Adaptasi Kebijakan Baru ini nantinya tidak efektif menurunkan sesuai target pemerintah apa yang harus dilakukan, Jokowi sampai ingin melibatkan militer dan kepolisian untuk menertibkan pelanggaran, namun faktanya di lapangan tidaklah demikian saya menyaksikan sendiri bagaimana masyarakat sudah abai dengan protokol kesehatan duduk berdekat-dekatan di pusat keramaian, menanggalkan masker sesuka hati, tidak mencuci tangan, dan lain sebagainya.Â
Apakah ada tindakan tegas dari kepolisian dan militer? Sepertinya banyak kecolongan dan pembiaran yang dilakukan. Entah karena sudah jemu dan bingung dengan kebijakan yang dicanangkan atau karena komando pun tidak didapatkan secara jelas dari pimpinan yang pasti adaptasi kebiasaan baru sekarang tak ubahnya seperti keadaan lama yang normal.
Saya membayangkan mengapa pemerintah misalnya tidak menginstruksikan siaran seragam seperti kampanye ruang guru di setiap stasiun televisi dan media massa lainnya di Indonesia pada jam-jam utama (primetime) menyiarkan dokumentasi ataupun liputan yang menjelaskan secara akurat dan faktual mengenai bahaya pelanggaran protokol kesehatan serta cerita pengalaman oleh para penyintasnya, disisipi juga informasi yang bisa jadi membuat psikologis masyarakat untuk jera bersikap abai dan menganggap pandemi adala sekadar gurauan.
Di linimasa media sosial pun harusnya dapat dipenuhi dengan himbauan untuk terus menerapkan protokol kesehatan meski ditengah adaptasi kebiasaan baru, alih-alih memberikan uang kepada influencer untuk membela kebijakan pemerintah mengapa tidak mereka dibayar untuk menghimbau tentang penegakan protokol kesehatan dan edukasi bahayanya pandemi ini jika terus terjadi.
Bisa juga misalnya pemerintah mengadakan kegiatan kreatif seperti kuis ataupun perlombaan virtual yang bertujuan untuk memberikan edukasi ke masyarakat tentang bahaya pelanggaran protokol kesehatan. Tidak perlu mahal tetapi dapat menyampaikan pesannya secara efektif.
Presiden dan jajaran harusnya juga membuat aturan yang jelas satu payung dan tidak membingungkan. Di Korea Selatan setiap daerah tidak bisa sembarangan membuat aturan tertentu namun perlu pertimbangan dari pusat untuk penanganan pandemi, hal ini didukung juga karena teknologi informasi yang sudah sangat canggih diterapkan di Negeri Ginseng tersebut.Â
Selain itu juga semua informasi terkait penanganan Covid-19 dan data-data pendukungan bisa disampaikan secara terbuka tidak ditutup-tutupi hanya karena taruhan reputasi nama. Berbeda dengan di negeri kita yang hanya menyampaikan berita baiknya saja dan tidak terbuka namun abai dengan risiko setelahnya.
Pemerintah juga kiranya perlu membuat sanksi yang tegas bagi para punggawa di unsur pemerintahan yang kerap tidak seragam dan simpang siur dalam penanganan Covid-19, jika perlu minta pihak terkait meminta maaf secara terbuka agar mendapatkan sanksi sosial yang jelas jangan seperti saat ini terus berulang seperti tidak memiliki rasa malu.Â
Di negeri Jepang misalnya jika ada pejabat yang merasa kebusukan atau kebohongannya terbongkar akan sukarela mundur dari jabatannya dan menyampaikan permintaan maafnya secara terbuka.
Sanksi bagi para pelanggar protokol kesehatan pun harus memberikan efek jera namun tetap memperhatikan protokol kesehatan. Aksi kreatif dengan membersihkan jalanan, disiarkan namanya di media massa, membayar denda, pencabutan izin usaha untuk pelaku bisnis dan sebagainya perlu menjadi alternatif bagi pemerintah baik pusat dan daerah.Â
Namun ingat sanksi yang justru dapat menimbulkan kluster baru penyebaran virus seperti memasukkan para pelanggar ke dalam peti mati yang sama berulang ulang yang bisa jadi menyebarkan virus ataupun juga menyuruh mereka bersama-sama berkumpul di dalam mobil ambulans yang tertutup adalah sebuah bentuk kebodohan alih-alih memberi efek jera justru menimbulkan korban jiwa.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!