Jaman sekarang, orang sudah makin ’sadar dokumen’. Dikit-dikit butuh meterai.
Untuk apa saja?
Umumnya untuk dokumen perjanjian atau kuitansi pembayaran dan dokumen yang menyebut penerimaan atau terkait dengan uang dan bank.
Ada beberapa jenis meterai. Ada meterai tempel, ada meterai kertas (kertas segel), ada meterai tera (biasa digunakan di bank), dengan ketentuan yang berbeda mengenai cara penggunaannya tetapi intinya tetap sama, sebagai bukti bayar pajak ke negara.
Lho! Bukannya untuk syarat sahnya perjanjian toh? Bukan! Dokumen bermeterai itu dapat dijadikan bukti yang berkekuatan hukum kelak jika diperlukan dalam proses pengadilan. Untuk syarat sahnya perjanjian, ada ketentuan tersendiri dalam KUHPerdata.
Hmm...
Yang sering jadi permasalahan adalah ketersediaan meterai tempel. Seperti kita ketahui, kantor pos bukanya limited banget-banget, sudah kurang sesuai dengan jam buka kantor jaman sekarang yang jadi ’pasukan 85’ alias bukan jam 8, tutup jam 5.
Kemarin Sabtu siang saya sangat amat butuh meterai tempel. Ke kantor pos dah tutup. Akhirnya saya coba ke minimarket I, kosong, lalu ke minimarket A, dapet tapi mahalnyaaa...
Tarif bea meterai yang masih tertera Rp 6.000,- dijual Rp 7.300,-!
Lupa tanya, untuk yang Rp 3.000,- dijual berapa?
Sementara, dokumen perjanjian ditentukan harus pakai yang 6 ribu, bukan yang 3 ribu...
Mau ga jadi beli tuh butuh banget, mau beli koq ya mahalnya pakai banget. Kalau ’cuan’ alias untung 10% masih wajarlah. Kalau 20% lebih, waouw! Jadi pengen jual meterai tempel aja. Seperti IGD, seberapan akan dibeli, wong butuh!
Saya belum menemukan peraturan yang memuat larangan meterai tempel ini dijual jauh di atas harga nominalnya. Apa sanksinya. Sehingga minimarket A mengeluarkan struk penjualan meterai seperti penjualan barang biasa tanpa perlu merasa bersalah.
Yaaa...kalau mau, simpan setidaknya selembar meterai tempel di rumah atau kantor sewaktu-waktu butuh, deh!
Besar harapan saya, Pemerintah dapat meninjau kembali distribusi penjualan meterai tempel ini berikut harga jualnya. Hal ini mengingat di pemerintahan berikutnya, bisa jadi akan mengadakan penyesuaian terhadap harga meterai yang sudah bertahun-tahun tidak disesuaikan agar penerimaan pajak negara lebih meningkat.
Sekalian aturlah HET alias harga eceran tertinggi, seperti harga obat-obatan generik, karena meterai bukan barang eksklusif agar pedagang tidak suka-suka menetapkan harga jual meterai tersebut demi keuntungannya sendiri. Lebih baik harga disesuaikan demi kas negara daripada masuk kantong pengusaha yang memanfaatkan momen 'mendesak'.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H