Mohon tunggu...
Farida Chandra
Farida Chandra Mohon Tunggu... -

praktisi, pemerhati hukum ketenagakerjaan budidaya ikan lele dan pisang kepok pelestari dan usaha batik tulis madura

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Prabowo, Menikah Itu Pilihan

5 Juni 2014   16:29 Diperbarui: 20 Juni 2015   05:14 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jaman sekarang, orang pacaran itu bebas. Bebas cari kenalan. Kalau jaman dulu ada biro jodoh. Kalau sekarang bisa mudah add-add friend via facebook, chatting, jumpa darat, cocok, ya pacaran. Bebas pula ketemuan. Bisa di taman-taman kota. Bisa di mall. Bisa pula di hotel…lobby hotel, maksudnya hehe…

Dulu ketika saya pacaran, kakak saya yang sudah menikah bilang, pacaran jangan lama-lama. Pacaran itu cuma seperti main di pantai. Bagus-bagusnya saja. Kalau sudah menikah, baru tahu tuh, apakah pacarmu itu cocok jadi suamimu, pendampingmu, nahkodamu (kepala keluarga) yang membawamu menyeberang sampai tujuan ke pulau yang subur meski susah payah atau malah berdiam di atas laut sampai kapal karam di tengah lautan, atau kamu yang harus terus mendayung (jadi tulang punggung, bukan tulang rusuk).

Walah! Kalau jodoh ga ke mana toh?

Seperti saya, kebanyakan wanita jaman sekarang berkarier dan tidak menjadikan nikah sebagai proritas. Jadi ‘telat kawin’, di atas 30an atau bahkan 40an tahun baru nikah. Jaman dulu gadis sudah dijodohkan dan dinikahkan di usia belasan tahun. Seperti nenek saya. Katanya terpaksa nikah. Daripada jadi perawan tua. Seperti aib saja.

Jaman sekarang banyak juga wanita yang terpaksa menikah karena sudah hamil. Menikah dengan yang menghamili. Masih syukur kalau mau menikahi, ya? Atau orang lain yang bersedia menikahi. Dirayakan pula. Banyak juga yang kabur. Atau bunuh diri, bahkan mengggugurkan kandungan atau membunuh darah daging sendiri. Banyak pula yang akhirnya cerai.Itu realita.

Ada banyak pernikahan berakhir dengan perceraian yang kalau diruntut kebanyakan alasannya karena misskomunikasi. Lhah provider telpon jaman sekarang banyak yang bertarif pulsa murah koq malah misskomunikasi? Miss-nya di mana? Ora mudeng…Ojo ngomong ora opo-opo, lho?

Bisa jadi ‘tresno jalaran soko kulino’ sekarang jadi ‘tresno jalaran soko sembrono’. Habis waktu di luar rumah, ketemu pacar lama di reuni sekolah/kuliah, keseringan chatting, celingak-celinguk dengan orang lain, selingkuh dah! Wah gampang ternyata pindah ke lain hati, ‘gitu?

Bagi saya, mahligai perkawinan itu tetaplah suci. Sakral. Janji setia di hadapan Allah, dalam untung dan malang. Kata nenek saya, istri itu garwo. Sigaraning nyowo. Soulmate. Belahan jiwa.

Tapi kata mama saya, suami itu belum tentu jodoh kita. Jodoh itu, pasangan hidup yang sampai menutup mata alias mati, berada di samping kita. Ya syukurlah papa saya tetap berada di samping jenazah mama saya hingga akhir hidupnya. Menikah 47 tahun lebih dan hanya terpisahkan oleh maut.

Pernikahan orangtua yang langgeng tidak menjamin pernikahan anak dan keturunannya juga langgeng. Karena masing-masing adalah insan yang berbeda. Mungkin pembagian peran suami/istri kurang pas. Problem dalam satu pernikahan berbeda dengan yang lainnya.

Kita ingat Pak Harto dan Ibu Tien? Tapi lihatlah pernikahan putra-putrinya yang berakhir dengan perceraian. Bambang, Titiek, Tommy, Mamiek…demikian halnya para cucunya. Danti Rukmana, Arie Sigit…tentu dengan alasan yang berbeda tetapi ujungnya sama.

Wejangan orangtua ketika putra-putrinya akan menikah pasti lumayan banyak. “jadi wanita harus mau 3M : memasak, macak (merias diri) dan manak (melahirkan). Tetap harus cinta seperti pacaran, bukan kasih sayang seperti kakak-adik. Kalau hidup pas-pasan, atau serba ada, ya harus tetap bersama. Jangan menuntut penghasilan suami seperti pengusaha selama dirinya masih jadi karyawan. Nanti korupsi. Berusahalah untuk menghindari godaan 3TA. Harta, tahta, wanita….bla, bla, blaaa…”

Teriring doa semoga sakinah, mawaddah, warrohmah dan barokah…amin…

Lalu setelah merasakan pahitnya bercerai, mengapa mantan istri atau mantan suami masih ingin menikah lagi? Saya tidak tahu jawaban pastinya karena tidak punya pengalaman perceraian (amit2) pun dalam keluarga besar. Pastilah bagi mereka, menikah itu pilihan.

Apalah Prabowo memilih untuk menikah lagi? Kalau YA, yang penting ingat nasehat kakak saya di atas, pacaran jangan lama-lama, pak. Karena kalau nanti jadi presiden, siapa dong yang mengurusi negara dan kita?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun