Dalam beberapa tahun belakangan ini, para Pegawai Negeri Sipil (PNS) dari berbagai instansi, kementerian dan berbagai lembaga pemerintah lainnya sedang menikmati konsep remunerasi sebagai salah satu aspek dalam agenda Reformasi Birokrasi. Remunerasi yang diartikan secara harfiah adalah sebagai tambahan penghasilan yang diperoleh oleh seorang PNS, tentara ataupun jaksa, dengan berbagai skema dan model yang ada, di luar dari gaji pokoknya. Artinya, gaji remunerasi ini ingin memperbaiki mekanisme penghasilan dan pendapatan seorang PNS dari berbagai level, baik yang di golongan bawah yaitu I/a hingga paling tinggi golongan IV/e. Namun demikian, menurut perencanaan pemerintah, mekanisme ini tidak serta merta dapat diimplementasikan untuk seluruh PNS, karena harus menyesuaikan anggaran negara. Ke depan, pemerintah beranggapan bahwa remunerasi ini akan bisa dilaksanakan oleh seluruh instansi.
Pertanyaan kritis muncul: mengapa remunerasi itu ada? Agenda reformasi birokrasi adalah jawaban dari adanya remunerasi itu. Salah satu tuntutan dari reformasi adalah perbaikan struktur dalam birokrasi kita. Birokrasi kita dikenal pada jaman Orde baru sebagai aparat yang penuh korup, tidak efektif bekerja, SDM yang tidak mumpuni, mudah disetir oleh kepentingan politik penguasa dan juga pelayanan yang tidak berorientasi pada kepentingan masyarakat. Akibatnya, birokrasi kita pun tidak mampu mendorong banyak perubahan dan perkembangan ekonomi yang lebih dahsyat, malah sebaliknya terjadi penggerogotan anggaran negara yang diakibatkan tidak efektifnya roda birokrasi. Oleh karenanya, agenda reformasi birokrasi dimunculkan untuk membenahi persoalan-persoalan mendasar dalam birokrasi kita. Dan salah satu isu krusial yang penting adalah menyangkut rendahnya pendapatan seorang aparat negara yang memungkinkan ia dapat disuap dan melakukan tindakan-tindakan tidak terpuji lainnya. Maka, peningkatan penghasilan melalui mekanisme remunerasi yang berorientasi pada output dan pelayanan yang optimal adalah jawabannya.
Lalu, apa yang terjadi setelah remunerasi berhasil diimplementasikan? Apakah birokrasi kita sudah jauh lebih baik dalam pelayanan? Apakah aparat birokrasi kita sudah berubah dalam perilaku korupsinya? Apakah kinerja aparat tersebut sudah optimal? inilah pertanyaan-pertanyaan klise yang menarik kita lihat sama-sama.
Namun sebelumnya, bagi Anda yang belum mengetahui seberapa signifikannya sebuah remunerasi, saya akan beri sedikit ilustrasi yang bisa jadi tidak sama kondisinya dengan banyak kementerian atau instansi pemerintah lainnya. Andaikata seorang PNS baru golongan III/a yang bergaji pokok sekitar Rp.1,5 juta, maka remunerasi yang ia dapatkan adalah berkisar dua kali lipatnya atau sekitar Rp.3 juta. Artinya, ia akan mampu membawa pulang (take home pay) sekitar Rp.4,5 juta dalam sebulan. Ini sepengatahuan saya berdasar angka kira-kira, karena tidak sama kondisinya.
Oleh karenanya, bagi seorang PNS yang tinggal di Jabotabek, dengan bergaji sebesar itu, menurut saya, sudah dalam kondisi yang memadai untuk hidup tinggal di kota besar. Maka, saya hanya mengamini bahwa semakin banyak pemuda-pemudi yang berkarir sebagai PNS karena bergaji besar namun tuntutan pekerjaannya tidak terlalu besar. Pertanyaan-pertanyaan di atas nampaknya bisa dibuktikan dalam banyak kasus. Dalam pelayanan saja, masih banyak ditemukan kasus-kasus pelayanan publik yang tidak memuaskan (dalam banyak aspek) akibat kemampuan dan orientasi pelayanan para aparat belum sepenuhnya baik. Oknum-oknum di front desk ataupun bos-bos besarnya, masih berorientasi untuk mencari keuntungan dari transaksi-transaksi liar di luar kantor seperti yang dicontohkan oleh Gayus Tambunan dan kawan-kawannya yang lain. Di samping itu juga, temuan-temuan penyalahgunaan wewenang, ataupun manipulasi anggaran ataupun laporan perjalanan dan lainnya masih kerap ditemukan oleh KPK, meski instransi-instansi tersebut telah menerapkan remunerasi. Maka saya berkesimpulan bahwa remunerasi tidak serta merta mampu merubah perilaku aparat birokrasi kita yang secara mental dan kultur sulit melepaskan dari kungkungan korupsi.
Anda bisa bayangkan bahwa para CPNS dan PNS baru yang merupakan generasi baru PNS dengan penuh idealisme untuk membawa perubahan dalam struktur birokrasi kita, tidak akan mampu berbuat banyak perubahan apabila kultur dan perilaku korupsi masih begitu kuat dalam instansi yang bersangkutan. Malah sebaliknya, mereka akan dididik oleh seniornya untuk menanamkan mental korupsi baru dengan metode dan gaya untuk manipulasi yang lebih canggih. Kalaupun ada yang beranggapan bahwa potong generasi birokrasi untuk diberikan kepada yang muda-muda, saya tidak percaya itu. Karena di dalam birokrasi, pengalaman akan hal-hal teknis dan pengetahuan lapangan dari interaksi yang intensif tentu akan menghasilkan pemimpin birokrasi yang optimal. Orang muda di birokrasi tidak mudah dalam waktu cepat meraih itu. Kalaupun para PNS yang bertahan maka pilihannya hanya ada dua yang kontra satu sama lain: tetap menjaga rasa idealisme di tengah desakan-desakan dan gangguan korupsi atau ikut tergilas dan menjadi kader-kader baru yang mampu melanggengkan kekuasaan koruptif.
Lalu bagaimana jawabannya? Saya tidak bisa memberi alternatif jawaban yang pasti karena saya tidak mendalami ilmu birokrasi. Namun, saya percaya banyak orang-orang bagus di dalam birokrasi pemerintahan kita, penuh idealisme dan berdedikasi tinggi. Sayangnya, karena mereka ini adalah orang-orang yang marjinal dan tidak memiliki posisi-posisi yang strategis maka keputusan-keputusan yang baik dan berdampak positif bagi kemajuan birokrasi kita tidak akan terjadi. Apalagi suasana dan nuansa kolusi dan nepotisme dalam birokrasi kita juga masih sangat kental, karena kesamaan suku ataupun berasal dari universitas yang sama. Artinya saya ingin mengungkapkan bahwa apabila para pejabat-pejabat yang memiliki orientasi dalam pemberantasan korupsi, maka carilah orang-orang ini untuk bekerjasama dengan Anda untuk membuktikan komitmen itu. Jangan biarkan mereka tidak berkembang lantaran mereka dianggap aneh dan marjinal. Karena saya sangat percaya, birokrasi kita akan jauh lebih baik, tergantung para aparatnya sendiri, manakala sistem dan mekanismenya sudah lebih baik daripada jaman orde baru dahulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H