Mohon tunggu...
Farida Chandra
Farida Chandra Mohon Tunggu... -

praktisi, pemerhati hukum ketenagakerjaan budidaya ikan lele dan pisang kepok pelestari dan usaha batik tulis madura

Selanjutnya

Tutup

Money

Hire for Attitude

25 Juni 2014   16:55 Diperbarui: 18 Juni 2015   09:02 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebentar lagi bulan puasa, lalu lebaran Idul Fitri. Di sela-selanya, bagi karyawan yang tercatat beragama Islam, akan menerima pembayaran THR dari perusahaan. Pada saat itu ada banyak juga perusahaan yang mem-‘bareng’kan pembayaran THR bersamaan bagi karyawan muslim-non muslim.

Sepengalaman saya, umumnya karyawan yang ingin berhenti akan menunggu pembayaran THR-nya dulu mengingat hal ini masih didasarkan pada masa kerja. Ga mau rugi karena di perusahaan baru, harus kerja 3 bulan dulu baru bisa dapat THR.

Bulan-bulan sekarang ini waktu yang pas untuk cari kerja lalu mengundurkan diri jika sudah dapat pekerjaan dan penghasilan yang dipandang lebih baik. Dan bulan-bulan ini pula bagian HRD akan sibuk cari tenaga kerja pengganti yang diharapkan juga sudah bisa masuk kerja setelah libur lebaran nanti.

Kini semakin banyak perusahaan menengah-atas yang meng-hire karyawan baru justru dengan NOL pengalaman. Mereka ‘menimba’ dan membibit sejak calon karyawan masih di SMK atau kuliah hampir selesai.

Mengapa?

Karena semakin banyak perusahaan khususnya yang sudah memiliki lembaga pelatihan menyadari, keterampilan serta pengalaman kerja itu dapat diajarkan secara bertahap kepada siapapun kandidatnya. Tapi tidak demikian halnya dengan sikap. Khususnya sikap yang sesuai dengan budaya perusahaan.

Sikap, umumnya masuk dalam program pelatihan. Justru ini sering jadi modul utama. Saat masa ‘karantina’, seorang calon karyawan nampak baik-baik saja. Tetapi ketika sudah diterjunkan dalam tim kerja, hasilnya bisa sangat berbeda. Konon prinsipnya ‘di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung’.

Mengapa?

Karena tim kerja yang saat ini sudah ada, belum dipsikotes ulang (asesmen). Mungkin ‘air’nya sudah mulai keruh sehingga harus di-cleaning. Di-refresh training mengenai attitude sehingga calon karyawan baru tidak mudah terkontaminasi. Menular.

Lalu bagaimana cara untuk memulai ‘hire for attitude’?

Pada tahap awal, kita bisa cermati CV-nya. Track record-nya. Lalu tahapan wawancara sebelum psikotes.

Khusus calon karyawan fresh graduate, perhatikan usia sekolah dan kelulusannya, apakah ada prestasi juara, tanyakan bagaimana caranya ybs meraih prestasi tersebut? Jika tinggal kelas, apa sebabnya? Apakah dibesarkan dalam keutuhan keluarga ataukah saat itu kedua orangtua bercerai?

Hobinya, apakah suka berkelompok atau menyendiri (single fighter)? Suka organisasi? Cita-citanya?

Untuk karyawan yang sudah berpengalaman kerja, perhatikan track record pekerjaan dan prestasi kerja selama berkarier, alasan berhenti dan alasan pindah kerja. Cek kebenaran dan keaslian data serta pejabat penandatangan dari perusahaan terdahulu.

Agar menjadi catatan bahwa seseorang yang di-hire sebagai pemimpin (supervisor-up), yang utama harus mencerminkan tanggungjawab dan kejujuran serta antusias. Untuk hal ini, dibutuhkan interviewer berpengalaman yang cukup jeli melihat mimik muka dan sikap tubuh sejak panggilan kerja hingga ybs balik badan meninggalkan kantor Anda dan setidaknya 3 bulan setelah bekerja (probation).

Ada banyak interviewer yang ‘kecele’ ketika meng-hire calon karyawan khususnya di tingkat supervisor-up. Semata karena memperhatikan penampilan yang oke. Tutur kata yang manis dan bombastis. Meski teoritis. Ada baiknya Anda juga perlu mendengar ‘cerita’ dari frontliner seperti security atau customer service yang mengantar calon karyawan hingga ke ruangan Anda.

Jangan menyepelekan ‘cerita’ dari frontliner Anda. Misal, calon karyawan yang menolak menitipkan kartu identitas kepada bagian security padahal hal itulah yang menjadi prosedur di perusahaan Anda. Atau saat menunggu Anda, ybs terdengar memaki ketika menerima telpon. Atau tidak merapikan koran / atau majalah di lobby setelah membaca.

Demikian halnya sebagai calon karyawan, Anda pun bisa menilai apakah perusahaan tersebut punya attitude yang baik dan menghargai Anda. Anda bisa baca contoh pengalaman saya*

Ibarat Anda akan masuk ke dalam beberapa rumah, mana yang akan Anda pilih? Ingin disambut dengan gonggongan anjing penjaga atau harus pencet bel berkali-kali atau disambut senyum ramah? Jangan sampai salah masuk.

Pun bagi Anda ‘pemilik rumah’, akan menerima tamu seperti apa? Yang parkir kendaraan sembarangan hingga Anda ditegur tetangga, yang buang puntung rokok di depan rumah Anda, atau yang bersedia menunggu hingga Anda membukakan pintu?

Jika untuk menerima calon karyawan yang mungkin hanya digaji UMK dan kontrak 1-2 tahun saja harus standar dan rada ‘ribet’ begini, maka Anda pun harus lebih ‘ribet’ lagi untuk meng-hire calon presiden. Tentu ditambahkan pertimbangan, dengan siapakah ia berteman (berkoalisi). Jangan terperangkap. Ingat, hire for attitude jauh lebih penting.

* http://hukum.kompasiana.com/2014/05/01/mimpikah-jilid-dua-memimpikan-pengadilan-hubungan-industrial-yang-cepat-tepat-adil-dan-murah--652996.html

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun