Mohon tunggu...
Farida Chandra
Farida Chandra Mohon Tunggu... -

praktisi, pemerhati hukum ketenagakerjaan budidaya ikan lele dan pisang kepok pelestari dan usaha batik tulis madura

Selanjutnya

Tutup

Nature

"Go Green" A La Pedagang Batik Tulis Madura

12 Juni 2014   06:18 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:07 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Beberapa waktu lalu saya refreshing ke Taman Flora (Kebon Bibit) Bratang – Surabaya. Di hari Minggu itu ada perusahaan dengan satu tim kerja yang bertugas memberikan edukasi tentang penghijauan, penghematan energi listrik, dan bahaya global warming. Pengunjung mulai dari anak-anak hingga ibu rumah tangga cukup antusias mengikuti acara hingga selesai karena bahasa yang digunakan adalah bahasa sehari-hari yang mudah dimengerti.

Saya jadi teringat dengan para pengrajin Batik Tulis Madura. Kalau beberapa tahun lalu Batik Tulis Madura khas dengan corak warna ‘gonjrang-ganjreng nge-jrenk’ aneka warna merah – hijau – kuning yang mencolok khas pesisiran, maka setahun terakhir, di pameran-pameran cukup mudah ditemui Batik Tulis Madura dengan pewarna alam. Warna dasar kain dominan coklat cenderung hitam, kuning gading dan kuning kecoklatan.

Beberapa info yang saya peroleh dari para produsen dan penjual batik yang saya kenal rata-rata menyatakan bahwa mereka sudah diedukasi oleh pemerintah setempat yang intinya penggunaan bahan kimia pewarna sintetis dalam proses pembuatan batik tulis secara terus-menerus dapat merusak lingkungan khususnya saluran air.

Mereka sudah relatif banyak yang mulai kembali menggunakan bahan dedaunan yang gugur atau pohon tua seperti mahoni atau bakau yang banyak ditemui di pesisir pantai selatan Madura untuk diproses sebagai bahan pewarna kain batik tulis. Atau secang dan ketapang.

Kalau kita melihat langsung proses pewarnaan batik tulis Madura, memang perlu cukup banyak air untuk satu lembar kain. Setiap satu corak warna, dibutuhkan cukup banyak air sehingga jika warnanya 3-5 macam, maka perlu 3-5x bilas lalu dibuang. Tidak bisa digunakan untuk warna yang berbeda karena kontaminasi tercampurnya warna yang berbeda sangat mempengaruhi hasil yang belum tentu sesuai yang diinginkan.

Air juga dibutuhkan dalam proses peluruhan bahan lilin (‘malam’) yang familiar disebut ‘ngelorot’. Setiap 1 warna dibutuhkan 1x proses ‘ngelorot’ sehingga 3-5x warna ya harus 3-5x ‘ngelorot’.

Waahhh…sekian banyak liter air kemudian dibuang dengan saluran air seadanya, yang sama dengan saluran air dari kamar mandi! Sehingga di saluran air depan rumah (‘got’) pengrajin batik, seringkali nampak bekas pewarna merah, hijau, biru dan lainnya.

Bagaimana halnya dengan proses pewarnaan dengan bahan pewarna alam?

Bahan-bahan dari pohon seperti dedaunan, ranting atau kulit pohon direbus hingga terdapat endapan, siap dicoletkan berkali-kali ke dasar kain lalu diangin-anginkan hingga kering. Diulang berkali-kali, bisa 9x karena sekali coletan, warna tidak langsung nampak jika dibandingkan dengan bahan pewarna sintetis, yang cukup sekali colet atau celup, warna sudah menempel ke kain.

Ada beberapa bahan yang prosesnya harus dilakukan dengan pencampuran tawas bahkan gula aren untuk diproses secara fermentasi agar warna lebih awet (meresap kuat). Hah! Gula aren? Betul!

Dan tetap dibutuhkan proses ‘ngelorot’ tapi tidak membutuhkan air sebanyak proses pewarnaan dengan bahan pewarna sintetis.

Ada saatnya jika kita menyadari pentingnya partisipasi demi mencegah ‘global warming’ dengan turut ‘back to nature’. Melakukan gaya hidup berpakaian dengan memakai produk yang lebih ramah lingkungan. Istilahnya, ‘eco batik’, kini dengan harga lebih terjangkau meski proses pembuatan bahan pewarna lebih lama daripada pewarna sintetis yang sudah siap pakai. Lebih universal, bisa dipakai oleh pria-wanita, anak-dewasa.

Meniru Oom Prabowo, kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Hehe...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun