia di mata dunia internasional, dan daya tarik itu akan mendatangkan nilai devisa bagi negara melalui aliran masuk investasi maupun wisatawan. Sejauh kita bisa mendorong persebaran kedatangan pemodal dan wisatawan asing itu ke berbagai wilayah di Indonesia, peningkatan devisa itu tentu akan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.
Pengeluaran Rp 100 triliun untuk waktu sepuluh tahun, atau kurang dari 1% nilai APBN, jelas jauh lebih rendah dibandingkan kerugian akibat kemacetan di Jakarta yang sekarang mencapai di atas Rp 20 triliun per tahun, dan degradasi lingkungan yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Apabila kerugian akibat kemacetan tersebut digabungkan lagi dengan kerugian akibat banjir, kemerosotan daya dukung lingkungan, kemerosotan kualitas hubungan sosial, dan sebagainya dengan nilai yang terus meningkat dari tahun ke tahun, investasi memindahkan ibu kota menjadi jauh lebih besar lagi manfaatnya. Dari total investasi untuk infrastruktur dan sarana yang dibangun di Ibu Kota baru ini tentu sebagian akan berfungsi juga sebagai penjual jasa-jasa pemerintahan kepada publik. Infrastruktur dan sarana itu misalnya adalah jaringan listrik, instalasi air bersih, bandara, pelabuhan dan beberapa lainnya. Artinya, untuk jenis infrastruktur dan sarana tertentu, dalam jangka panjang investasi yang dikeluarkan bisa dikembalikan dari pembayaran yang dikenakan kepada pengguna jasa.
Jakarta tidak masuk top 100 dunia untuk pemeringkatan kota inovasi. Jakarta hanya masuk peringkat ke-64 dari 66 kota di wilayah Asia. Jakarta hanya lebih baik dari Dhaka dan Kalkuta. Untuk kualitas hidup, Jakarta menempati peringkat ke-141, atau masih kalah dengan Manila yang menempati posisi ke-128. Posisi Jakarta tergolong lumayan untuk kota hijau, yakni disebut: “average“ bersama Bangkok, Beijing, Delhi, Guangzhou, Kuala Lumpur, Nanjing, Shanghai, dan Wuhan. Untuk pemeringkatan smart cities, Jakarta masih belum dianggap.
Berikut berbagai indikator yang digunakan dalam pemeringkatan kota di dunia.
Pemeringkatan “Quality of Life of Cities” menggunakan 39 indikator yang dikelompokkan dalam 10 kategori, yaitu:
- Lingkungan sosial dan politik (stabilitas politik, kriminal, penegakaan hukum, dll)
- Lingkungan ekonomi (regulasi mata uang, layanan perbankan. dll)
- Lingkungan sosio-budaya (kebijakan sensor, pembatasan kebebasan individu, dll)
- Sanitasi dan kesehatan (layana n kesehatan, penyakit infeksi, saluran pembuangan, penanganan limbah, polusi air, dll)
- Pendidikan dan sekolah (standar dan ketersediaan sekolah international, dll)
- Pelayanan dan transportasi publik (listrik, air, transportasi publik, kemacetan, dll)
- Rekreasi (fasilitas restoran, bioskop, olahraga, dll)
- Barang konsumesi (ketersediaan makanan/jenis konsumsi sehari-hari, mobil, dll)
- Perumahan (hunian, peralatan rumah tangga, furniture, layanan pemeliharaan, dll)
- Lingkungan alam (iklim, bencana alam)
Jadi, jika Jakarta masih bermasalah dengan sepuluh kategori tersebut maka kita belum bisa menuntut kualitas hidup seperti kota-kota yang masuk peringkat dunia. Jakarta memang masih kurang menyenangkan untuk ditinggali. Ini pendapat relatif sih, tergantung kitanya dalam menyikap geliat di Jakarta. Salah satu isu lain yang sangat penting adalah masalah kualitas lingkungan hidup yang semakin memburuk. Kita mungkin terbiasa dengan semburan asap pekat dari angkutan umum. Banjir pun seolah kejadian rutin di ibukota. Gedung perkantoran dan hunian warganya pun semakin menjulang. Jalan-jalan pun bersilangan dan bertingkat-tingkat pula. Ciliwung masih saja berair hitam pekat dengan sampah-sampah yang mengambang di permukaannya. Ruang publik dan ruang hijau terbuka pun semakin sulit ditemui. Fenomena penurunan kualitas lingkungan menjadi isu global, termasuk di kota-kota besar di dunia. Jika saat ini Jakarta tergolong biasa-biasa saja untuk peringkat kota hijau. Semoga ke depannya tidak tambah memburuk. Agar tidak menjadi mimpi buruk, tidak ada salahnya kita melihat indikator yang digunakan dalam pemeringkatan kota hijau, seperti terlihat pada gambar berikut,
Saat ini moment yang tepat bagi Bapak Jokowi untuk menjadikan Jakarta sebagai kota yang layak untuk kehidupan serta kota yang bisa membanggakan Indonesia. macet dan banjir sudah sangat tidak mungkin untuk bisa diatasi lagi. Sudah cukup lama pemimpin kita berencana dan berwacana, kini saatnya untuk segera aktion.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H