Mohon tunggu...
Adriansyah Putra Pratama
Adriansyah Putra Pratama Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Seorang Mahasiswa Hukum dari Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kasus Mutilasi Pertama di Indonesia dan Bagaimana Sanksi yang Diberikan?

14 Desember 2022   01:53 Diperbarui: 14 Desember 2022   02:05 1148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bicara mengenai tindak pidana mutilasi, sebuah kasus beku 23 November 1981 menjadi kasus mutilasi pertama yang terjadi di Indonesia. Ditemukan dua kotak kardus oleh dua orang satpam kantor PT. Garuda Mataram Motor di trotoar pada Jalan Jenderal Sudirman, Setiabudi, Jakarta. Kedua kotak tersebut dilaporkan kepada seorang polisi oleh kedua satpam tersebut, namun polisi tersebut tidak menanggapinya karena sedang sibuk mengatur lalu lintas, kemudian penemuan kedua kotak tersebut dilupakan. Kotak tersebut terus diletakkan di pinggir jalan hingga ditemui oleh dua orang pemulung yang sedang melintas. Kotak pertama saat dibuka berisikan sebuah jasad yang telah dimutilasi. Kotak pertama berisi daging manusia yang telah dipotong menjadi 180 potongan, termasuk organ-organ dalam. Kotak yang kedua berisi tiga belas tulang dan sebuah kepala. Kasus ini diberikan nama ‘Setiabudi 13’, alasan mengapa diberi nama seperti itu karena berdasarkan 13 potongan tubuh manusia yang ditemukan di daerah Setiabudi.

Meniurut Almarhum dr Abdul Mun’im Idris yang merupakan seorang ahli fohrensik dan sekaligus seorang legendaris dalam bidang forensik mengatakan bahwa dari hasil autopsi yang telah dilakukan terhadap korban, pelaku yang melakukan tindakan mutilasi ini merupakan orang yang sangat sadis. Pelaku tidak hanya memutilasi tubuh korban, tetapi menyayat seluruh daging tubuh korban dari tulangnya. Tim forensik pun sepakat bahwa pelaku yang melakukan hal ini merupakan orang yang sangat ahli dan bahkan pelaku diperkirakan lebih dari satu orang atau dapat dikatakan mereka bekerja dalam sebuah tim. Tim forensik memperkirakan pengerjaan dari tindakan mutilasi ini berlangsung selama 3-4 jam, di mana ahli forensik yang dapat dikatakan sebagai seorang profesional membutuhkan waktu sekitar dua jam hanya untuk membedah mayat, tidak heran ahli forensik mengatakan para pelaku merupakan profesional.

Setelah dilakukan pengidentifikasian korban yang dilakukan oleh tim forensik melalui sidik jari dan muka korban yang masih utuh, hasil yang ditemukan sangatlah mengejutkan bahwa tidak ditemukannya hasil apapun. Terdapat petunjuk yang lain dilihat dari kantong plastik yang digunakan oleh pelaku untuk membungkus potongan-potongan tubuh korban yang merupakan bekas bungkus buku. Plastik tersebut merupakan plastik sebuah toko yang terletak di Jalan Pasar Baru, Jakarta Pusat, sedangkan plastik yang lain merupakan plastik supermarket yang berada di dekat dengan Pasar Baru. Dengan petunjuk-petunjuk yang ada, polisi tetap tak berhasil menemukan para pelaku dan siapakah korban yang dimutilasi tersebut.

Selama proses identifikasi yang dilakukan, ratusan orang yang mengaku kehilangan keluarga ataupun keluarga datang. Hal aneh lain terjadi bahwa orang-orang yang mengaku kehilangan kerabat tersebut tidak ada seorang pun yang mengenal dengan korban tersebut. Pada akhirnya korban dari kasus ini dikebumikan di TPU Tegal Alur, Kalideres, Jakarta Barat.

Setelah 40 tahun berlalu kasus ini pun belum terpecahkan, andaikan kasus ini terpecahkan terdapat dua pertanyaan yaitu bagaimana sanksi pelaku terhadap tindak pidana yang telah dilakukan oleh pelaku tersebut? Dan apakah para pelaku masih dapat dipidana atau tidak?

Untuk menjawab bagaimana pengaturan tentang bagaimana seorang pelaku tindak pidana mutilasi ialah bahwa tindakan mutilasi termasuk ke dalam Pasal 338 KUHP dan Pasal 340 KUHP, karena mutilasi memiliki dasar terhadap rangkaian kejahatan lanjutan dari tindak pidana pembunuhan. Dapat dikatakan sebagai rangkaian lanjutan adalah karena dari kasus ini bisa kita lihat bahwa si pelaku melakukan tindakan mutilasi ini memiliki maksud yang sangat jelas bahwa mereka ingin menunjukkan dendam mereka terhadap orang-orang melalui korban ini. Kasus ini lebih erat dengan Pasal 340 KUHP, karena tindak pidana mutilasi haruslah dilakukan dengan terencana. Pasal 340 KUHP sendiri berbunyi, Barang siapa dengan sengaja dan melakukan perampasan nyawa orang lain dengan terlebih dahulu membuat perencanaan, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun. Dapat kita simpulkan bahwa sanksi yang akan diberikan kepada pelaku terhadap kasus ini ialah hukuman mati atau penjara seumur hidup.

Mengenai apakah pelaku ditemukan sekarang di tahun 2022 dapat dipidana atau tidak, jawabannya ialah tidak. Alasan mengapa si pelaku tidak dapat dipidana karena berdasarkan ketentuan Pasal 78 ayat (1) angka 4 KUHP, bahwa masa kadaluarsa dari kasus pidana hanyalah selama 18 tahun. Dengan dijelaskannya pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa apabila pelaku tindak mutilasi dari kasus Setiabudi 13 ditemukan maka tidak akan terjadi apapun, karena kasus tersebut telah terjadi 40 tahun yang lalu. Apabila pelaku ditemukan pada rentang waktu 18 tahun tersebut, pelaku dapat diberikan sanksi berdasarkan Pasal 340 KUHP yang mana merupakan pemberian sanksi penjara seumur hidup atau hukuman mati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun