Meng-Indonesikan Indonesia adalah mengembalikan muruah semangat utama bangsa yang terkandung dalam Pancasila. Di tengah era globalisasi dan modernitas kehidupan kita saat ini.
Budaya dan hal-hal lain yang berbau asing tidak selalu positif dan dapat diadopsi di Indonesia. Disadari maupun tidak hal tersebut dapat menjadi penghalang bangsa kita untuk berkembang dan maju. Contoh kecilnya saja adalah betapa banyak dari kita yang sangat bangga mengenakan merek luar dibandingkan mereka lokal yang notabene tidak kalah kualitas dengan merek luar negeri tersebut. Bahkan harus kita ketahui banyak juga dari merek luar tersebut diproduksi oleh industri dalam negeri kita.Â
Moto cintailah produk dalam negeri nampaknya penting di tengah kondisi saat ini. Dengan membeli produk dalam negeri kita membantu untuk roda perekonomian kita berputar kembali dan pada akhirnya dapat mendorong indikator ekonomi kita ke arah yang lebih positif. Hal ini sejalan dengan semangat masyarakat kita yang suka bergotong royong
Contoh lainnya adalah kemampuan berbahasa Indonesia kita yang semakin menurun. Ya, memang benar bahwa bahasa komunikasi internasional seperti bahasa Inggris menjadi sebuah kewajiban untuk bersaing di tengah zaman yang semakin tanpa batas saat ini. Namun, memahamai dan bertutur dengan bahasa ibu secara benar adalah wujud kita untuk melestarikan akar berbangsa kita.Â
Tidak perlu jauh melihat kurangnya perhatian terhadap bahasa ibu kita, istilah berbahasa Indonesia yang sering salah kita temukan seperti penulisan "atlit" yang seharusnya "atlet", ataupun "apotik" yang seharusnya "apotek", atau mungkin lebih sering menggunakan kata "snack" untuk penganan, ataupun mungkin berapa banyak anak-anak usia dini yang lebih fasih bertutur dengan bahasa asing lalu bingung dan canggung berbahasa Indonesia dikarenakan didikan orang tua yang terlalu mengistimewakan bahasa asing.
Belum lagi isu sosial yang semakin menjauhkan kita dari nilai pancasila seperti konflik di antara kita karena suku, rasa, agama, pilihan politik dan lain sebagainya. ALih-alih memegang nilai persatuan Indonesia kita semakin terjebak pada sekat-sekat status dan pilihan lalu lupa atas cita-cita besar bangsa ini.
Kedua adalah bagaiman mengubah pola pikir masyarakat menjadi pola pikir positif, optimis, dan solutif.Â
Di zaman yang semakin cepat dan ekspos media massa yang besar, saat ini kita cenderung digiring menjadi bangsa yang masih sering pada pola "blamer", bukan "problem solver".
Lebih jauhnya hal tersebut sering dicontohkan oleh para pemimpin kita yang kehilangan rasa malu untuk meminta maaf ataupun mengakui kekurangannya dan mencari kambing hitam atas segala permasalahan bangsa.Â
Kita semakin hari semakin sering menjadi orang-orang yang menyalahkan pihak tertentu atas berbagai macam masalah yang terjadi dan lupa akan andil kita untuk menyelesaikan masalah tersebut ataupun setidaknya memberikan saran dan solusi penyelesaian. Meski kita harus paham bahwa koreksi dan kritik yang membangun perlu juga menjadi penyeimbang bagi keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara.
Kita layaknya perlu belajar semangat orang Korea Selatan, ketika 1997 di mana atas permintaan pemerintahnya seluruh masyarakat Korea dari berbagai kalangan dengan suka rela mengumpulkan emas simpanan mereka dalam rangka untuk membantu pemerintahnya membayar hutang negaranya kepada IMF tanpa saling menyalahkan atau berkomentar fokus berduka atau membuat suasana semakin memburuk.Â