“Siswa kelas 1 SD Inpres Tamalanrea V Makassar, tewas dikeroyok 3 teman sekelasnya.”
“Renggo, siswa kelas 5 SD Makassar 09 Pagi, Jakarta Timur, tewas dianiaya kakak kekasnya.”
“Jihan Salsabila, siswi kelas 3 SDN 14 Muara Enim, Sumatera Selatan, tewas ditendang sejumlah teman laki-laki sekelasnya.”
STOP, STOP, STOP!!!
Berhentilah bertanya “ke mana gurunya saat itu?”
Kita menitipkan anak kepada guru, setidaknya kurang dari 8 jam sehari.
Ke mana kita sendiri sebagai orangtuanya, yang porsinya 24 – 8 = 16 jam? Dua kali porsi guru!
Kini ada banyak anak yang kurang beruntung. Hasil pacaran kebablasan. Siap tidak siap, terpaksa nikah. Berantem terus, cerai. Atau hasil selingkuh hingga orangtua terpaksa tidak bisa nikah. Dibesarkan oleh single parent.
Terpaksa? Kalau enaknya, tidak ada kata terpaksa tuh!
Anak adalah korban. Korban orangtua dan lingkungan. Lingkungan rumah dan sekolah.
Anak itu peniru sejati. Sebelum ia bisa bicara, sebelum ia belajar jalan, ia sudah bisa meniru. Meniru apa saja yang dia lihat. Ia belum mengerti mana baik atau buruk. Benar atau salah. Jauh lebih mudah meniru yang dilihat daripada yang didengar.
Kalau orangtua merokok di depan anak, jangan larang anak merokok sembari berkata merokok bikin sakit tenggorok. Ingat, otak manusia sulit menerima kata ‘TIDAK’.
Ketika orangtua pemarah, anak akan jadi pemarah. Ketika ibu sulit menerima nasehat ayah, ia jadi anak keras kepala dan melawan orangtua. Ketika melihat sinetron yang memaki, menjambak, mencibir, ia pun akan meniru. Mengidolakan superhero karena orangtuanya bukan yang patut dijadikannya teladan.
Ketika ia dibesarkan dengan adik atau kakak tiri, ia memupuk rasa iri. Apalagi ketika orangtua memuji saudaranya, ia belajar kompetisi. Mem-bully pun bisa ditempuhnya.
Entah karena mereka kurang perhatian, cari perhatian, atau justru merasa terlalu dikekang?
Pelampiasannya di luar rumah, seperti sekolah. Atau teman sepermainan.
Ketika di sekolah ia mendapat guru yang galak, ia pun akan jadi galak.
Kemarin ada motivator, seorang pengusaha property di Jakarta juga dosen matematika. Ceritanya, sejak SD – SMA, nilai matematikanya pasti angka merah. Lhah koq bisa jadi dosen? Katanya dosennya selama kuliah membuatnya mencintai matematika hingga sekarang, puluhan tahun kemudian.
Mungkin betul kata Dodit peserta Stand Up Comedy Kompas TV tadi malam. Bagaimana lingkungan sangat menginspirasi. Gesang dibesarkan di daerah Sungai Bengawan Solo, menciptakan lagu Bengawan Solo.
Lalu di lingkungan mana seseorang dibesarkan, ketika ia menciptakan lagu “cinta satu malam, ooohhh indahnya…”?
Anak, tidak minta dilahirkan. Juga bukan milik kita. Anak adalah karunia. Biarkan ia terus meniti dan menata jalan kehidupannya. Dan kita mendampinya, menuntunnya ke jalan yang baik sepenuh kasih sayang. Maka ia pun akan jadi anak baik dan tetap mengasihimu hingga masa tuamu. Ia akan membawa keajaiban bagi kehidupanmu. Amin…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H