Di suatu siang di bulan Maret, Danang, seorang teman yang sangat menyukai kebudayaan negeri Sakura menculik saya untuk ikut sesi pernikahan jepang. Ups.. bukan karena saya akan menikah. Tapi karena pernikahan merupakan bagian dari kebudayaan yang tentunya sangat menarik, maka saya datang ke sesi tersebut. Seperti halnya indonesia, Jepang mempunyai banyak aturan dalam penyelenggaraan pernikahan. Inilah yang ingin saya ketahui.
Kebanyakan laki laki menikah pada umur 30 tahun sedangkan perempuan pada usia 29 tahun. Di negara kita, usia pernikahan cukup bervariasi. Masyarakat pedesaan rata rata akan menikah di usia muda (bisa dibawah 20 tahun) dan masyarakat yang berada di perkotaan akan memilih untuk tidak terlalu cepat menikah. Biasanya, pasangan pengantin Jepang akan membuat perjanjian pra pernikahan. Agama adalah salah  satu hal yang tidak ditulis surat perjanjian tersebut karena agama dianggap bukan hal krusial untuk dipertimbangkan. Wanita yang baru saja bercerai tidak boleh membuat surat pra perjanjian pernikahan sampai enam bulan usai perceraiannya. Bisa dibilang, masa idah wanita jepang adalah enam bulan.
Pada saat pertunangan, laki laki memberi pakaian untuk mempelai perempuan. Sedangkan prosesi berganti pakaian dalam pernikahan disebut oironaoshi. Saya jadi ingat ketika menghadiri pernikahan saudara jauh saya, mempelai berganti pakaian hingga beberapa kali. Tapi sayangnya saya tidak tahu apa nama prosesi berganti pakaian dalam pernikahan adat Jawa yang pernah saya lihat itu. Mempelai laki laki Jepang menggunakan obi yang didalamnya terdapat katana. Sama halnya seperti penggunaan keris pada upacara pernikahan di beberapa daerah di Indonesia
Sebelum menikah, penentuan hari pernikahan penting untuk dilakukan. Hari yang paling bagus untuk pernikahan adalah taiyan. Hari yang paling jelekfutsumetsu. Saat hari tomobiki tidak boleh untuk memakamkan orang. Untuk tahu apa itu taiyan dan futsumetsu tentu harus bertanya kepada orang yang lebih pintar. Sebagian orang Indonesia juga akan memilih hari baik untuk melangsungkan pernikahan. Daun sakaki juga harus disiapkan untuk dipersembahkan di hari pernikahan pada Sang Pencipta.
Tidak seperti di Indonesia, di beberapa suku, durasi rangkaian pernikahan bisa memakan waktu berjam jam hingga berhari hari, prosesi pernikahan Jepang hanya memakan waktu dua sampai tiga jam.
Tradisi nyumbang pun juga ada di Jepang. Tamu undangan akan memasukkan uang pada amplop yang bertuliskan nama tamu tersebut. Uang melambangkan rasa syukur dan harus dimasukkan ke dalam amplop sebagai bentuk kesopanan. Kipas melambangkan kehidupan yang semakin banyak relasi. Rumput laut melambangkan kebahagiaan. Jumlah uang ditulis dengan huruf kanji Cina kuno dan juga tidak boleh berjumlah genap sebagai simbol pencegah perceraian. Jumlah uang yang genap menyimbolkan sesuatu yang bisa dibagi padahal harapan pernikahan adalah tidak akan ada kata berpisah sampai maut datang menjemput.
Oh, ya, amplop tidak boleh tertukar. Salah memilih amplop bisa menimbulkan perasaan sedih bagi mempelai dan keluarganya. Amplop warna warni untuk pernikahan sedangkan amplop yang berwarna hitam putih untuk kematian. Cara ikat juga mempengaruhi amplop yang ditujukan. Lipatan amplop pernikahan ada di atas sedangkan lipatan untuk amplop belasungkawa menuju ke bawah.
Pantangan yang tidak boleh dilanggar antara lain tamu dilarang membawa gambar monyet (saru (monyet) : sayonara) dan barang pecah belah karena dianggap mendoakan pasangan agar cepat berpisah. Kebalikannya di negeri kita, seringkali tamu memberi hadiah berupa barang pecah belah seperti mangkuk dan cangkir lebih karena barang barang tersebut dianggap akan banyak bermanfaat bagi kehidupan mempelai. Selain itu siapapun tidak boleh menggunakan kata kata yang menimbulkan sial seperti jatuh, terpeleset dll karena akan menjatuhkan keberuntungan.
Itu hanya sekelumit kecil prosesi yang bisa saya dapatkan. Saya bisa menarik kesimpulan bahwa terdapat persamaan antara Indonesia dan Jepang yaitu : keduanya sama sama masih percaya klenik. Tapi menurut saya itu patut untuk dipertahankan karena budaya tidak boleh dilupakan begitu saja. Meski jaman sudah modern, tidak ada salahnya untuk tetap memegang teguh budaya nenek moyang selama itu baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H