Setelah kematiannya, Jumat (29/07/2016) lalu, Freddy Budiman, terpidana mati kasus narkoba, masih menyisahkan persoalan. Pengakuannya kepada ketua KONTRAS, Harris Azhar, membuat kalangan kepolisian dan TNI gerah. Bukan tidak mungkin masih ada aparat lain yang belum disebut, seperti misalnya hakim, jaksa dan petugas bea cukai.
Pengakuan atau testimoni Freedy kepada Harris kemudian dibuka ke publik lewat media sosial. Hal inilah yang membuat aparat hukum itu seperti kebakaran jenggot. Tak mau semua mata rakyat tertuju kepada mereka, akhirnya 3 institusi, yang merasa diserang oleh testimoni itu, menggunakan senjata ampuh mereka, yaitu pencemaran nama baik. Dan korbannya adalah Harris Azhar.
Karena itulah, situasi negara ini menjadi runyam. Melihat fenomena ini, seorang mantan hakim, mengomentari Freddy Budiman, berkata bahwa Freddy Budiman hidup saja sudah bikin masalah, mati pun bikin masalah. Ini seakan-akan mau mengatakan bahwa Freddy Budiman adalah pribadi bermasalah, entah hidup entah juga mati.
Saya tidak tertarik dengan diskusi soal waktu atau media penyampaian testimoni itu atau juga soal isi testimoni itu sendiri. Saya lebih tertarik dengan substansi dari testimoni itu, yaitu adanya keterlibatan aparat dalam bisnis narkoba. Upaya 3 institusi mempidanakan laporan Harris membuat publik menilai bahwa aparat bersih dari narkoba, dan bahwa aparat tidak terlibat.
Ada juga yang merasa kaget mendengar pengakuan Freddy itu. Padahal perlu diketahui bahwa bisnis narkoba, kapan dan dimanapun, mempunyai 3 pilar utama. Tanpa ketiga pilar bisnis tersebut cepat atau lambat akan mati dengan sendirinya. Ketiga pilar itu adalah:
- Produsen dan pengedar
- Konsumen
- Beking
Tentulah kita sudah paham siapa saja yang termasuk pada pilar pertama dan kedua itu, sehingga tak perlu lagi dijelaskan di sini. Bagaimana dengan beking? Karena bisnis narkoba ini termasuk dalam kategori pelanggaran hukum, maka beking dari bisnis ini adalah aparat penegak hukum sehingga mereka tidak menemukan masalah hukum. Yang masuk di sini adalah Polisi, termasuk BNN (polisi khusus menangani narkoba), hakim dan jaksa. Di luar ini masih ada aparat lain lagi, seperti bea cukai dan tentara.
Mari kita belajar dari kisah gembong narkoba Amerika Serikat bernama Frank Lucas, yang kemudian diangkat ke layar lebar dalam film American Gangster. Frank Lucas mengembangkan bisnis narkobanya untuk wilayah New York. Bahan untuk produk narkoba Frank Lucas didatangkan dari Vietnam dengan menggunakan pesawat militer. Karena menggunakan kendaraan militer, tentulah benda-benda haram tersebut luput dari pengawasan, sehingga dapat masuk dengan bebas. Dalam proses bisnisnya pun, Frank Lucas mendapatkan dukungan dan perlindungan dari aparat penegak hukum, termasuk aparat khusus divisi narkoba.
Namun, ibarat pepatah mengatakan sepandai-pandainya tupai melompat suatu saat jatuh juga. Demikian pula halnya dengan Frank Lucas. Dia tertangkap, dan berkat pendekatan dari polisi yang menangkapnya, Frank Lucas mengeluarkan testimoninya tentang aparat yang ada di balik bisnis narkobanya. Karena itu, tak heran, akibat pengakuan Frank Lucas terungkap lebih dari tiga per empat polisi divisi pemberantasan obat bius di New York terlibat dan separuh dari polisi kota juga membekingi bisnis narkobanya.
Ini membuktikan bahwa tak mungkin bisnis narkoba ini terus lestari tanpa dukungan (baca: beking) dari aparat, bahkan aparat yang khusus menangani masalah narkoba ini. Kita terus menerus menyaksikan, baik di media elektronik, media cetak maupun media maya, aksi aparat menangkap atau membongkar jaringan narkoba. Akan tetapi, bisnis ini seakan tak ada mati-matinya. Ini bisa terjadi karena bekingan.
Karena itu, sangat aneh kalau masyarakat langsung mengambil kesimpulan dari tindakan polisi dan BNN memperkarakan Harris bahwa aparat kita bersih atau tidak terlibat. Sangat aneh juga kalau ada yang merasa kaget mendengarkan testimoni Freddy Budiman. Keterlibatan aparat dalam bisnis haram itu suatu keharusan, karena kalau tidak sudah lama bisnis narkoba hilang. Dan aneh juga ketika aparat memperkarakan laporan Harris; bukannya berterima kasih dan langsung bertindak.
Sekedar perbandingan, meski tidak sama persis, tahun lalu (April 2015) Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, menyatakan banyak oknum pejabat dan mantan pejabat yang terlibat dalam pencurian ikan. Diungkapkan bahwa modus mereka adalah dengan bereran sebagai perantara dan pelindung. Susi mengatakan bahwa oknum-oknum tersebut sering mengaku kepada para pencuri ikan kalau mereka dapat melindungi para pelaku illegal fishingkarena memegang jabatan ataupun pernah menjadi pejabat.