Tentu sangat gembira ketika saya baca kompas.com, Bu Susi Menteri Kelautan dan Perikanan telah sepakat dengan produsen pakan ikan untuk menurunkan harga pakan ikan Rp 3.000,- / kilo dalam 3 bulan, tiap bulannya Rp 1.000,- / kilo.
Eitz! Mungkin ada yang mikir, halah, seribu perak doang dimasalahin…
Tahukah Anda?
Ketika saya datang dan bertanya kepada peternak ikan lele yang masih beroperasi, selalu saja keluhannya seragam. Harga pakan ikan. Ikan lele sekilo rata-rata menghabiskan sekilo pakan. Jadi jika ikan lele dari petani ke ‘bakul’ dihargai Rp 11.500,- / kilo, maka kalau biaya pakannya saja Rp 9.000,- / kilo maka margin keuntungan ‘kotor’ seperti di Pare, Kediri untuk peternak skala besar (modal besar) hanya Rp 2.500,- / kilo. Belum termasuk biaya sewa / perawatan lahan, bibit, air, pegawai, resiko ikan mati, dll. Itu pun masih untung mereka bisa tetap beroperasi meski napas ngos-ngos-an.
Para peternak ikan lele umumnya tidak cukup dapat dan ‘berkuasa’ untuk menentukan harga ikan lele karena seluruhnya bergantung nasib pada ‘bakul’, harga pasar dan sesama peternak ikan lele. Jika tidak segera dijual, mubazir juga karena semakin besar ukuran ikan lele malah makin tidak laku di pasar.
Beda dengan peternak ikan lele skala kecil yang sementara tidak beroperasi seperti di Surabaya dan Malang. Meski ‘bakul’ membeli dengan harga ikan lele relatif lebih tinggi daripada di Pare Kediri. Bisa Rp 14.000,- / kilo. Harga pakan ikan lele melambung, mereka putar haluan ternak ikan patin yang tidak ‘rakus’ meski masa panen jauh lebih lama daripada ikan lele. Ikan lele, 2-3 bulan bisa panen untuk besaran 8-10 ekor/kilo. Patin, 5-6 bulan. Daripada tidak ada penghasilan sama sekali?
Harga pakan sebelumnya di kisaran Rp 220ribuan terus beranjak naik hingga kini di kisaran Rp 270ribuan untuk sekarung isi 30 kilo. Yang berarti Rp 9.000,- / kilo. Mau bagaimana lagi? Beli sedikit tidak mungkin. Ikan lele menurut sifatnya memang harus sering makan. Setidaknya 4 jam sekali. Kalau tidak, dia kanibal akan makan sesamanya. Sehingga “pelet” tidak bisa dihemat.
Untuk peternak lele yang ‘beraliran busuk’, yang penting untung, ada saja yang mensiasati harga pakan ikan lele yang melambung tinggi itu dengan mengganti “pelet” dengan aneka pakan lain yang super murah tapi busuk. Seperti ayam mati sakit lalu diolah direbus, nasi basi, sosis busuk, dan lain-lain.
Don’t try at home ya…!
Sebetulnya salah satu siasat selain ‘pelet’, bisa dengan membuat sendiri (semacam home industry) pakan ikan lele dari ampas tahu, jagung, dan nutrisi protein lain tapi kendala modal beli mesin yang customize tentu relatif mahal. Mungkin SMK-SMK bisa membantu riset dan pengadaan produksi. Ga usah muluk2 buat mobnas dulu deh!
Ya saat ini solusi yang tepat, Pemerintah memang harus turut campur tangan. PR Ibu selanjutnya, bibit ikan lele yang sehat dan murah dengan budidaya dari Dinas Perikanan setempat (bukan hanya perorangan), sistem sertifikasi ketat dan terpercaya serta tarif transportasi yang murah untuk jalur distribusi.
Sekali lagi, terima kasih, Bu Susi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H