Kamu seorang aktivis kampus yang sudah makan asam garam aksi, diskusi, dan rapat berjam-jam sampai lupa makan. Setelah bertahun-tahun jadi motor penggerak segala isu---mulai dari kenaikan uang kuliah sampai hak buruh---akhirnya kamu lulus.Â
Gelar di tangan, toga dipakai, foto di depan rektor, lalu kamu balik ke rumah dengan pikiran, "Okay, what's next?" Setelah semua idealisme yang kamu bela di kampus, kamu berharap dunia luar akan menyambutmu dengan tangan terbuka. Kamu kira orang akan berlomba-lomba menawarkan pekerjaan padamu yang keren ini.
Spoiler alert: dunia tidak sesimpel itu, kawan.
Sesampainya di rumah, kenyataan segera menghantam.Â
Orang tua bertanya, "Kamu mau kerja apa sekarang?" Sementara teman-teman mulai sibuk melamar pekerjaan di perusahaan multinasional, kamu yang aktivis ini mungkin mikir, "Gila, apa iya gue harus ikut mereka? Ini kan bukan gue banget." Kamu melihat lowongan pekerjaan yang butuh lulusan dengan pengalaman tiga sampai lima tahun, sementara pengalaman kamu ya itu---organisasi, aksi, demo. Lalu, tiba-tiba kamu sadar: freelance politik adalah satu-satunya jalan.
Kalau ditanya tentang aktivis, pasti gambaran umum di kepala orang adalah mereka yang selalu berada di garis depan---yang berani lantang teriak soal ketidakadilan, yang rela begadang demi menyusun kertas kerja untuk advokasi kebijakan.Â
Aktivis itu, bagi sebagian orang, ibarat pahlawan tanpa tanda jasa (atau tanpa gaji?). Mereka bergerak atas dasar hati, idealisme, dan kadang, cinta buta pada perubahan.
Tapi, sayangnya, idealisme tidak bisa bayar listrik dan beli Indomie, bro. Meskipun kamu rela teriak-teriak di jalanan sambil panas-panasan demi menolak kebijakan pemerintah, tagihan bulanan tidak bisa ditolak, apalagi ditunda. Di sinilah kemudian kamu mulai merenung: "Wah, kalau begini terus, lama-lama gue ngikutin takdir jadi beban keluarga."
Freelance politik datang sebagai solusi: kamu tetap bisa melanjutkan idealisme tanpa harus makan Indomie tiap hari. Di satu sisi, kamu tetap bisa terlibat dalam kerja-kerja advokasi, kampanye, dan bahkan berkontribusi pada pemenangan seorang calon yang mungkin sejalan dengan pikiranmu (atau, setidaknya, dompetmu).Â
Yang lebih seru lagi, kamu tidak perlu terikat pada satu institusi atau partai politik tertentu. Kamu bisa bermain di banyak lapangan---asal, tentunya, kamu pintar-pintar jual diri.
Dalam politik, ada pepatah yang bilang: "Tidak ada musuh abadi, tidak ada teman abadi. Yang ada hanya kepentingan abadi." Nah, itu sama juga buat para freelancer politik.Â