Gini – gini saya ini saksi sejarah peristiwa Mei 1998. Waktu itu saya kerja di Wisma Indomobil MT Haryono. Daerah Cawang Ciliwung. Kantor saya di lantai 10.
Sore 12 Mei 1998, saya mengemudi mobil seorang diri ketika sore pulang kantor. Jalanan macet itu biasa. Tapi kali ini luar biasa macet. Mobil ga gerak. Mobil digedor-gedor oleh beberapa orang yang naik di atas truck. Takut.
Saya tidak tahu apa yang terjadi. Jaman 16 tahun lalu, tivi pun tidak menyiarkan sebuah peristiwa secara detil dan gamblang. Internet belum banyak. Juga belum ada media online seperti Kompas.com.
Keesokan harinya saya berangkat ke kantor seperti biasa. Tidak bawa mobil tapi naik bajaj. Kos di Jalan Lapangan Roos depan POM Bensin Mega (bawah fly over), ga jauh dari kantor. Bajaj sampai di ujung Jalan Asem Baris aja karena Jalan MT Haryono verboden.
Maksudnya, kalau terjadi macet luar biasa seperti kemarin-nya, saya masih bisa ngojek atau sekalian jalan kaki dari Jalan Asem Baris sekitar 5 kilo menyusuri Sungai Ciliwung sampai Stasiun Tebet.
Tapi apa yang terjadi di kantor?
Pagi 13 Mei 1998. Hampir tidak ada aktifitas di kantor sejak pagi. Jajaran BOD ada BOD Finance dan SDM, Pak Erick Kartawijaya standby di kantor. Karyawan biasa seperti saya merasa cukup aman dan memang sangat jarang bisa ketemu Presdir Pak Soebronto Laras atau BOB lain seperti Pak Angky Camaro (kini almarhum).
Kira2 jam 10an pagi, beberapa teman yang tinggal di Cibubur, Depok, Bogor ijin pulang. Kami2 yang tinggal tidak jauh dari kantor, diminta standby.
Ketika itu saya masih sempat melihat jelas lokasi-lokasi yang dibakar dari lantai 10. Yang dijarah. Di Dewi Sartika, Cawang Bawah, Otista. Dan di pintu tol Cawang. Para pengemudi mobil distop lalu dirampok. Disuruh tinggalkan mobil di jalan tol dengan hanya ber’kancut’ alias celana dalam aja.
Manajemen kemudian mengumumkan, seluruh karyawan satu gedung harus segera turun. Lift akan dimatikan. Temen saya yang hamil 7 bulan harus lari ketakutan ketika turun lewat tangga darurat. Panik! Teriak! Nangis! Lupa bawa tas kerjanya.
Akhirnya kami dievakuasi ke rumah2 penduduk di belakang kantor. Mobil2 karyawan dan perusahaan yang parkir di area belakang gedung, diamankan di lapangan taman warga.
Baru sadar, ternyata para penjarah sudah sampai di pintu gerbang utama! Para security sudah berusaha negosiasi dengan para penjarah anak2 muda yang kurus2. Negosiasi gagal.
Para penjarah bawa beberapa gerobak isi batu-batu besar. Masuk dan memecahkan kaca2 showroom mobil dan bank RSI di lantai 1. Juga layar kaca mesin ATM milik Bank BCA dan Bank RSI (sekarang sudah tutup). Ambil bergepok2 uang tunai.
Para penjarah kehausan dan minta air minum. Setelah minum, mereka meneruskan aksinya. Dengan harapan gedung kantor kami tidak dibakar seperti gedung2 lain dan Gedung Hero Sumpermarket, tetangga gedung kantor kami. Atau sampai terjadi pertumpahan darah.
Beruntung para penjarah kurang paham mengenai isi ratusan ruang di gedung berlantai 13 itu. Kondisi lampu juga padam semua dan gelap.
Penjarahan berlangsung sampai sore. Mereka menjarah printer dan komputer. Dulu barang mewah, lho!
Dan ternyata banyak dari kami harus menginap. Takut pulang. Trauma. Sedih. Terus berpikir bagaimana kondisi keluarga di rumah. Tidak ada handphone seperti sekarang. Terutama yang rumahnya jauh dari kantor, seperti Kebon Jeruk, Tangerang dan Bekasi.
Apalagi ketika denger berita di radio warga, ternyata ada kerusuhan di kota (daerah Hayam Wuruk, Glodok dan sekitarnya). City Hotel sebesar itu habis dibakar.
Sore hari, penjarahan berakhir. Saya ingin pulang. Ada teman saya (sekarang sudah almarhum) Iwan Taurus Budimulyawan yang berbaik hati mau antar saya sekalian dia nanti bisa pulang dengan KRL.
Di tengah jalan, kami bertemu seorang pria, (mungkin) tukang ojek.
Saat itu saya ditanya : “Teteh, Sunda?”
Teman saya Iwan, tidak menjawab. Dia hanya tanya, bisakah antar saya ke Stasiun Tebet. Katanya ‘ya’.
Sepanjang saya dibonceng, si tukang ojek terus2an bicara dalam Bahasa Sunda. Saya kurang paham artinya. Saya hanya ingin “merasa sama” dengan dia. Saya hanya tanya, “di dieu aman, mang?” Dijawabnya, “aman”!
Saya tiba di kos dengan selamat. Saya bayar dan bilang, “hatur nuhun, mang!”
Di depan kos saya lihat banyak tulisan seperti “POM BENSIN MEGA”. Toko di seberang ditulis pakai pylox, “Milik Pribumi”.
Beberapa hari kemudian saya tidak ngantor. Diliburkan hingga situasi aman. Jakarta sunyi senyap.
Saya tidak pernah bermimpi bisa menjadi saksi sejarah. Menyaksikan kebrutalan orang yang ingin disebut sebagai manusia. Saya terkena dampaknya. Ada trauma meski relatif rendah.
Di mobil saya selalu tersedia makanan kecil atau mie instan. Kuatir kelaparan dan kehausan seperti ketika pagi-sore harus stress ’menunggu’ penjarah menyelesaikan aksinya. Hal ini saya lakukan setahun lebih, hingga terpilihnya Gus Dur sebagai Presiden RI menggantikan Presiden BJ Habibie.
Saya memang tidak melihat sendiri adanya perkosaan atau pembunuhan seperti yang diberitakan. Tapi sejak itu saya tidak pernah lagi menggunakan rok ke kantor. Harus pakai celana panjang supaya mudah ‘melarikan diri’ andai peristiwa semacam itu terulang lagi. Amit2…
Entah sampai kapan cerita itu “TAMAT”. Hingga 16 tahun kemudian, hanya ada alibi dan kontroversi. Tidak pernah ada yang menyatakan, “Ya, saya tanggungjawab!” atas ribuan kerusuhan saat itu.
Kalau di film ada peran superhero, ada peran antagonis. Kalau sekarang Anda merasa layak jadi superhero, siapa peran antagonis yang harus Anda binasakan? Mahasiswa dan rakyat yang tak berdosa?
Tapi saya terus bermimpi, melalui Revolusi Mental, suatu saat akan ada pejabat di negeri kita ini yang bermental seperti pejabat di Jepang, “Saya pelakunya!” lalu harakiri. Jlep, jlep, jlep!
Sebaik-baik pemimpin adalah ia yang bersedia mengakui kesalahannya dan dan orang yang dipimpinnya dan kemudian mempertanggungjawabkannya di dunia dan di akherat.
Kita bisa ingkar kepada sesama manusia tapi tidak kepada Tuhan. Gusti Ora Sare!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H