Mohon tunggu...
Farida Chandra
Farida Chandra Mohon Tunggu... -

praktisi, pemerhati hukum ketenagakerjaan budidaya ikan lele dan pisang kepok pelestari dan usaha batik tulis madura

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Aku Tidak Menginginkanmu, Nak!

26 Agustus 2014   17:35 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:30 758
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada aneka pendapat dalam hal korban perkosaan khususnya terhadap wanita. Tanpa mendiskreditkan perancang peraturan maupun korban dan berbagai pihak yang ada di dalamnya termasuk komentator, saya ingin berbagi cerita tentang kondisi salah satu dari keluarga besar saya yang mengandung dan melahirkan anak tetapi tidak menikah.

Saudara saya itu baru mengaku hamil kepada saya ketika usia kandungannya mencapai 7 bulan dan perut buncitnya itu tidak dapat ditutupinya lagi. Ketika usia kandungan baru 3 bulan, sebetulnya saya sudah curiga tapi ragu-ragu untuk bertanya. Segala kekuatiran termasuk takut tersinggung dan merusak persaudaraan.

Setelah pengakuan dengan berderai-derai air mata, ia mengaku hamil karena diperkosa di suatu tempat yang dirahasiakannya hingga kini. Terlepas dari benar atau tidaknya informasi ini, katanya sudah berusaha berbulan-bulan mencari pelaku yang juga dirahasiakannya hingga kini, tetapi tidak pernah menemukannya. Ia pun sudah berusaha menggugurkan bayi di awal kehamilannya tetapi tidak berhasil.

Saya bertanya, “mengapa tidak memberitahu orangtuamu?” Dikatakannya takut karena bapaknya yang temperamental itu bisa membunuh si pemerkosa jika ketemu!

Saya bertanya, “lalu mau kaukemanakan bayi itu?” Dijawab,”sudah ada orang yang mau mungut segera setelah lahir”.

Ini kisah nyata. Bagaimana jika Anda yang mengalaminya? Atau anak, cucu, saudara perempuan Anda?

Ketika ia melahirkan bayi perempuan, ia tidak punya cukup biaya untuk operasi caesar (bayi sungsang). Akhirnya sayalah sumber dananya karena di kota ini ia hidup sebatang kara. Ia pun hanya cuti 1 minggu dan harus segera kembali bekerja, orang rantau yang jauh dari orangtua.

Seiring berjalannya waktu, akhirnya orangtuanya datang. Justru kemudian orangtuanya itu yang merawat dan mengasuh bayi mungil nan cantik itu. Dan kemudian membesarkannya di kampung. Biaya hidup di Surabaya cukup besar baginya dan tidak mampu membayar pengasuh. Tidak ada pilihan lain bagi orangtuanya selain menerima dan mendidik anak di luar nikah itu meski jadi aib bagi keluarga besarnya di kampung.

Apakah permasalahan akan selesai? Tentu masih panjang hingga dewasanya si anak. Bahkan cerita kehidupan mereka tetap akan ada selama ada “pohon keluarga”.

Hubungan ibu dan anak

Kesulitan ekonomi dan ketidaksiapan menjadi seorang ibu yang memang tidak direncanakannya sama sekali ini menjadikan mereka ‘long distance”. Memang sang ibu yang setiap kali menelpon si anak yang mulai belajar bicara itu lebih karena diwajibkan oleh sang nenek. Tapi anak butuh kasih sayang ibunya, belaian dan pelukan ibunya, bukan neneknya. Menjadi tidak dekat secara psikologis maupun fisik.

Pun ketika suatu saat si anak di’antar’ untuk menemui saudara saya yang juga ibu kandungnya itu, “care” itu tidak mudah tercipta. Sang anak tetap saja lebih “lengket”, lebih “nurut” dengan neneknya. Entah apakah sang ibu sedih tapi sepengamatan saya, sang ibu lebih happy karena bisa chattingan tanpa gangguan rengekan sang anak…hmm…

Hubungan ibu-anak dan pemerkosa/bapak kandungnya

Jelas tidak ada. Sang anak otomatis juga tidak pernah tahu dan mengenal apalagi bertemu bapak kandungnya. Mungkin juga sang bapak kandung tidak pernah tahu, setelah memperkosa ternyata wanita itu hamil. Entah sampai kapan hal ini jadi misteri?

Kasih sayang dan figur bapak diperolehnya dari sang kakek. Apakah cukup? Jelas tidak. Sepanjang sang kakek masih berpenghasilan dan masih dapat membiayainya hingga usia sekolah, mungkin masalahnya tidak terlalu besar bagi sang ibu dan anak.

Hubungan ibu dan masyarakat

Jaman dulu, seorang wanita ingin menikah dan segera memiliki anak. Jaman sekarang, banyak yang memiliki anak atau mengandung dulu dan terpaksa menikah. Syukur-syukur kalau ada yang menikahi. Nah bagaimana dengan wanita korban perkosaan, apakah ada yang kemudian bermulia hati bersedia menikahi? Walahuallam…

Yang pasti, pemilik kos di mana ibunya tinggal ingin agar saudara saya itu segera pindah ke tempat lain karena jadi bahan pergunjingan para tetangga. Para pria pun setelah tahu ia single parent, iseng ingin mengencaninya. Apakah sehina itu pandangan masyarakat terhadapnya?

Hubungan anak dan masyarakat

Saat ini sang anak dibesarkan dalam skala keluarga kecil. Ia belum tahu “status sosial”nya. Kelak ia sekolah, ia pasti akan tahu beda dia dengan teman-temannya. Temannya diantar/jemput bapaknya tapi dia? Bagaimana menjelaskannya bahwa kakek-neneknya pun tidak pernah mengenal bapaknya? Membohonginya dan dikatakan sudah mati? Di mana kuburannya? Atau pergi bekerja tapi tak pernah kembali?

Anak jaman sekarang, tanya tanya dan tanya hingga jawaban bisa masuk ke akal sehatnya.

Belum lagi lagu anak-anak bertema orangtua, seperti :

“satu satu, aku sayang ibu, dua dua juga sayang ayah…”

“oh ibu dan ayah selamat pagi, kupergi sekolah sampaikan nanti…”

Ketentuan hukum pidana sudah jelas mengatur tentang pasal hukuman bagi pemerkosaan khususnya yang di-kasus-kan. Tetapi bagaimana jika sang ibu memilih memendam semua persoalannya itu dan tidak meng-kasus-kan dengan alasan malu, kuatir jadi bahan berita yang tidak berkesudahan dan semakin terbeban kelak seumur hidupnya?

Dan belum ada aturan, apa saja tanggungjawab pemerkosa dalam menafkahi sang anak hasil perbuatannya, jika sang ibu tidak bersedia menikah dengan pemerkosanya?

Bagaimana tanggungjawab masyarakat dalam memperlakukan sang anak hasil perkosaan?

Untuk kita renungkan bersama...membuat undang-undang jauh lebih mudah daripada melaksanakan dan melihat secara langsung bagaimana nasib mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun