Mohon tunggu...
Adrian Susanto
Adrian Susanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - aku menulis, aku ada

pekerjaan swasta

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mempersoal Pasal 597 dan Pasal 503 RKUHP

16 Oktober 2019   06:36 Diperbarui: 16 Oktober 2019   07:39 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Salah satu pasal kontroversial dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) adalah soal pemerkosaan istri oleh suami. Dalam RKUHP, tindak pidana ini terdapat dalam pasal 597, yang terdiri dari 2 ayat (khususnya ayat 2). Berikut ini adalah kutipan ayat dari pasal kekerasan seksual suami istri.

(1) "Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangganya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling sedikit kategori IV dan paling banyak kategori VI."

(2) "Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya, tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami atau istri."

Pertama-tama perlu dipahami bahwa pasal ini masuk dalam delik aduan. Artinya, tindakan pidana pemerkosaan suami terhadap istri, atau sebaliknya, baru dapat diproses jika ada laporan dari korban kepada pihak aparat hukum. Akan tetapi, sekalipun demikian, banyak orang menentang dan menolak pasal ini.

Setidaknya ada 3 alasan penolakan tersebut. Pertama, bahwa masalah hubungan seksual yang terjadi di antara suami istri merupakan urusan pribadi, terlepas apakah hal itu pemaksaan atau tidak. Pengaturan masalah hubungan seksual dalam RKUHP dilihat sebagai bentuk intervensi negara yang berlebihan.

Alasan kedua berangkat dari pandangan budaya patrilineal. Dalam masyarakat yang berbudaya patrinileal, perkawinan dilihat sebagai bentuk "pembelian" wanita oleh pria. Dengan kata lain, ketika seorang pria menikahi seorang wanita, ia menyerahkan mas kawin, yang dilihat sebagai bentuk "pembelian".

Jadi, dengan menyerahkan mas kawin kepada keluarga pihak perempuan, seorang pria telah membeli wanita tersebut. Dan karena dia sudah membeli, maka dia dapat melakukan apa saja yang disukainya, termasuk dalam urusan seks.

Sedangkan penolakan dengan alasan ketiga berangkat dari ajaran agama, khususnya agama islam. Mempidana suami yang memperkosa istri, bagi umat islam dapat dilihat sebagai bentuk penghinaan agama islam. Karena agama islam membolehkan seorang suami memperlakukan istrinya sesuai kehendaknya, termasuk dalam urusan seksual. 

Allah SWT telah berfirman, "Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dan dengan cara yang kamu sukai." (QS al-Baqarah: 223).

Karena itulah, islam mengajarkan bahwa seorang istri wajib melayani hasrat seksual suaminya jika diminta, tak peduli apakah dia suka atau tidak, setuju atau tidak. Jika seorang suami mengajak istrinya ke atas ranjangnya, tetapi ia tidak mematuhinya, maka para malaikat akan mengutuknya sampai pagi. Hal ini didasarkan pada Hadis Sahih Bukhari dan Muslim.

Jadi, pasal pemerkosaan suami terhadap istri menemukan masalahnya dengan umat islam. Dalam ajaran islam, seorang suami dapat melakukan hubungan seks kapan saja, sementara istri wajib melayaninya. Tidak ada pemerkosaan, karena semuanya sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Al-Qur'an sudah berkata, "Taatlah kepada Allah dan rasul-Nya, jika kamu adalah orang-orang beriman." (QS an-Anfal: 1).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun