Sebelas tahun lalu saya beli rumah di Kabupaten Malang dengan daya listrik 1.300 VA. Karena berbagai urusan dan kepindahan pekerjaan menjadikan rumah tersebut kadangkala dihuni dan seringkali kosong.
Selama kurun waktu 11 tahun, pembayaran mulai cara manual tunai datang bayar ke kantor PLN pake antri atau koperasi setempat yang ditunjuk hingga bisa bayar via online, so far cukup lancar setiap bulannya.
Sampai akhirnya ketika menyempatkan pulang ke Malang pada malam hari 10 Desember lalu,saya cukup shock mendapati lampu penerangan yang saya pasang otomatis itu, padam. Padahal lampu tetangga nyala semua. Kuatir ada kortsleting atau sebab lain.
Alamak! Ketika periksa meter, ternyata meteran sudah dicabut!
Ada terselip ‘surat tanda putus sementara’ tertanggal cetak 28 Oktober 2014 dan ‘surat putus rampung’ tertanggal cetak 4 Nopember 2014. Vonis tidak bayar 2 bulan.
Juengkel, ya jelas. Sudah capek, malam-malam masih harus cari tumpangan tempat tidur di rumah saudara. Saya ga habis pikir. Merasa sudah menyelesaikan kewajiban bayar meski terlambat, denda pun sudah saya bayar sekalian. Termasuk biaya listik bulan Desember 2014, sudah saya bayar juga tanggal 2.
Akhirnya saya putuskan ke kantor PLN setempat. Dikonfirmasi, betul listrik sudah diputus per tanggal 4 Nopember 2014.
Lho? Tapi mengapa PLN masih nagih dan terima pembayaran listrik rumah saya via online bank tanggal 6 Nopember dan 2 Desember 2014? Dijawab, “bank apa? Bank itu sering ga connect langsung…”
Maksudnya? Hmm…Muales debat. Termasuk ketika saya bilang, “petugas PLN masuk dari mana? Loncat pagar rumah saya ya? Karena saya nitip ke tetangga sebelah dan mereka mesti ngasi kabar ke saya kalau ada sesuatu urusan”.
Tidak ada jawaban alias no comment. Saya makin ora mudeng. Kalau tagihan kartu kredit misalnya, sudah ditutup, otomatis harus bayar lunas semua sehingga bank tidak perlu menagih lagi dan tentu otomatis bank juga ogah terima duit kita. Tapi PLN? Untung rumah saya di Jawa, coba kalau di luar pulau sana apa ya mesti harus ke kantor PLN sono?
Intinya, tidak ada pilihan. Tidak bisa abonemen lagi. Daya 1.300 VA harus migrasi ke sistem pulsa.
Yo wes pasrah. Karena mau tidak mau, suka tidak suka, kita yang butuh PLN. Bukan PLN yang butuh kita. Masih banyak orang lain yang butuh. Nasabah yang baik bayar tagihan rutin selama 10 tahun tidak perlu diberi penghargaan apa-apa. Telat, putus! No way! Ya memangnya PLN itu PMI, toh?
Beberapa hari kemudian meter pulsa (Kartu LISTRIK PINTAR) dipasang disertai ‘surat pemberitahuan’ yang intinya harus bayar sisa tagihan. Mbok ya sekalian kemarin disebut kewajiban saya iku piro maneh toh? Hmm kasi tau nggak yaaa…??? Mbaliko maneh ke kantor PLN! Hadeh, ga praktis sama sekaleee...
Akhirnya saya minta saudara untuk proses ke kantor PLN. Ternyata bukan tagihan tapi malah kelebihan bayar dan dikompensasi ke “electricity credit” 69,30 KWH. Entah hitungan dari lebih bayar berapa rupiah, worth it ga dengan yang sudah terlanjur saya bayar setelah listrik diputus, I don’know. No info. No choice.
Dari pengalaman itu, saran saya ya supaya pelanggan PLN tertib bayar. Jangan seperti saya yang ilang-ilangan cuma bayar abonemen melulu. PLN khususnya di Kabupaten Malang agar bisa lebih menghargai pelanggannya sekalipun dengan daya listrik kecil. Kita bisa besar dari yang kecil. Perbaiki sistem kerjasama dengan bank. Kalau sudah mutus rampung ya jangan nagih uang abonemennya lagi. Kalau lebih bayar, berikan pilihan dan persetujuan pelanggan. Refund atau kompensasi ke “electricity credit”
Dan, tulisan rekan Mustafa Kamal*, mohon tanggaan PLN. Apa betul dengan sistem ‘LISTRIK PINTAR’ ini demikian banyak potongannya?
Matur nuwun!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H