Ketika memergoki saya senang bercermin bolak balik dengan wig baru di kepala di usia remaja, ibu bilang kalau saya sedang gandrung.
Apalagi saat itu saya pecicilan kalau dengar suara tukang Pos yang dengan sepeda onthelnya memanggil sambil memberikan saya kartu pos bergambar. Saya memang gandrung dengan dunia sahabat pena di zaman remaja dimana saat itu sarung bantal di tempat tidur saya masih dibuat dari kain blacu bekas kantung terigu .
Zaman sudah jauh berubah. televisi menawarkan banyak pandangan atau tampilan dan info menarik, tapi saya belum lagi gandrung sama sesuatu. Sesekali saya setia mengikuti sentilan sentilun, atau malam Minggu nya Slamet Raharjo, tapi belum cukup membuat saya duduk diam mantengin acara sampai mata saya rasanya rabun .
Cucu saya yang berusia 6 tahun gak habis pikir tiba tiba neneknya belajar down load you tube. Aaahh...neneknya mulai gandrung sama X factor. Seorang pelajar berjilbab dengan suara X, sesuatu yang berbeda yang membuat saya gandrung sama pelajar berdarah Betawi Batak itu. .Sayang, jam tayangnya mengusik sampai larut tengah malam, boro boro bisa sambung sholat Tahajud, walhasil Sholat Subuh bisa rapel sama waktunya sholat Dhuha.
Sekonyong konyong di usia senja seperti ini saya gandrung sama lelaki bernama Ir Joko Widodo. Setiap hari saya mencari beritanya dari mana saja. " tunggu, tunggu! kata saya pada cucu saya yang minta dibuatkan sarapan nasi goreng.  " lagi seru nih tuh liat pak Jokowi naik gerobak kebanjiran di Jakarta." saya malah gregetan berpikir kalau saya lebih pinter jadi jurnalis daripada reporter yang mewawancarainya.
Tahulah seisi rumah kalau Jokowi sudah menyihir saya dengan segala pesonanya. Lelaki kurus bersahaja yang konon dengan tanggal lahir sama dengan HUT Jakarta ini, membius saya . Di zaman edan seperti ini dimana uang menjadi sebuah ke niscayaan, saya baru tahu kalau orang no 1 di DKI ini pernah tidak mengambil gajinya selama menjabat walikota Surakarta. Di Era dimana saya sudah tak percaya pada Partai Religius sekalipun, saya menemu  kan figur sederhana yang tidak memakai atribut apapun buat menyangkal kekejian tendensius pada figur ke agamaannya.
Saya menyimpan rindu yang mendalam pada banyak hal. Jokowi mulai mengusik malam malam saya. Salah seorang keponakan tiba tiba berkicau bilang kalau doa saya di jabah Allah. Yang mana ? " tanya saya. Dan ketika dia mengirim gambar pak walikota yang tertidur sampai nyosor 2, maka saya menelan ludah getir. aahh...lelaki yang saya gandrungi menerima sinyal saya yang risih ngeliat pejabat yang turba ditengah banjir, koq malah sepatu boot nya di bukain sama anak buahnya? Hare gene ?
Saya hampir tak sempat nonton televisi. Waktunya habis buat urusan rumah tangga , dan seabreg kegiatan berswadaya yang saya sendiri paling tahu ke nikmatannya. Satrio Piningit yang saya gandrungi, cuma sesekali saya dapatkan infonya melalui BB yang paket gaulnya tidak cukup buat menampilkan idola saya. Saya lalu bermunajat pada Allah, agar saya diberi kesempatan buat bisa sering melihat wajah pemimpin masa depan bangsa .
Ketika kesempatan itu tiba, saya hampir tak sabar tiap hari nongkrong di depan benda bernama Lap Top yang dikirim magnet Semesta bernama Doa dan Harapan. Saya menghela napas, tersenyum, mengernyitkan alis, DUO DKI membawa angan angan saya ingin balik ke Jakarta.
Hampir setahun saya tidak menulis dan membaca tulisan2 produktif di Kompasiana yang ada kalanya humoris mencerdaskan. Tidak sedikit tulisan yang bernas , tapi yang jelas saya tambah mengharu biru mengetahui lelaki yang saya gandrungi adalah lelaki yang juga di gandrungi ribuan perempuan lain di Ibu kota atas nama merindukan PERUBAHAN.
Duet Jokowi Ahok dengan Jakarta Baru nya memacu adrenalin saya dan menambah satu deret panjang lagi doa malam saya pada Yang Maha Kuasa.  Saya merindukan ada perubahan yang bisa saya saksikan kembali tentang Jakarta, apakah itu Kemayoran tempat saya lahir, atau Jiung dan Sumur Batu tempat saya dibesarkan.