Kemarin Bapak Boediono, Wakil Presiden RI menjadi saksi dalam kasus Bank Century. Disiarkan seharian secara life di beberapa stasiun tivi. Dan pasti diapresiasi sebagai warganegara yang baik, pemimpin yang layak diteladani sebagai taat hukum di negara hukum.
Mengapa Pak Boediono sampai duduk di kursi saksi hingga berjam-jam lamanya?
Keterangan Pak Boediono yang disumpah di atas kitab suci merupakan salah satu bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Mendengar keterangan saksi tidak dapat diprediksi atau dibatasi 1-2 jam selesai. Perlu detil, jelas dan akurat hingga Majelis Hakim menyatakan keterangan saksi sudah cukup.
Selainnya bisa diambil dari Keterangan Ahli, Surat dan Petunjuk serta Keterangan Terdakwa.
Mengapa Pak Boediono “ditunjuk” sebagai saksi?
“SAKSI” haruslah orang yang sehat jasmani dan rohani, dewasa, mengalami dan melihat serta mendengar sendiri mengenai perkara pidana yang didakwakan. Ia dibutuhkan kehadirannya untuk kepentingan penyelidikan di tingkat kepolisian, penuntutan dan di tingkat peradilan seperti Pengadilan Tipikor kemarin.
Mengapa “SAKSI” itu perlu banyak? Selain Pak Boediono, sebelumnya ‘kan sudah ada Pak JK dan Bu Sri Mulyani juga?
Tidak selalu harus berapa banyak orang jadi “SAKSI”. Menurut Pasal 185 KUHAP, terpenting harus lebih dari satu orang. Dan harus ada bukti lainnya seperti Keterangan Ahli atau Surat, Petunjuk atau Keterangan Terdakwa.
Apakah “SAKSI” harus disumpah? Atau boleh tidak disumpah?
“SAKSI” yang disumpah, keterangannya bisa jadi alat bukti. Seperti Pak Boediono kemarin. Saksi yang tidak disumpah, hanya dapat digunakan untuk tambahan keterangan dan pertimbangan Majelis Hakim saja.
Ada tersangka yang minta seseorang untuk jadi “SAKSI” tetapi “SAKSI” menolak. Apakah diperbolehkan?
Menurut Pasal 168 KUHAP, boleh, sepanjang ia adalah keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga terdakwa atau yang mempunyai atau pernah mempunyai hubungan perkawinan.
Anak di bawah umur 15 tahun dan belum pernah menikah serta orang sakit jiwa juga boleh menolak bersaksi (Pasal 171 KUHAP).
Apakah kesaksian Pak Boediono meringankan terdakwa? Apakah kesaksian Pak JK dan Bu Sri Mulyani memberatkan terdakwa?
Istilah keterangan saksi yang memberatkan atau meringankan biasanya dibutuhkan dalam perkara pidana.
Keterangan saksi yang memberatkan diajukan dan dihadapkan oleh jaksa/penuntut umum.
Keterangan saksi yang meringankan (a de charge) diajukan oleh terdakwa (seringkali dihadapkan atas usulan pengacara, misalnya keterangan saksi ahli) yang dapat meringankan tuntutan hukuman kepada terdakwa.
Bagaimana dengan saksi dalam perkara perdata seperti pengadilan agama untuk gugatan perceraian atau pengadilan hubungan industrial (PHI) untuk gugatan PHK?
Tahapan pembuktian di pengadilan setelah pemeriksaan bukti surat-surat adalah tahap menghadapkan saksi untuk kepentingan salah satu atau kedua belah pihak yang bersengketa.
Misalnya untuk gugatan perceraian dengan alasan ketidakcocokan. Perlu dihadirkan saksi dari suami atau istri untuk membuktikan apakah selama pernikahan berlangsung memang pernah mengalami dan melihat serta mendengar sendiri adanya pertengkaran yang hebat dan terus-menerus.
Bagaimana rasanya jadi saksi?
Entahlah. Saya tidak pernah jadi “SAKSI” atau menghadapkan saksi ke muka Majelis Hakim.
Tapi sepengalaman saya, ketika perusahaan saya bekerja dulu PT GRAHADHIKA SARANA PURNAJATI (“MIRACLE AESTHETIC CLINIC”) menggugat saya di PHI Surabaya, Perusahaan menghadapkan 7 (tujuh) orang saksi. Saya pribadi tidak pernah merasa perlu menghadirkan saksi.
Apakah Majelis Hakim harus menerima keterangan saksi? Atau boleh menolaknya?
Sepengalaman saya tersebut, ternyata seluruh keterangan para “SAKSI” yang diajukan oleh Perusahaan tersebut ditolak oleh Majelis Hakim dengan alasan teman2 saya yang bersaksi itu dinyatakan tidak memenuhi syarat sebagai saksi.
Menurut Pasal 171 HIR, “pendapat atau dugaan khusus yang timbul dari pemikiran, tidak dipandang sebagai kesaksian.”
Bagaimana jika “SAKSI” yang sudah disumpah di atas kitab suci berani bersaksi palsu?
Hal ini diatur dalam Pasal 242 ayat (1) KUHP dengan ancaman hukuman 7 tahun penjara.
Dalam hal perkara pidana, kesaksian palsu yang dapat merugikan terdakwa, maka “SAKSI” diancam hukuman 9 tahun penjara.
Ngeri-ngeri sedap nih jadi “SAKSI”! Bagaimana supaya tidak kena tuntutan hukum?
Berpikir dan berkata benar mengenai apapun yang kamu alami, lihat dan dengar sendiri mengenai peristiwa yang terjadi. Jangan berusaha menutupi atau merekayasa demi tujuan mengalahkan pihak lawan.
Tetaplah berdoa dan ingat sumpah di atas kitab sucimu adalah tanggungjawabmu sendiri kepada Sang Pencipta-mu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H