Mohon tunggu...
AD Putri
AD Putri Mohon Tunggu... lainnya -

Huruf terlihat lebih indah dibandingkan dengan angka

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mabok Mandarin English dan Singlish dalam Seminggu

12 Februari 2014   16:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:54 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik



Cina itu dimana mana. Itulah pepatah yang pernah saya dengar bahkan sejak saya kecil. Kelas satu SMP adalah pertama kalinya saya bilang pada diri saya bahwa saya ingin tinggal di Shanghai selama, uhm… mungkin cukup 6 bulan saja. Sedangkan Mongolia, negeri yang hampir tak terdengar gaungnya. Sayangnya saya tidak pernah menjumpai satu orang Mongolian sampai sekarang. Ketertarikan saya tetap pada Mongolia tetapi saya sedikit mengubah arah. Mongolia, saya hanya bisa memandangi lewat internet sedangkan Cina adalah kebudayaan yang dekat dengan kultur Indonesia. Saya masih bisa bersentuhan secara langsung dengan kebudaan Cina karena saya juga tinggal di lingkungan peranakan Cina. Beranjak SMA, Nilam yang  sudah saya anggap seperti saudara saya sendiri, kami bukannya mendengarkan pelajaran yang disampaikan oleh guru tapi malah asyik mencoret coret buku untuk menentukan titik temu kami ketika mengunjungi Asia Timur. Ia sangat mengagumi budaya Jepang dan saya lebih tertarik ke Cina dan Mongolia. Saya ingin belajar Mandarin sekaligus merasakan sendiri bagaimana tinggal di negara Tirai Bambu dan negeri para penakluk tersebut. Saya sampai menggambar peta dan bilang “kita akan ketemu di Tokyo setelah saya menjelajah Shanghai dan Ulan Bator”. Kenangan masa putih abu abu yang tidak akan pernah saya lupakan.

Jason Hu adalah seorang publisher yang tinggal di Shanghai. Ia bercerita bahwa Shanghai adalah kota besar dengan kurang lebih 24 juta penduduk. Bisa dibayangkan betapa sumpeknya sebuah kota dijejali dengan begitu banyaknya manusia dan gedung gedung pencakar langit. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya saya menjumpai orang Cina yang fasih berbahasa Inggris. Jujur, bisa dibilang pronounciationnya excelent. Nilai 8 untuk Mr. Hu. Saya takjub karena biasanya teman teman Cina (kecuali Singaporean, Hong Kong dan Chinese born Abroad) yang pernah saya jumpai tidak pernah sebagus beliau. Jason juga orang yang sangat menyenangkan karena ia mau diajak berkomunikasi dan diajak berbicara tentang hal apapun.

Pertanyaan penting saya untuknya adalah : How Chinese make a name to their children. Sudah sejak dulu saya penasaran pembentukan nama Cina. Jason menjelaskan bahwa orang Cina biasanya mempunyai dua sampai empat suku kata. Akan tetapi kebanyakan orang Cina mempunyai dua sampai tiga kata saja. Ketika Jason menanyakan nama saya, ia begitu takjub karena nama saya dianggap terlalu panjang. Mr. Ng, salah satu warga negara Hongkon juga berujar bahwa Ng ada Hongkong tetapi Cina daratan tidak mengenal kata “Ng”. Kenalan saya lainnya bernama Yi (dibaca: Ye) yang artinya hidup. Sebuah nama yang cantik. Teman saya yang bernama Vina diberi nama cina oleh Jason, Wei Na yang berarti cantik. Jason sebenarnya juga memberi saya nama, tapi bodohnya catatan saya yang berisi banyak hal tentang negara dan aksaranya hilang. Bodoh.

Ia seorang Atheis. Di negeri Cina yang menganut sistem komunis, agama bukan sebuah hal penting. Komunis berarti tidak mengakui adanya agama. Akan tetapi masih ada orang orang yang memeluk agama seperti muslim, Kristen, Katolik, Kong Hu Cu dan lainnya di sana. Kontras dengan Indonesia, dimana rata rata orang disini memeluk agama tertentu bahkan pada jaman Presiden Soeharto orang orang seolah olah diwajibkan beragama. Jason sempat penasaran tentang apa yang saya anut. Saya lalu menjelaskan tentang apa yang saya percayai.

Isu anak adalah hal yang krusial untuk orang Cina. Jason hanya mempunyai seorang anak perempuan. Ketika saya tanyakan bagaimana perasaannya mengenai kebijakan pembatasan anak yang berlaku di negaranya, ia menjawab dengan sedih. Sebenarnya ia ingin mempunyai seorang anak lagi karena ia kasihan dengan anak perempuan satu satunya. “kasihan anak saya kesepian”. Namun apa daya, kebijakan negara harus tetap dijalankan. Begitu seriusnya Cina mengadopsi cara Keluarga Berencana ala Indonesia, bahkan bisa dibilang ekstrim. Di berita, kita sering mendengar banyak anak yang dibuang karena orang tua ‘kelebihan anak’. Pemerintah Cina memang memberlakukan kebijakan satu anak satu keluarga untuk menekan jumlah penduduk yang membludak setiap tahunnya.

Sementara istrinya pergi bekerja dan selama mereka berdua tidak ada di rumah, putrinya akan diasuh oleh neneknya. Wanita di Shanghai, seperti layaknya wanita di kota kota besar lainnya berkedudukan sama seperti suaminya. Mereka diijinkan bekerja meskipun sudah ada suami yang bertugas untuk bekerja di luar rumah.

Saya memintanya untuk menceritakan mengenai kebudayaan di negaranya. Ia bercerita tentang Forbidden City yang dinamakan begitu karena pada jaman dahulu memang dikhususkan untuk kaisar dan keluarganya serta terlarang untuk masyarakat umum. Kemudian juga tentangBarongsai, seni asli dari Cina daratan yang dinamakan Wu Long. Jason menjelaskan bahwa barongsai tidak bisa ditemui sewaktu waktu karena hanya ada pada event tertentu saja seperti pada acara tahun baru. Sepertinya hal tersebut sama halnya di negara ini. Walaupun barongsai ada di Indonesia, tidak setiap waktu juga para pemain memainkannya. Hanya ketika ada even kebudayaan, keagamaan atau ada pertunjukkan saja. Intinya tidak setiap hari kita bisa melihat. Barongsai dan kebudayaan Tiongkok bahkan sempat dilarang di jaman presiden kedua dulu. Tapi sekarang, semua sudah bebas melakukan pentas kebudayaan tidak terbatas pada suku, agama maupun ras.

Ada juga profesor nyentrik dari Taiwan yang begitu ceria bertemu dengan saya. Kami beberapa kali bertemu dan selalu saja kami heboh sendiri ketika berpapasan. Seperti teman lama, padahal kenal juga baru saja. Sayangnya saya lupa siapa namanya karena ia tidak menyebutkan international name nya. Ia mengenalkan diri dengan aksen yang sulit untuk diingat. Di hari terakhir kami bertemu, ia memberiku kartu pos bergambar Bruce Lee. Ia menyalamiku dan melambai pergi, lagi lagi dengan heboh.

Eugene Wong dan Marisa, dua orang dari Malaysia juga sempat berbincang bincang selama seharian dengan saya. Mereka berdua tidak terlalu beraksen mandarin, bahkan mendekati American English. Mereka berdua menguasai tiga bahasa. Bahasa Inggris, Mandarin dan Melayu. Wajib untuk belajar Melayu di negara kami, begitu mereka berujar. Setiap bercakap cakap, keduanya menggunakan bahasa gado gado. Artinya, mereka tidak hanya menggunakan bahasa Inggris saja. Tidak jarang Mandarin tapi terkadang Melayu juga digunakan. Seperti halnya mereka, dalam keseharian pun saya menggunakan bahasa gado gado : Jawa, Indonesia, Inggris.

Eddy Tong, seorang warga negara Singapura datang berkunjung ke Indonesia dalam rangka tugas yang harus ia selesaikan. Dia membetulkan ucapan saya yang mengucapkan “cao an” yang artinya selamat pagi. Orang Singapura, bahasa Inggrisnya jangan pernah ditanya. Sempurna, dengan sedikit aksen mandarin. Itulah yang bisa dikatakan. Satu hal yang saya suka dari mas mas imut dari negeri tetangga ini : dia sangat tepat waktu. Jika sudah janjian dengan orang lain pada pukul 1, maka ia akan datang paling tidak lima menit sebelumnya. Ia sangat menghargai waktu. Yeah, beda dengan Indonesia yang biasa  dengan jam karet. Kadang saya berpikir kapan saya bsia mulai untuk menghargai waktu dan tidak lagi terlambat dalam hal apapun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun