Sadar atau tidak, kita sebetulnya punya identitas diri. Segala penampilan, perilaku dan pola pikir kita unik dan berbeda dengan orang lain, sekalipun kembar. Kita bisa mirip – tapi bukan secara penampilan lahiriah – Jokowi atau Prabowo. Persepsi dan apresiasi orang lain yang membentuk siapa kita.
Personal Branding bagi seseorang yang belum dewasa secara mental tentunya masih bisa berubah tergantung arahan orangtua dan keluarganya, pengaruh teman atau idolanya. Menjelang usia dewasa, ketika kita sudah ‘mumpuni’ dan menemukan jati diri dan menentukan arah perjalanan hidupnya, di situlah kita mulai membentuk Personal Branding sendiri dengan lebih konsisten.
Personal Branding tidak mungkin bisa dibangun dengan kepura-puraan. Capek, dong kalau terus-terusan jadi orang lain demi pencitraan? Jokowi ya Jokowi. Prabowo ya Prabowo. Ya begitulah adanya.
Jokowi lebih suka naik sepeda, bajaj atau pesawat ekonomi daripada lexus, helikopter atau pesawat charter kecuali karena tuntutan waktu. Tentu karena lebih enjoy seperti itu, tanpa perlu pakai jas dan dasi. Bisa dekat dengan rakyat pendukungnya. Biasa bekerja keras dan berkeringat sih!
Personal Branding melekat pada diri seseorang yang diaktualisasikan di tempat kerja selama bertahun-tahun, bahkan bisa puluhan tahun. Itu mengapa saat ini para head hunter atau senior HRD juga menyelidiki calon kandidat karyawan hingga ke akun facebook, linkedin, atau jaringan sosial lainnya meskipun hal itu tidak cukup menjamin bagaimana kondisi sebenarnya dari sang calon karyawan.
Demikian halnya kita. Pilih presiden karena kita tahu track record-nya yang dibangun bukan sejak menjabat. Atau sejak rajin beriklan di tivi. Tapi jauh dalam sebagian besar perjalanan hidupnya.
Di awal kepemimpinan sebagai Walikota Solo, Jokowi menjadikan Solo sebagai ‘The Spirit of Java’. Mendatangkan ‘turis’ dengan cara membuat acara-acara berskala internasional. Pun ketika menjabat Gubernur DKI. Beliau juga mencirikan ke’betawi’an Jakarta bukan sebagai kota metropolitan seperti ibukota negara tetangga. Juga dengan mengadakan acara berskala internasional dengan mengundang berbagai negara kerajaan untuk menampilkan aneka budaya khas negara tersebut.
Pola perilaku lain dari Jokowi sebagai orang nomer 1 di Solo dan Jakarta more/less sama. Antara lain membenahi transportasi (Bus Batik Solo Trans, bus tingkat Werkudoro, Kereta Wisata Sepur Kluthuk Jaladara, Prambanan Express Train – Trans Jakarta), penyediaan atau renovasi RTH (ruang terbuka hijau : Taman Balekambang dengan fasilitas wifi – Waduk Pluit, Waduk Ria Rio, Waduk Tomang Barat, Waduk Rawa Bambon) serta renovasi berbagai terminal bus. Di mana ke-pura-pura-annya?
Personal Branding lainnya adalah, beliau ini cinta damai. Bukan tipe penyerang. Di-apa-apa-in koq ora opo-opo? Kadang bikin saya gregetan. Mungkin itu yang sebagian orang menganggap beliau cengengesan, tidak tegas.
Beliau turut mendamaikan keluarga Keraton Surakarta. Pun merelokasi pedagang barang bekas di Monumen 45 Taman Banjarsari dengan negosiasi melalui ‘meja makan’, makan dan makan hingga tepat waktunya mereka pindah secara ikhlas. Separah-parahnya ‘keributan’ memindahkan pedagang di jalan depan Pasar Tanah Abang, setidaknya tanpa kekerasan atau bahkan pertumpahan darah atau korban nyawa.
Soal Kartu Jakarta Sehat (KJS) dan Kartu Jakarta Pintar (KJP), sebetulnya bukan program baru. Beliau juga sudah pernah mengeluarkan program serupa. PKMS (Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Solo) dan Bantuan Pendidikan Masyarakat Kota Solo (BPMKS).
Personal Branding bisa dianggap berhasil ketika secara universal orang lain, negara lain, bisa menerima persepsi yang sama. Bukan dirinya sendiri lho yang menilai sebagai pekerja keras, jujur dan bersih serta sederhana.
Di dalam negeri, beliau mendapat penghargaan Bintang Jasa Utama (tertinggi bagi warga sipil) dari Presiden SBY karena beliau kepala daerah yang mengabdi kepada rakyat. Beliau juga dianggap pantas mendapat penghargaan sebagai Walikota Terbaik ke-3 dunia pada tahun 2013 lalu.
Belum pernah ada yang meng-amin-i beliau sebagai boneka atau pembohong dan memberinya boneka beruang atau pinokio. Ada banyak artis pendukung Jokowi tapi nampaknya belum ada yang meng-ekspose-nya plesir dengan artis. Kembali ke Personal Branding, juga perlu ‘jaim’ alias jaga image. Lebih hati-hati melangkah agar tidak terpeleset, agar brand yang kita bangun baik tetap jadi baik.
Personal Branding ini juga harus match dengan kebutuhan baliho-baliho di sudut-sudut jalan di Surabaya. Nongkrong pakai baju santai sambil senyum di taman. Bukan ber-jas dan dasi rapi. Haha…
Jika beliau dipercaya jadi Presiden RI, semoga hal-hal positif lainnya seperti pembangunan kampung deret, relokasi warga ke rumah susun dan membangun rumah sakit khusus pekerja maupun lelang jabatan mulai tingkat menteri juga akan beliau terapkan di seluruh daerah di Indonesia. Kerja nyata sudah ada hasilnya. Beliau memberi bukti, bukan janji.
Mau di-brand seperti apa diri kita sendiri, semuanya tergantung kita. Melalui tulisan kita, komentar kita, kita pun dinilai oleh orang lain….monggo…mana yang lebih pas?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H