Mohon tunggu...
Adit P
Adit P Mohon Tunggu... -

seseorang yang tengah mengembara dalam pencarian ilmunya di negeri orang, Jerman...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Quo Vadis Keterwakilan Perempuan

23 Maret 2012   10:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:35 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menjelang Pemilu keempat setelah Reformasi, diskusi hangat kembali terjadi dalam isu keterwakilan perempuan.  Pemilu 2004 telah berhasil mencanangkan kuota 30 persen dalam pencalegan, Pemilu 2009 pun berhasil menguatkan 30 persen dalam mekanisme pencalegan di setiap daerah pemilihan dan Pemilu 2014 akan diarahkan pada kepatuhan dan sangsi bagi partai yang tidak bisa memenuhi itu. Namun demikian, di luar segala aturan hukum dan prosedur yang telah disepakati, persoalan ketersediaan perempuan yang mumpuni di partai politik masih menjadi ganjalan serius dalam mendukung gerakan afirmasi tersebut. Maka diskusi yang perlu diangkat adalah apa masalah dasar yang masih dihadapi oleh para perempuan yang berpolitik.
Gerakan keterwakilan perempuan
Bersamaan dengan agenda reformasi kelembagaan politik dalam periode 2000-2004 lalu, isu keterwakilan perempuan adalah bagian tak terpisahkan dalam agenda tersebut. Meski gerakan keterwakilan perempuan mampu mendorong adanya kuota 30 persen dalam pencalegan, namun diskusi dan refleksi dalam meilhat arah dan prospek isu keterwakilan perempuan di parlemen tidak dibahas secara serius. Adapun diskusi yang serius adalah menyangkut mekanisme nomor urut, posisi dalam daftar ataupun hal teknis terkait penghitungan suara. Sayangnya,  hal yang besar tentang visi apa yang ingin dicapai tidak tersampaikan secara jelas yaitu kapan Indonesia akan mampu mencapai 30 persen perempuan di parlemen.
Dalam periode selanjutnya, yaitu persiapan pemilu 2009, refleksi dari gerakan ini adalah mencari jalan yang lebih efektif dan jitu agar persoalan prosedural hukum keterwakilan perempuan diselesaikan. Ada dua cara yang ditempuh: pertama, memastikan bahwa kuota 30 persen juga dicantumkan dalam kepengurusan partai politik; dan kedua, memastikan bahwa penempatan caleg perempuan adalah 30 persen di setiap daerah pemilihan. Kedua cara ini berhasil. Meski para perempuan parpol sudah bersemangat untuk bertarung dengan sistem proporsional tertutup yang menjamin keterpilihan mereka, namun hal ini tidak terjadi dengan adanya keputusan MK tentang sistem proporsional terbuka.
Dalam periode DPR sekarang ini, meski jumlah perempuan di parlemen meningkat secara jumlah, namun sayangnya kebanyakan profil dari perempuan tersebut adalah berasal dari kalangan dinasti politik, pengusaha ataupun kelompok yang dekat dengan pimpinan partai. Saya merasa tidak heran karena ini dampak dari sistem pemilu dengan proporsional yang terbuka. Meski jumlah perempuan meningkat, namun kehadiran mereka secara kualitas untuk menjalankan fungsi-fungsi DPR yang efektif tidaklah terlihat sampai saat ini.
Masalah ketersediaan perempuan di parpol
Salah satu persoalan serius yang diungkapkan oleh para pengurus partai politik terkait dengan isu keterwakilan perempuan adalah minimnya ketersediaan perempuan yang berkualitas dan mumpuni.Para aktivis gerakan keterwakilan perempuan berusaha dengan keras meyakinkan para pimpinan partai yang berjenis kelamin laki-laki bahwa banyak perempuan yang potensial dengan cara penyediaan database perempuan potensial di partai dan kelompok masyarakat sipil. Sayangnya, pimpinan partai tidak memanfaatkan database itu secara serius dan juga memang tidak banyak kader perempuan yang memiliki kapasitas dan kemampuan yang memadai untuk menjadi anggota legislatif. Maka, desakan secara legal yang dilakukan dalam pemenuhan 30 persen di kepengurusan partai politik adalah sebagai usaha “memaksa” partai politik dan juga berbagai kelompok masyarakat lainnya untuk memikirkan hal tersebut.
Secara umum, akibat tuntutan hukum akan kuota 30 persen tersebut memang telah mendorong partai politik berusaha keras dalam memenuhi hal tersebut. Dalam pemilu 2004, meski jumlah caleg perempuan secara nasional adalah 30 persen, namun pada kenyataan keterpilihannya tidak memadai karena caleg perempuan ditempatkan di nomor urut bawah. Sedangkan dalam pemilu 2009, meski tingkat kepatuhan partai politik dalam pemenuhan 30 persen sudah jauh lebih baik dari pemilu sebelumnya, namun hasil yang dicapai belum seindah yang dibayangkan. Dan memang, bila diperhatikan secara rinci mengenai persoalan keterwakilan di setiap partai politik adalah sama yaitu; lemahnya kaderisasi perempuan di partai, lemahnya kapasitas perempuan yang menjadi pengurus partai serta masih belum kuatnya komitmen dalam mendukung keterwakilan perempuan di setiap partai.
Secara khusus, ruang politik yang semakin terbuka sebenarnya mendorong banyak orang yang memiliki potensi baik untuk bersedia menjadi caleg atau bergabung ke dalam partai politik. Pada saat yang sama, hampir semua partai membuka kesempatan itu. Namun sayangnya, ruang ini tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh para aktivis LSM, organisasi rakyat ataupun kelompok masyarakat lainnya. Sebagian dari mereka masih menganggap bahwa dunia politik yang nyata di parlemen ataupun partai adalah kotor dan tidak bernilai. Padahal di dalam arena politik kita dapat banyak berharap untuk memutuskan kebijakan-kebijakan demi kebaikan bersama. Kalaupun ada aktivis LSM dan Ornop yang memutuskan untuk ikut pemilu dan menjadi pengurus partai politik tidaklah banyak dan mereka pun belum mampu mempengaruhi masing-masing partainya secara signifikan.


Quo Vadis

Apa yang bisa dipelajari dari gerakan keterwakilan perempuan saat ini? Mengapa seakan-akan gerakan ini jalan di tempat dan berputar di tempat yang sama? Ada beberapa penjelasan yang mudah kita perhatikan. Pertama, gerakan ini terbangun dalam konteks yang tidak terpisahkan dari agenda reformasi kelembagaan secara menyeluruh. Sistem pemilu yang menjadi bagian agenda tersebut memang tidak didesain secara utuh untuk menjawab bentuk ideal keterwakilan politik. Maka, ketiadaan visi gerakan keterwakilan perempuan memang sebangun dengan uji coba sistem pemilu yang selalu bongkar pasang. Kedua, secara organisasi, gerakan ini memang eksklusif dalam arti bahwa tuntutan yang didorong oleh gerakan ini tidak secara sistematis mampu mendorong banyak perubahan mendasar di tingkat akar rumput. Memang benar bahwa tujuan utamanya adalah mencanangkan tindakan afirmasi yang terlembagakan, namun sayangnya tidak  adanya perencanaa bagi perlunya dukungan sistem untuk tercapainya tujuan dalam beberapa pemilu. Artinya, kalau refleksi gerakan menyatakan bahwa kurangnya jumlah perempuan yang potensial untuk menjadi caleg atau pengurus partai, maka seyogyanya perlu dipikirkan serius bagaimana mencapai pemenuhan itu untuk beberapa masa pemilu ke depan. Ketiga, fragmentasi berbagai kelompok masyarakat sipil juga menyebabkan adanya kesulitan untuk konsolidasi gerakan secara sistematis. Fragmentasi ini pun terbaca manakala minimnya jumlah para aktivis LSM ataupun Ornop yang memutuskan pindah dan tukar baju menjadi aktivis partai. Motivasi mereka bukanlah atas dasar desakan dan kesepakatan kelompok LSM ataupun Organisasi Rakyat, melainkan pilihan individual untuk melakukan kerja politik baru.
Apa yang bisa diharapkan? Secara pribadi saya hanya percaya bahwa pilihan politik yang terbuka ini seharusnya dimanfaatkan oleh berbagai kelompok masyarakat sipil. Pada saat yang sama saya juga berharap banyak bahwa meski tidak banyak para aktivis LSM yang memutuskan untuk menjadi pengurus partai dapat melakukan perubahan-perubahan kecil dan penting bagi partainya. Dalam konteks itu, maka seharusnya kita bantu dan dukung mereka secara penuh.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun